
Judul Buku : Popular Culture: Budaya Populer, Benturan Massa dan Fenomena Massa
Penulis : Hert Janson
Jumlah halaman : 273
Tahun terbit : 2020
Penerbit : Amadeo Publishing Surabaya
Peresensi : Muhammad Daviq Nuruzzuhal
Semarang, Justisia.com – Persinggungan antara budaya populer dan budaya massa telah menghasilkan banyak diskusi oleh para pakar tanpa mencapai suatu konsensus yang utuh. Dalam masyarakat yang beragam, budaya itu berkembang seiring dengan peradaban manusia. Perselisihan dalam pembagian sumber daya dan kekuatan antara berbagai kelompok tidak terbatas pada masalah ekonomi dan politik saja. tetapi juga menyebar pada ranah isu budaya. Seperti di semua masyarakat barat, khususnya Amerika. Pergulatan budaya yang paling lama dan mungkin paling signifikan telah terjadi antara praktisi budaya kaum berpendidikan tinggi melawan sebagian besar masyarakat lainnya, baik kaya maupun miskin, yang lebih menyukai budaya massa atau populer yang disediakan oleh media dan industri barang konsumsi.
Dalam kajian tentang budaya, penulis buku ini yaitu Hert Janson menyebutkan tiga definisi budaya; budaya massa, budaya tinggi dan budaya selera. Istilah budaya massa (mass culture) menurutnya berasal dari Bahasa perancis mass dan kultur. Mass merupakan berarti bagian masyarakat tidak terdidik dari bangsa eropa yang sekarang akan digambarkan sebagai kelas pekerja, tingkat menengah-bawah dan kaum miskin. Kultur diartikan sebagai budaya tinggi yang identik dengan film, music, kesusasteraan, dan produk-produk simbolik lainnya yang lebih disukai oleh kaum elite berpendidikan pada masa dahulu ataupun sekarang. (hlm. XXV)
Tidak hanya masyarakat Eropanya saja, tetapi juga berhubungan dengan gaya pikiran dan perasaan mereka yang mereka sebut “berbudaya”. Sedangkan istilah budaya massa merupakan sebaliknya, yaitu berhubungan dengan produk-produk simbolik yang digunakan oleh mayoritas kelas bawah yang orang Eropa sebut sebagai “tidak berbudaya”. Di samping keduanya, terdapat lagi istilah budaya selera yang diartikan sebagai budaya yang mengandung nilai-nilai, musik, seni, desain, kesusastraan dan berbagai produk lainnya.
Kesan Dikotomi Budaya
Istilah budaya massa ini jelas merendahkan, massa menyarankan sebuah kolektifitas yang tidak dibedakan, bahkan segerombolan orang, dan bukan para individu atau anggota sebuah kelompok; dan budaya massa, adalah segerombolan orang yang tidak memiliki budaya. Penilaian negatif ini dapat dinetralkan dengan penggunaan istilah yang lebih positif seperti budaya populer atau seni populer. Lahirnya istilah budaya tinggi dan budaya populer mengakibatkan adanya dikotomi antara keduanya sehingga memunculkan adanya perbandingan yang mengawali akan adanya perdebatan dan kritik budaya populer.
Perdebatan itu sudah menjadi pembahasan satu-arah secara intelektual. Budaya populer dikritik oleh pendukung budaya tinggi sebagai budaya yang amat berbahaya bagi individu dan masyarakat yang mengonsumsinya. Di sisi lain, para pengguna budaya populer bersikap apatis dengan adanya kritik terhadap budaya populer, menolak budaya tinggi, dan terus menyerahkan diri mereka sendiri di hadapan penjual media dan produk konsumsi.
Kritik budaya massa mencakup lebih dari media dan produk konsumsi, sehingga hal tersebut sangat penting. Ini benar-benar tentang bagaimana sifat hidup yang baik, dan tujuan hidup secara umum, terutama di luar pekerjaan. Selain itu, ini berkaitan dengan budaya mana yang paling dominan dalam masyarakat dan bagaimana budaya tersebut digambarkan sebagai budaya masyarakat atau nasional dalam catatan sejarah peradaban dan dalam masyarakat modern.
Dalam buku ini Hert Janson merangkum kritik dan tuduhan terhadap budaya populer menjadi empat poin yaitu:
Karakter negatif dari budaya populer.
Kritik ini menekankan bahwa budaya populer itu merupakan budaya yang tidak diinginkan sebab otomatis disajikan dan diproduksi secara massal oleh Perusahaan yang menginginkan profit semata untuk kepuasan pelanggan.
Efek negatif terhadap budaya tinggi
Tidak sedikit budaya populer itu meminjam dari budaya tinggi, sehingga nilainya menjadi berkurang. Budaya populer juga memikat kreator budaya tinggi yang potensial sehingga mengosongkan bakatnya.
