Ketimpangan dan Beban Ganda: Nelayan Perempuan di Laut yang Kian Tak Menjanjikan
Demak, Justisia.com – Pagi di pesisir Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah selalu dimulai dengan bunyi dayung yang menyentuh air. Saat matahari baru muncul dari balik laut, perempuan-perempuan di Bedono dan Timbulsloko sudah turun melaut dengan perahu berbahan dasar kayu dan drum. Sementara sebagian besar orang baru menyiapkan sarapan, mereka telah menantang ombak untuk mencari kerang di antara air yang kian naik.

Salah satunya Miyah, perempuan paruh baya asal Timbulsloko itu mendayung perahu kecilnya sejak pukul enam pagi, saat rob masih tinggi-tingginya. Ketika ia kembali ke dermaga sekitar pukul dua siang, rob mulai surut. Tangannya mengeras karena air asin dan panas matahari. Drum bekas berisi kerang-kerang kecil bercampur lumpur di antaranya dua ekor udang dan dua rajungan hasil dari delapan jam kerja di laut.
“Sekarang udang sama rajungan jarang, ndhuk. Dulu masuk sendiri ke area tangkap, sekarang harus dicari jauh-jauh. Kalau cuma dapat satu kilo, pengepul gak mau beli,” ungakapnya saat ditemui kru LPM Justisia di pelataran rumah panggungnya yang sangat dekat dengan laut, Minggu (14/9).
Desa Timbulsloko kini hampir seluruh warganya, yang berjumlah sekitar 90 kepala keluarga, menggantungkan hidup dari laut. Dulu mereka menanam padi dan berkebun, tapi sejak tanah tenggelam dan sawah berubah jadi laut, profesi nelayan menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa. Pagi hingga siang, perempuan mencari kerang malam hari, suami mereka mencari tiram di tengah gelap, dingin, dan rob yang kian naik.

Perempuan di pesisir ini memikul dua dunia sekaligus laut dan rumah. Setelah seharian melaut, mereka masih harus membersihkan hasil tangkapan, memasak, mencuci, dan mengurus anak-anak pulang sekolah di rumah panggung yang dindingnya lembab.
“Kalau terus melaut juga gak kuat, harus ngurus anak sekolah, urusan dapur, jadi melautnya disesuaikan. Tapi kalau gak melaut, gak makan.” tutur Miyah.
Ketika air rob naik, laut yang selama ini menjadi ruang hidup berubah menjadi ancaman yang menelan perlahan.
“Kalau robnya tinggi, bisa sampai sehidung, saya gak bisa nyari kerang, udang, atau ikan,” ujarnya.
Dalam kondisi seperti itu, hari-harinya diisi dengan menunggu air surut sambil memperbaiki jaring atau menambal perahu drum yang bocor.
Pendapatan dari hasil laut tidak menentu. Dalam sehari, hasil tangkapan Miyah hanya sekitar empat hingga lima kilogram kerang, dihargai Rp14.000-Rp16.000 per kilo. Artinya, delapan jam bekerja di laut hanya menghasilkan sekitar Rp60.000-Rp70.000 itu pun belum dikurangi biaya umpan dan tenaga.
“Kalau lagi sepi, dapat tiga kilo aja udah syukur. Tapi kalau gak kerja, dapur gak ngebul,” katanya lirih.
Sementara itu, Laksmi, Ketua Kelompok Nelayan Timbul Berkah, menghadapi tantangan yang sama. Laksmi mulai melaut saat suaminya merantau bekerja di luar kota. Dari rasa canggung, ia belajar perlahan memasang jebak naga, menyiapkan umpan, dan mengendalikan perahu kecil di antara rob yang makin tinggi. Kini, meski suaminya telah kembali dan kembali melaut bersamanya, kebiasaan itu tetap ia jalani membuktikan bahwa laut bukan hanya urusan laki-laki, tapi juga ruang perjuangan perempuan yang menolak tenggelam.

“Waktu bapak kerja di proyek di Bandung, aku tak jajal tak coba. Lihat carane masang jebak, nyoba numpak perahu. Wong di sini kan kerjaane nelayan siji tok, ya harus iso, (Waktu suamiku kerja di proyek di Bandung, aku coba-coba sendiri. Melihat cara memasang jebakan, belajar naik perahu. Soalnya di sini pekerjaan cuma nelayan, jadi aku harus bisa.)” ujarnya dalam bahasa Jawa saat ditemui oleh kru LPM Justisia di rumahnya, Minggu (14/9).
Setiap hari, ia berangkat pukul tiga pagi, memasang delapan jebakan ikan di perairan dangkal. Hasilnya kadang cukup, kadang tidak.
“Biasane jam telu berangkat, jam papat rampung. Umpane larang, tapi nek gak masang yo gak oleh apa-apa, (Biasanya berangkat jam tiga pagi, jam empat selesai. Umpannya mahal, tapi kalau gak masang ya gak dapat apa-apa.)” katanya.
Dari seluruh hasil tangkapannya, pendapatan bersihnya jarang melebihi Rp50.000 per hari. Sebagian besar habis untuk biaya sekolah dua anaknya dan kebutuhan dapur.
“Ikane yo cilik-cilik saiki, padahal umpan 35 ribu per lima kilo. Kadang malah rugi, tapi yo gak iso mandek. Nek mandek, gak mangan (Ikan sekarang kecil-kecil, padahal umpan 35 ribu per lima kilo. Kadang malah rugi. Tapi gak bisa berhenti. Kalau berhenti, gak makan.)” ujarnya.

