
Semarang, Justisia.com – Siapa sangka kalau pengetahuan kita selama ini mengenai konsep heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) ternyata memiliki sejarah panjang nan kelam. Dalam sejarah tercatat, perkembangan dari keyakinan geosentris menuju heliosentris nyatanya tidak semulus seperti yang kita bayangkan. Sebab, peralihan keyakinan tersebut melibatkan banyak pihak, mulai dari otoritas agama (gereja), masyarakat, hingga ilmuwan.
Pemahaman mengenai geosentris (bumi sebagai pusat semesta) ternyata juga sempat ilmuwan muslim anut pada masa itu. Di antara tokoh-tokoh terkenal yang menganut paham geosentris adalah Al-Khawarizmi, penemu angka nol dan perhitungan aljabar; Abi Yusuf Ya’qub Al-Kindi; Muhammad bin Jabir bin Sinan atau Al-Battani; serta Al-Farabi. (Khulashotul Wafiyyah, hal. 6)
Di kitab ini kita akan diajak berkenalan dengan astronomi klasik oleh KH. Zubair Umar dan juga bagaimana cara menghitung arah kiblat, waktu salat hingga awal bulan.
Namun sebelum itu semua, terlebih dahulu KH. Zubair memulai dengan mengenalkan karakteristik dan hukum mempelajari ilmu tersebut. Nama ilmu ini adalah ilmu hisab dan ru’yah, yang juga dikenal dengan ilmu falak dan miqat.
Karakteristik dan Hukum Mempelajari Ilmu Falak
Ilmu Falak merupakan salah satu cabang ilmu astronomi (al-Hay’ah). Dalam tradisi Arab, ilmu yang disebut “astronomi” oleh bangsa Yunani terbagi menjadi tiga cabang: washfi, thabi’i, dan amali.
- Ilmu astronomi (al-Washfi):
Ilmu yang membahas keadaan benda-benda langit, seperti gerakan, titik terbit, cara pergerakan, ketinggian, penurunan, durasi siang dan malam, bulan, tahun, hilal, gerhana, dan sebagainya. - Ilmu astronomi (al-Thabi’i):
Ilmu yang mempelajari sifat benda-benda langit dari segi pengaruhnya terhadap peristiwa tertentu, sebab-musababnya, dan hukum-hukum yang terkait dengannya. Ilmu ini dikenal juga dengan nama ilmu astrologi atau ilmu peramalan (al-Ahkam). Dan ilmu astronomi jenis ini yang diharamkan dalam Islam. - Ilmu astronomi (al-Amali):
Ilmu yang mengajarkan cara mencapai pemahaman tentang kedua cabang ilmu sebelumnya dengan menggunakan alat seperti bola langit (astrolab), kuadran, tabel astronomi, logaritma, dan sebagainya. Ilmu inilah yang menjadi fokus dalam kitab ini.
Menurut KH. Zubair Umar,. Mempelajari ilmu astronomi dihukumi sebagai fardhu kifayah. Namun, dalam kondisi tertentu, ilmu ini bisa menjadi fardhu ‘ain. Misalnya, jika seseorang hendak bepergian ke daerah yang jauh dari ahli arah kiblat, maka memahami dalil-dalil kiblat menjadi wajib baginya.
Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Jawad menyatakan:
“Mempelajari dalil-dalil arah kiblat saat hendak bepergian ke tempat yang minim ahli penunjuk arah kiblat adalah fardhu ‘ain. Sedangkan di daerah yang banyak ahli penunjuk kiblat, hal ini menjadi fardhu kifayah.”
Demikian pula, Imam Al-Syabrakhiti dalam Nihayah menegaskan:
“Ilmu perbedaan waktu terbit dan tenggelamnya benda langit dapat disamakan hukumnya dengan ilmu dalil arah kiblat, yaitu fardhu ‘ain di kondisi tertentu dan fardhu kifayah di kondisi lainnya.”
Ilmuwan Muslim dan Paham Geosentris
Dalam kitab Khulashotul Wafiyyah disebutkan bahwa paham geosentris pertama kali dipopulerkan oleh Ptolemaeus. Ia mengemukakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta, dan seluruh benda langit bergerak mengelilinginya. Pendapat ini diterima luas oleh banyak kalangan pada masa itu, termasuk ilmuwan Muslim.
Namun, Pythagoras dari Italia yang hidup setelah masa Ptolemaeus memiliki pandangan berbeda. Ia berpendapat bahwa bintang-bintang dan benda langit lainnya bergerak dalam orbit masing-masing, dengan matahari sebagai pusat alam semesta. Pandangan ini belum terkenal pada zamannya hingga munculnya tokoh-tokoh ilmuwan besar lainnya yang mendukung pandangan heliosentris ini.
