Justisia.com – Empat komunitas literasi di Semarang menggelar camp penggerak acara bertajuk “Camp Penggerak Literasi” di Villa Promas Greenland, Nglimut, Gonoharjo, Limbangan, Kendal. Acara tersebut digelar pada Jum’at tanggal 16 – Sabtu tanggal 17 Mei 2025.
Kegiatan ini diikuti oleh komunitas Gusdurian UIN Walisongo, Semarang Book Party, Muara Baca, dan Kopi Perubahan, dengan tujuan memperkuat semangat kolaborasi dan pengembangan literasi lintas komunitas.
Ketua panitia acara, Ibnu Alghifari menjelaskan bahwa kegiatan ini dirancang sebagai sarana bertukar gagasan, memperluas jaringan, dan membangun ruang diskusi antar penggerak literasi dari berbagai latar belakang.
“Kita ingin saling mengenal, memahami, dan bertukar pengalaman antar komunitas. Karena kami berasal dari elemen mahasiswa yang berbeda, maka forum ini menjadi ruang bersama untuk saling belajar dan mengembangkan diri,” ucapnya.
Tidak hanya diikuti oleh mahasiswa UIN Walisongo, acara ini juga terbuka bagi peserta dari berbagai kampus di Semarang, seperti Unnes, Undip, dan Poltekkes, serta masyarakat umum yang tergabung dalam komunitas literasi.
“Semarang Book Party, misalnya, tidak hanya diisi mahasiswa, tapi juga masyarakat umum yang punya minat terhadap literasi. Jadi, acara ini benar-benar inklusif,” tambah Ibnu.
Mengangkat tema “Merawat Indonesia dari Akar: Literasi, Kerakyatan, dan Spirit Perubahan”, kegiatan ini menggambarkan semangat untuk menanamkan nilai-nilai perubahan melalui pendekatan literasi yang membumi.
“Literasi di Indonesia masih minim. Maka dari itu, kita sebagai penggerak harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa terjebak arus negatif. Literasi adalah alat untuk membuka kesadaran,” kata Ibnu.
Salah satu peserta, Rifai yang merupakan anggota Semarang Book Party dan alumni UIN Cirebon, mengaku antusias mengikuti acara ini meskipun kini telah bekerja di Semarang.
“Buat saya, bekerja itu monoton. Justru kegiatan seperti ini bikin otak lebih hidup. Saya merasa dapat banyak hal—ruang bertukar pikiran, deep talk, relasi baru, bahkan pentas seni,” ungkap Rifai.
Ia juga menyoroti rendahnya konsistensi gerakan literasi di Indonesia.
“Bukan hanya seberapa banyak yang literat, tapi berapa persen yang konsisten. Acara seperti ini bisa jadi titik awal untuk menularkan semangat literasi ke komunitas lain,” tambahnya.
Rifai berharap gerakan literasi ke depan tidak hanya fokus pada aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga mencakup aktivitas kreatif lainnya seperti berdongeng, bercerita, drama, serta upaya mengenal diri dan orang lain.