Di Bedono, Suminah, seorang nelayan perempuan yang telah puluhan tahun hidup berdampingan dengan laut, masih setiap hari mendayung perahu kecilnya seorang diri. Ia tidak lagi bisa menggunakan branjang (alat tangkap tradisional dari bambu) karena arus laut sudah berubah sejak proyek tol-tanggul dibangun.
“Sak niki mboten saget branjang, aruse mboten tekan mriki akibat tanggul (Sekarang sudah tidak bisa pakai branjang, arusnya tidak sampai ke sini karena tanggul.)” tuturnya saat dikunjungi kru LPM Justisia di kediamannya pada, Minggu (14/9).
Sekarang ia melaut dengan membawa jaring berat di perahu kayunya yang mulai lapuk. Setelah seharian di air, jaring itu ditarik perlahan dari perahu menuju tepi, berisi ikan-ikan kecil yang kemudian dijemur menjadi ikan asin agar bisa dijual dengan harga lebih baik. Ikan-ikan itu ia susun rapi di atas terpal di halaman rumah panggungnya, berharap kering sempurna sebelum sore tiba.
Namun hasil yang dijemur pun kini tak lagi aman. Debu kendaraan proyek yang melintas di depan rumahnya sering menempel di ikan-ikan itu, membuat permukaannya kelabu dan bau khas asin lautnya berubah samar.

“Yo piye, ndhuk… tetep kudu melaut sanajan panas nggegirisi. Saiki ora iso santai kaya biyen, amarga kudu luwih adoh nggoleki iwak, (Ya bagaimana lagi, Nak… tetap harus melaut meski panas menyengat. Sekarang tidak bisa santai seperti dulu, karena harus lebih jauh mencari ikan.)” katanya pelan.
Ia menunduk sejenak, memandangi tumpukan ikan di atas terpal. “Debune kuwi mlebu ning iwak, ndhuk. Yen angine kenceng, ditambah truk lewat,” ujarnya pelan. Debunya itu masuk ke ikan, Nak. Kalau angin kencang, seluruh rumah seperti diselimuti awan putih.”) ujarnya pelan.

