Semarang, Justisia.com – Banyak fatwa yang menyatakan bahwa merayakan tahun baru Masehi adalah haram. Hal ini didasari adanya tasyabbuh atau adanya menyerupai budaya non-Muslim. Tasyabbuh yang ada pada konteks perayaan, karena ada yang beranggapan bahwa tahun Masehi adalah milik umat Kristiani, sehingga perayaannya identik dengan adanya pohon Natal sekaligus sebagai simbol telah lahirnya Yesus Kristus. Padahal, ungkapan yang demikian itu kurang tepat, karena perhitungan tahun, baik itu Masehi/Miladiah atau Hijriah, keduanya memiliki peran yang sama sebagai penghitung bulan dan tahun. Bahkan, Al-Qur’an pun mengakui kebenaran keduanya.
Sebagian juga berpendapat, tasyabbuh yang dimaksud adalah dalam cara perayaannya, di mana kita melakukan perayaan namun banyak indikasi keharaman, seperti ikhtilat atau berkumpulnya lawan jenis. Perlakuan ini sering kali kita anggap hal itu biasa, mengatakan itu memang perkara haram, namun tetap biasa saja dan tanpa rasa penyesalan.
Persoalan ini semakin rumit, apalagi banyak yang mengatakan, “Itu sah-sah saja, toh tidak ada
syahwat ataupun fitnah, dan sudah maklum kita melakukannya.” Seharusnya kita memang
menyadari ada yang salah dan kita harus mengubah sikap.
Cara paling tepat untuk merayakan tahun baru adalah dengan mengubahnya menjadi kegiatan
positif, seperti istighosah, doa bersama, dan dzikir atau yang lainnya. Seperti sabda Nabi, jika
terdapat kesesatan, Nabi bersabda, “Fal yughayyirhu” yang berarti “maka ubahlah!”. Mungkin kita memang sudah terlalu jauh dari ajaran-ajaran pendahulu kita yaitu Walisongo, yang mengajarkan ‘transformasi’ guna mengurangi angka maksiat itu lebih diutamakan daripada melarang seseorang melakukan maksiat. Dengan mengganti sisi maksiatnya dengan perkara yang halal atau bahkan dengan perkara yang dianjurkan, ini dinilai lebih maslahat daripada harus melarang keseluruhan.
Penulis: Faiz H
Red/Ed: M Daqiv