Efek negatif kepada audiens
Kritik ini terfokus pada mengkonsumsi isi budaya populer dalam keadaan paling baik dapat menghasilkan kepuasan palsu, dan dalam kemingkinan yang paling buruk itu dapat membahayakan secara emosional kepada audiens
Efek negatif terhadap masyarakat
Penyebaran secara luas budaya populer oleh media tidak hanya mengurangi kualitas budaya, tetapi juga mengakibatkan audiens yang pasif dan mudah termakan bujukan massa yang digunakan oleh rezim diktator. (hlm 1-2)
Keempat tuduhan ini pada nantinya akan ia bahas secara tersperinci satu-persatu pada buku ini. Tetapi pada intinya, ia menyampaikan bahwa penelitian sosiologi tentang budaya populer dan budaya tinggi menunjukkan bahwa kritik budaya massa merupakan serangan terhadap satu bagian masyarakat terhadap bagian lainnya: orang berbudaya terhadap orang yang tidak berbudaya, orang terpelajar terhadap orang yang tidak terpelajar, orang canggih terhadap orang yang tidak canggih, dan lebih lanjut. Ini menunjukkan bahwa budaya populer, yang dikritik oleh para kritikusnya, hanyalah budaya “leluhur” (budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi). (hlm V)
Meskipun didasarkan pada dua penilaian nilai, standar nilai itu sendiri basisnya bersifat sosiologi. Pertama, budaya populer menjadi budaya dan bukan hanya anca man komersial karena merefleksikan dan mengekspresikan keinginan dan estetika banyak orang. Kedua, setiap orang memiliki hak untuk memilih budaya apa pun yang mereka sukai, tidak peduli apakah itu populer atau tidak.
Bagian dari Budaya Selera
Analisis Jansen pada dua budaya tersebut berujung pada kesimpulan bahwa keduanya hanya merupakan bagian dari budaya selera. Masyarakat atau publik selera memiliki tingkat pilihan dan kegemaran berbeda dalam memilih budaya dan produk. Tingkat perbedaan selera tak dapat dilepaskan dari sistem kelas, Pendidikan dan ekonomi publik selera. Tak hanya itu ia juga setuju terhadap pembagian tingkat publik selera yang terbagi menjadi lima tingkatan, Ke-lima tingkatan tersebut memetakan tingkat selera masyarakat; budaya tinggi, budaya menengah atas, budaya menengah bawah, budaya rendah dan budaya rendah kuasi-rakyat. (hlm 103-149)
Setelah adanya kesimpulan bahwa fenomena ini hanyalah heterogenitas budaya selera semata, kemudian timbul pertanyaan bagaimanakah budaya selara yang baik atau diinginkan secara sosial? Sebagian pakar menyabutkan bahwa budaya yang baik dan tidak membahayakan apabila suatu budaya itu sudah sekelas dengan budaya tinggi. Masalahnya adalah bagaimana cara menghadirkan budaya yang tidak berbahaya tersebut kepada masyarakat kelas bawah yang mempunyai selera berbeda? (hlm. 207)
Selama periode ini, ahli sosial dan humanis kurang mempelajari budaya populer, yang mengakibatkan kurangnya catatan terperinci tentang pergerakannya. Sangat berbeda dari masa 1970-an dalam hal seni, kesusasteraan, dan hal-hal lainnya. yang berbeda terutama dalam hal standar estetika yang digunakan untuk menggambarkannya. Sejak lama, perbedaan antara karya tinggi, tanggung, dan rendah telah ada. Jika analisis dilakukan, tidak dianggap bahwa yang pertama lebih baik atau lebih buruk dari yang kedua.
Trilogi ini pada dasarnya sangat sederhana. Karena itu, para pakar menemukan dan menggambarkan lima budaya selera, dan kemudian membagi mereka ke dalam kelompok yang berbeda, seperti konservatif, progresif, dan lainnya. Setelah itu, penelitian berlanjut untuk mempelajari budaya pemuda, kulit hitam, dan ras dan kelompok etnik lainnya yang muncul atau muncul sepanjang tahun 60-an.
Prinsip utama dari analisis ini adalah bahwa setiap budaya memiliki nilai yang sama. Karena budaya selera merefleksikan kelas, terutama karakteristik pendidikan publik, budaya rendah sama benarnya untuk orang berpendidikan rendah seperti halnya budaya tinggi untuk orang berpendidikan tinggi. Konsep ini menawarkan dua opsi kebijakan. Salah satunya adalah “mobilitas budaya”, yang akan memungkinkan setiap orang untuk memilih budaya tinggi berdasarkan kebutuhan ekonomi dan akademis mereka. Yang kedua adalah “pemrograman subkultural”, yang mendorong setiap budaya selera, apakah itu tinggi atau rendah, yang menyarankan cara-cara yang dapat dilakukan oleh setiap budaya selera untuk berkembang, terutama budaya selera publik, yang saat ini kurang dilayani oleh media massa. (hlm 222-228)
Dalam hal budaya populer, penilaian Hert Janson jelas bertentangan secara tajam dengan pendapat para kritikus konservatif, sosialis, dan radikal. Namun, para intelektual konservatif mungkin tidak menyukainya. Mereka cenderung tidak toleran terhadap budaya populer karena tidak radikal atau dipromosikan melalui media bebas. Akhirnya, buku ini tidak mempromosikan media sebagai institusi, meskipun tidak sering mengkritik sajian media sebab media juga ingin mendapatkan pelanggan, tetapi setiap orang harus mendapatkan budaya yang mereka inginkan, terlepas dari keadaan keuangan mereka. kesejahteraan terhadap yang miskin, dan intelektual terhadap awam amat diperlukan. Dalam semua kasus budaya, sekelompok akan mengkritik kelompok yang lain. Sebab terdapat perbedaan standar apa yang disebut baik dari kelompok satu dengan kelas tertentu dengan kelompok lainnya yang berbeda kelas.