Ilmuwan Muslim yang hidup di masa kejayaan peradaban Islam juga turut menganut pandangan geosentris yang diperkenalkan oleh Ptolemaeus. Di antara tokoh-tokoh terkenal yang menganut paham ini adalah:
- Al-Khawarizmi, penemu angka nol dan perhitungan aljabar, yang juga mengembangkan tabel-tabel astronomi berdasarkan model geosentris.
- Abi Yusuf Ya’qub Al-Kindi, filsuf besar yang menulis banyak karya tentang astronomi dan kosmologi.
- Al-Battani (Muhammad bin Jabir bin Sinan), yang menyempurnakan perhitungan gerak benda langit dan menghasilkan tabel astronomi akurat, bahkan menjadi rujukan ilmuwan Barat.
- Al-Farabi, filsuf dan ilmuwan Muslim yang membahas astronomi dalam konteks filsafat alam.
Para ilmuwan ini tidak hanya menerima pandangan Ptolemaeus, tetapi juga mengembangkannya melalui observasi dan perhitungan yang lebih rinci. Hasil karya mereka, seperti tabel astronomi dan metode perhitungan gerhana, menjadi rujukan penting bagi peradaban Islam dan Eropa pada masa itu.
Munculnya Paham Heliosentris dan Kisah Copernicus
Setelah paham grosentris Kemudian muncullah seorang pria bernama Copernicus dari Prusia pada tahun 1530 Masehi. Ia mahir dalam ilmu matematika dan mengabdikan dirinya pada ilmu astronomi, pengamatan (rasyad), dan hikmah. Selain itu, terdapat pula seorang pria dari Denmark bernama Tycho Brahe yang hidup pada tahun 1582 M, seorang ilmuwan lain dari Jerman bernama Kepler pada tahun 1645 M, dan seorang ilmuwan dari Italia bernama Galileo pada tahun 1649 M.
Mereka semua kembali kepada pandangan yang dianut oleh Pythagoras, yang berpendapat bahwa matahari adalah pusat dunia, sementara bumi dan benda-benda langit lainnya berputar mengelilinginya. Urutannya adalah Merkurius, Venus, kemudian bumi (yang diikuti oleh bulan), lalu Mars, Jupiter, dan Saturnus.
Mereka mendukung pandangan ini dengan menerapkannya pada kaidah-kaidah ilmu matematika dan menjadikan ilmu astronomi berdasarkan fondasi yang nyata. Ketika Copernicus mempublikasikan pendapatnya dalam sebuah kitab berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium (Pergerakan Benda-Benda Langit), ia dihadapkan pada sidang oleh Dewan Gereja Katolik di Roma. Gereja memvonisnya sebagai sesat dan ateis. Mereka melarang penyebaran kitabnya dan mencegah orang untuk membacanya. Bahkan, jika memungkinkan, mereka akan membakar Copernicus bersama kitabnya.
Meski demikian, kitab tersebut malah menjadi terkenal, dan pandangan Copernicus tersebar luas hingga akhirnya dikenal secara luas. Setelah itu, kemudian Galileo menjadi orang pertama yang menggunakan teleskop dalam ilmu astronomi, yang dengannya ia telah mengungkap banyak fakta yang sebelumnya tidak diketahui.
Perkembangan Ilmu Astronomi dan Penemuan Newton
Kemudian, mendekati abad ke-18, Isaac Newton menemukan prinsip gravitasi universal yang mengatur semua gerakan benda-benda langit. Ia menjelaskan dan menetapkan hukum-hukum tersebut secara rinci. Penemuan Newton ini kemudian diperkuat oleh ilmuwan Prancis bernama Laplace, yang memperkuat dan menyempurnakan teori-teori gravitasi melalui perhitungan matematis yang akurat.
Orang-orang mulai memperhatikan ilmu astronomi dengan lebih serius berdasarkan metode baru ini. Cara ini menjadi cara yang dikenal luas di kawasan Eropa dan disebut sebagai “sistem astronomi modern”, meskipun pada hakikatnya sistem ini adalah lanjutan dari apa yang sebelumnya dikenal sebagai “sistem lama”.
Tidak ada perbedaan besar antara sistem lama dan baru mengenai gagasan bahwa bintang-bintang tetap (seperti rasi bintang dan bintang lainnya) adalah benda yang bersinar dengan cahaya sendiri. Namun, sistem lama menyatakan bahwa bintang-bintang tetap berada di langit ke-8, sedangkan sistem baru menyatakan bahwa mereka tersebar di berbagai langit yang berjauhan satu sama lain. Menurut sistem baru, bintang-bintang itu adalah matahari seperti matahari kita, dengan cahaya yang bersumber dari dirinya sendiri, dan sebagian bahkan lebih besar dari matahari kita.
Matahari kita hanyalah salah satu dari banyak bintang yang membentuk tata surya. Ia adalah bintang terbesar dan paling terang dalam tata surya kita. Tata surya sendiri terdiri dari benda-benda dingin yang mengorbit sebuah benda yang sangat panas, yaitu matahari kita.
Penulis: Daviq Nuruzzuhal
Red/Dd: Redaktur