
(Foto: Deemz/LPM Justisia)
Timbulsloko, Demak, Justisia.com – Di balik hamparan air rob yang setiap hari datang tanpa jeda, ada cerita yang lebih dalam dari sekadar rumah tergenang dan jalan rusak. Ada anak-anak yang kehilangan ruang bermain, ada sekolah yang tak lagi terjangkau, dan ada mimpi-mimpi kecil yang mulai memudar sebelum sempat tumbuh. Tim Redaksi Justisia berbincang dengan Muhamad Khusnu Marom, seorang pemuda asli Desa Timbulsloko, tentang kondisi kampung halamannya yang semakin memprihatinkan.
“Kalau ditanya apa yang paling terasa berubah, saya akan bilang: jalan,” ujar Khusnu sambil menunjukkan arah jalan desa yang kini berubah jadi kubangan air payau.
Setiap hari, rob datang tanpa peduli waktu. Genangan setinggi pinggang orang dewasa menelan jalan utama yang dulunya digunakan anak-anak berangkat sekolah. Beberapa titik bahkan sudah tak bisa dilalui sama sekali.
“Anak-anak sekarang harus dibonceng naik perahu kecil, kadang mereka nggak sekolah cuma karena air terlalu tinggi,” lanjutnya. “Dan ini bukan sekali-sekali, tapi tiap hari.”
Menurut Khusnu, ini menyebabkan banyak anak kehilangan semangat untuk bersekolah. “Mereka kelelahan sebelum sampai sekolah. Apalagi kalau nggak ada yang antar. Akhirnya bolos, makin lama makin jauh dari pelajaran.”
Tak hanya soal akses, kondisi lingkungan pun memburuk. Air rob yang tak pernah surut menciptakan situasi tak bersih dan jauh dari layak huni.
“Banyak yang kena penyakit kulit. Anak-anak gatal-gatal, ada yang kakinya luka tapi susah sembuh karena selalu kena air. Rumah lembap, bau, kadang muncul serangga juga,” cerita Khusnu.
Ia menambahkan, dulu ada banyak tumbuhan hijau di desa mereka. Sekarang semua itu sudah hilang.
“Pohon-pohon pada mati karena tanahnya terus-terusan tergenang. Udara jadi panas dan lembap. Anak-anak juga kehilangan tempat berteduh dan bermain,” tambahnya.
“Yang paling bikin sedih tuh pas lihat anak-anak diem aja di rumah. Dulu mereka rame main bola di lapangan, atau lari-lari di gang desa. Sekarang lapangan itu udah jadi danau kecil dan gang-gang itu penuh lumpur,” kata Khusnu, matanya menerawang jauh.
Ruang bermain anak-anak lenyap. Bukan karena mereka tak mau bermain, tapi karena tak ada lagi tempat untuk itu.
“Anak-anak sekarang harus diawasin terus. Takut jatuh ke air, takut kena tiram, paku atau kaca yang kebawa arus. Orang tua jadi overprotektif. Padahal masa kecil itu harusnya penuh tawa, bukan ketakutan.”
Khusnu mengungkapkan kekhawatiran terbesarnya, anak-anak di desanya berisiko putus sekolah dan kehilangan masa depan.
“Banyak keluarga yang pendapatannya berkurang, tambak rusak misalnya. Akhirnya, pendidikan anak-anak dikorbankan. Ada yang nggak bisa bayar seragam, nggak bisa beli buku. Sedih banget lihat mereka akhirnya berhenti sekolah,” ujarnya pelan.
Ia menyebut, banyak anak berusia yang sepantasnya sekolah akhirnya lebih memilih membantu orang tua daripada sekolah. “Bukan karena mereka males, tapi karena merasa sekolah pun nggak memberi jaminan. Kalau situasi nggak berubah, anak-anak di sini bakal terus jadi korban.”
Meski kenyataan tampak suram, Khusnu tak kehilangan harapan. Ia dengan semangat menyebutkan beberapa solusi yang ia dan pemuda desa lain harapkan bisa terjadi.
“Yang paling Utama, bangun jalan. Jalan yang tahan banjir, yang bisa dilewati tiap hari tanpa harus naik perahu. Kalau akses lancar, semua jadi lebih mudah sekolah, kerja, belanja.”
Selain itu, ia juga bermimpi ada ruang bermain anak yang aman.
“Bikin taman kecil, atau lapangan buatan yang ditinggikan. Nggak harus mewah. Yang penting anak-anak bisa bergerak, bisa ketawa, bisa jadi anak-anak.”
Dan harapan terakhirnya ia sampaikan dengan nada penuh harap.
“Kami tahu kami tinggal di daerah yang rawan. Tapi jangan biarkan itu jadi alasan untuk menutup mata. Kami butuh perhatian, dari pemerintah, dari organisasi sosial. Anak-anak di sini masih punya semangat, masih punya harapan. Jangan biarkan rob merampas semuanya,” harap Khusnu mengakhiri perbincangan.
Suara dari pinggir laut ini bukan sekadar keluhan, tapi panggilan untuk bertindak. Desa Timbulsloko bukan hanya tanah yang terendam air laut, tapi juga tanah yang dihuni mimpi-mimpi kecil yang ingin tumbuh. Jika air bisa naik tiap tahun, semestinya perhatian dan kepedulian juga bisa naik mengikuti.
Penulis: Redaksi Justisia
Red/Ed: Redaktur