
Oleh: Deemz Putra
Aku mungkin tidak begitu pandai berbincang dengan yang sedarah denganku bahkan dengan yang melahirkanku, namun entah kenapa waktu aku bangun pagi itu seolah bibirku berubah.
Pagi itu pertama kalinya aku ngobrol santai dengan mereka, aku berjalan ke teras rumah yang masih lumayan basah mungkin si ibu baru saja mengepelnya.
“Udah bangun nak?,” ucap bapakku yang padahal sebelum²nya ia tak menghiraukanku bangun jam berapapun itu
“Udah pak,” ucapku dengan nada yang masih serak faktor kerongkoran yang masih kering.
Setelah kami berbincang yang cukup memakan waktu, kakak laki-laki ku dan ibu ikut bergabung
“Serius amat pada ngobrolin apa sih?,” ucap ibuku dengan tangannya yang penuh bawaan. Pisang goreng sepiring dan secangkir kopi untuk si bapak.
“Biasalah bu,” kata bapak.
Kakakku bertanya
“Gimana kuliahnya dim?,” sambil menghisap sebatang rokok dibibirnya. Ia juga sama dengan si bapak, tidak begitu terlihat peduli tapi pagi itu bertanya yang jarang ditanyakan isi rumah.
“Ya aman-aman aja sementara ini mah,” kataku.
Pagi itu dipenuhi untaian kata pada setiap pengalaman masing-masing
Namun, tiba-tiba ada pertanyaan yang lewat dipikiranku.
“Eh aku mau nanya deh, kira-kira kenapa hidup ini terlalu banyak perbedaan. Ras, agama, budaya, bahasa dll,” ucapku. Aku tidak sengaja bertanya seperti itu sebenarnya, hanya ingin menambah topik sebuah perbincangan.
“Iya ya kenap, cuaca bahkan udara di rumah lebih segar dari pada di kota,” kata bapakku balik bertanya balik.
Kakak tak lama langsung menjawab
“Setahu kakak, kakak pernah denger guru kakak bahas masalah ini kurang inget ayat qur’annya apa. Tapi intinya, perbedaan itu diciptakan untuk saling mengenal,” ujar kakakku sekaligus mengakhiri sebatang rokok diasbak.
“Cuman, kalau perbedaan udara itumah gara-gara polusi yang diakibatkan asap kendaraan atau asap pabrik. Ditambah kalau di kota udah jarang pepohonan,” tambah kakakku menjawab dua pertanyaan sekaligus.
Ibuku juga coba menjawab, tak ingin kalah dengan anak-anaknya yang berpindidikan tinggi. Karena ibuku hanya lulusan SD, tapi dia masuk pesantren begitu lama.
“Benar ucapan kakakmu, makanya jangan sampai salah dalam bersikap atau memahami sesuatu, karena jika kita salah ada yang bakal tersinggung tentunya,” ucapnya dengan tenang.
Lalu ibuku menambahkan ucapannya, dengan mulut penuh pisang goreng buatannya.
“Bahkan jika kita salah memberi harakat pada kalimat bahasa Arab, artinya akan beda. Dalam bahasa Indonesia pun jika kata “pamer” ditambah hurua “A” dan “N” artinya bukan lagi sombong tapi bisa diartikan sebuah presentasi,” tambah ibuku dengan bangga.
Seketika kami yang lainnya ikut kagum, tidak pernah mendengar dan melihat si ibu berbicara seperti ini.
Tentunya si bapak tak ingin kalah juga, dengan pasangan hidupnya.
“Nah maka, perbedaan ini seharusnya kita sandingkan bukan untuk dibandingkan,” pungkasnya dengan senyum yang lebarnya
Setelah si bapak berbicara, kami berdiam sejenak menghabiskan pisang goreng yang begitu nikmat disandingi kopi hitam.
Setelah menghabiskan isi mulut, aku kembali bertanya.
“Namun, apakah pantas jika yang disandingkan perbedaan yaitu janji dan realita kerja pemerintah. Kayaknya itu terlalu berbeda,” tanyaku lagi.
Kami berempat tertawa dengan kompak, sampai tidak ada yang berani menjawa pertanyaanku ini.
“Nak…, dim…, bangun udah siang,” berteriak ibuku dengan suara yang tak begitu tinggi dibalik pintu kamar.
“Hmmm,” aku hanya menggumam memberi tanda aku sudah bangun.
Ternyata benar, si bapak tidak begitu peduli dengan jam tidurku buktinya yang membangunkanku si ibu.
Setelah aku keluar kamar ibuku ngomong
“Bapak tadi yang minta bangunin kamu,” ucap si ibu berjalan ke teras rumah sambil membawa piring dengan isi pisang goreng.
Mimpi yang indah kataku dalam hati, semoga mimpi tadi terwujud.