
Foto: Lpm Justisia
Semarang, Justisia.com – Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) UIN Walisongo Semarang menggelar kuliah umum bertema “Matinya Kepakaran dan Degradasi Ilmu Pengetahuan” di Teater Gedung K.H. Saleh Darat, Selasa (4/11).
Kegiatan ini menjadi ruang refleksi dan konsolidasi atas fenomena merosotnya keilmuan dan lunturnya otoritas pakar di dunia akademik.
Tiga narasumber hadir dalam kegiatan ini, yakni Wakil Rektor I UIN Walisongo Mukhsin Jamil, Ketua Yayasan Pemberdayaan Komunitas Lembaga Studi Sosial dan Agama (YPK ELSA) Tedi Kholiludin, dan dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Slamet Subekti
Ketiganya menyajikan pandangan berbeda, namun saling melengkapi dalam membedah krisis kepakaran dan degradasi ilmu pengetahuan di Indonesia.
Paradoks Pengetahuan di Era Post-Truth
Menurut Mukhsin Jamil, dunia modern tengah menghadapi paradoks besar: informasi melimpah, tetapi kebijaksanaan semakin menipis. Kebenaran ilmiah kini sering tersisih oleh opini yang viral di media sosial.
“Dunia mengalami paradoks, di mana informasi begitu melimpah namun kebijaksanaan justru menipis. Otoritas ilmiah perlahan tergantikan oleh opini viral,” ujarnya.
Ia menilai, matinya kepakaran disebabkan oleh beberapa faktor utama: demokratisasi informasi digital, media sosial yang menjadikan semua orang ‘pakar instan’, algoritma yang memperkuat bias, serta krisis kepercayaan terhadap institusi akademik.
Sebagai solusi, Mukhsin menawarkan tiga langkah penting:
- Rekonstruksi epistemik, mengembalikan ilmu pengetahuan pada fungsi kebenaran.
- Dialog terbuka antara ilmuwan dan publik untuk menumbuhkan kepercayaan baru.
- Integritas dan transparansi akademik, agar proses ilmiah kembali dipercaya masyarakat.
Pakar Selebritas dan Degradasi Ilmu Sistemik
Sementara itu, Slamet Subekti mengulas fenomena munculnya “pakar selebritas” figur publik yang mendapat legitimasi bukan karena keilmuannya, melainkan karena popularitas dan daya tarik emosionalnya.
“Kini muncul pakar selebritas yang menawarkan narasi sederhana dan emosional, sesuai dengan bias kognitif audiens. Mereka lebih menarik perhatian dibanding pakar sejati yang berhati-hati dan kompleks,” jelasnya.
Menurutnya, krisis kepakaran di Indonesia merupakan bagian dari degradasi ilmu pengetahuan yang bersifat sistemik, dipengaruhi oleh faktor politik, sejarah literasi, ketegangan antara sains dan agama, serta persaingan dengan pengetahuan lokal.
“Degradasi ilmu pengetahuan ini berakar pada sejarah politik, kesenjangan literasi, serta ketegangan lama antara sains dan agama. Situasi ini memperlemah otoritas keilmuan yang seharusnya menjadi penuntun masyarakat,” tambahnya.
Paradigma Baru dari Krisis Kepakaran
Tedi Kholiludin melihat krisis kepakaran sebagai gejala dari perubahan paradigma dalam produksi pengetahuan.
Jika dulu legitimasi ilmu berasal dari lembaga dan gelar akademik, kini ia bergeser pada siapa yang paling didengar publik.
“Dahulu ilmu disampaikan oleh mereka yang memiliki otoritas lembaga dan gelar. Sekarang, yang berpengaruh adalah siapa yang paling mampu menarik perhatian. Kepakaran kehilangan legitimasi publik, namun di sisi lain akses terhadap pengetahuan menjadi semakin terbuka,” ungkapnya.
Tedi menilai, setiap krisis membawa potensi lahirnya paradigma baru.
“Dalam sejarah ilmu, setiap krisis biasanya memunculkan anomali yang kemudian melahirkan paradigma baru sebagai reaksi terhadap ketimpangan lama,” tegasnya.
Tuntutan KSMW: Mengembalikan Moralitas Akademik
Sebagai penutup kuliah umum, KSMW menyampaikan pernyataan sikap atas kondisi kampus yang dinilai mengalami degradasi moral dan intelektual. Mereka menuntut adanya langkah konkret untuk memulihkan marwah akademik UIN Walisongo.
Beberapa tuntutan yang disuarakan antara lain:
- Meningkatkan mutu dan kualitas dosen.
- Memberikan ruang kebebasan akademik dan menindak dosen yang tidak kompeten.
- Menangani secara serius kasus runtuhnya moral dan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
- “Melakukan reorientasi Tridharma Perguruan Tinggi” agar kembali pada khittahnya sebagai sarana pembebasan rakyat dari kebodohan dan ketertindasan, bukan sekadar pencetak tenaga kerja kapitalistik.
Refleksi Akhir
Kuliah umum ini menjadi momentum bagi sivitas akademika untuk merenungkan kembali hakikat ilmu pengetahuan sebagai proses pencarian kebenaran, bukan sekadar konten viral. Di tengah era post-truth yang kian menipiskan nalar kritis, para pakar dan mahasiswa ditantang untuk membangun ulang kepercayaan publik terhadap ilmu dan moralitas akademik.
Penulis: Dakhlat
Red/Ed: Redaktur