Hasilnya tak seberapa, sekitar Rp30.000-Rp40.000 per hari. Namun bagi Suminah, itu bukan sekadar uang, melainkan simbol bahwa ia masih bisa bertahan di tengah perubahan yang tak memberinya banyak pilihan. Sebagian dari penghasilannya harus ia sisihkan untuk membeli garam bahan penting agar ikan asin buatannya bisa awet dan layak jual. Satu karung kecil garam bisa habis dalam dua atau tiga kali penjemuran.
“Garam saiki yo larang, ndhuk. Yen ora nganggo garam sing apik, iwake ora payu,(Sekarang garam juga mahal, Nak. Kalau gak pakai garam yang bagus, ikannya gak laku.)” katanya.
Riset Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada tahun 2023 mencatat bahwa rata-rata nelayan perempuan di pesisir utara Jawa Tengah hanya berpenghasilan Rp25.000-Rp60.000 per hari, bekerja 10-12 jam tanpa pengakuan formal dan tanpa perlindungan sosial. Mereka berada di garis depan perubahan iklim dan pembangunan, namun tetap tak dianggap dalam statistik perikanan nasional.
Air asin dan lumpur terus menelan daratan sedikit demi sedikit, sementara mereka tetap mendayung, menolak menyerah pada gelombang dan waktu. Laut bagi nelayan perempuan bukan lagi ruang mencari penghidupan, melainkan ruang bertahan tempat setiap tetes keringat hanya cukup untuk menunda tenggelam. Di balik tangan yang kasar karena air asin dan tubuh yang lelah oleh panas, tersimpan keteguhan yang nyaris tak pernah diakui: mereka menjaga hidup di tengah laut yang perlahan menolak mereka.
Nelayan Perempuan Tanpa Pengakuan: Nama yang Hilang di KTP
Pesisir yang semakin tenggelam, para perempuan masih mendayung di antara lumpur, asin air laut, dan birokrasi yang tak pernah selesai. Mereka menantang rob saban pagi, menebar jaring, menjemur hasil tangkapan, lalu pulang untuk menanak nasi dan mencuci pakaian di rumah panggung yang dindingnya lembap. Tapi di atas kertas negara, mereka tidak disebut nelayan mereka hanyalah “ibu rumah tangga.”
Miyah sudah bertahun-tahun melaut di Timbulsloko. Ia mengaku sudah pernah dimintai untuk mengumpulkan KK dan KTP guna mendapatkan kartu nelayan, setiap kali mendengar kabar akan ada pendataan kartu nelayan.
“Katanya mau dibuatkan, tapi sampai sekarang gak ada kabar, sudah hampir 1 tahunan ngumpulinnya” ujarnya pelan. Ia sudah terbiasa menunggu, sebagaimana menunggu air surut agar bisa turun melaut lagi.
Hal yang sama juga dialami Suminah di Bedono. Sejak suaminya meninggal, ia sendirian menghidupi dirinya dengan menjaring ikan. Tapi ketika diminta menunjukkan kartu nelayan, ia hanya tersenyum getir.
“KTP-ku masih tulisannya ibu rumah tangga. Padahal tiap hari ya di laut,” katanya.
Tanpa kartu nelayan, ibu-ibu nelayan tidak bisa mengakses asuransi nelayan, bantuan alat tangkap, atau kompensasi ketika jaringnya rusak. Harga satu jaring bisa mencapai satu juta rupiah, sementara penghasilan hariannya hanya sekitar tiga puluh sampai empat puluh ribu.
Ketika musim paceklik datang, Suminah terpaksa menunda membeli garam untuk membuat ikan asin, menunggu sampai ada tetangga yang mau meminjamkan uang.
Laksmi, Ketua Kelompok Nelayan Timbul Berkah di Timbulsloko, mengaku belasan anggotanya mengalami nasib serupa. Dari lima belas perempuan yang tergabung dalam kelompoknya, tak satu pun memiliki kartu nelayan, di KTP mereka semua tertulis “ibu rumah tangga.”
“Saya sudah kumpulkan fotokopi KTP, KK, data tangkapan. Sudah hampir setahun, tapi belum ada kabar. Katanya mau didata, tapi gak tahu kapan kelanjutannya,” ujarnya.
Peran Laksmi sebagai ketua kelompok nelayan Tinbul Berkah menginisiasi adanya koperasi unntuk anggotanya. Ia membentuk koperasi kecil untuk menopang para perempuan yang melaut tanpa pengakuan. Dari kas bersama hasil iuran, mereka saling menolong ketika jaring rusak, perahu bocor, atau salah satu anggota sakit.
“Kalau nunggu bantuan dari pemerintah, bisa keburu rusak semua. Kami buat kas sendiri buat jaga-jaga,” katanya.
Bantuan terakhir yang pernah mereka terima hanyalah sepasang sepatu boots dari pemerintah, tapi yang mereka butuhkan bukan hanya sekadar itu, kebutuhan yang paling mendesak adalah alat tangkap seperti jaring harganya cukup tinggi.
Ketika laut makin deras dan harga umpan dan alat tangkap terus naik, pengakuan negara justru makin jauh. Padahal, Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dengan jelas menyebut bahwa pemerintah wajib melindungi dan memberdayakan nelayan, termasuk perempuan, melalui pendataan dan penerbitan kartu nelayan. Tapi di lapangan, regulasi itu seolah berhenti di halaman undang-undang, tidak pernah sampai ke tangan mereka. Tanpa nama dalam data resmi, perempuan nelayan ini seolah tidak eksis di mata negara, padahal mereka ada di setiap ombak dan lumpur yang terus ditaklukkan setiap hari.
“Kalau jaring rusak, kalau perahu bocor, kami perbaiki sendiri. Kalau gak gitu, siapa lagi yang mau bantu?” tutur Laksmi menatap air yang mulai pasang.

Mereka terus melaut di bawah langit yang tak menentu, dengan jaring yang makin rapuh dan status yang tak diakui. Di tempat seperti Timbulsloko dan Bedono, identitas perempuan nelayan bukan sekadar soal pekerjaan itu soal keberadaan. Sebab ketika nama mereka hilang di KTP, yang hilang bukan hanya profesi, tapi juga hak untuk diakui sebagai bagian dari laut yang setiap hari mereka jaga dengan hidupnya.
Pembangunan yang Mengganggu, Bukan Melindungi

Jalanan kayu di Timbulsloko hingga rob dan debu di Bedono, cerita para nelayan perempuan berulang dalam nada yang sama pembangunan yang dijanjikan melindungi justru menambah luka. Mereka bukan menolak kemajuan, tapi menolak dilupakan dalam nama kemajuan.
Di atas kertas, proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak digadang-gadang sebagai solusi melindungi dari rob, membuka konektivitas ekonomi, dan menumbuhkan investasi. Namun di lapangan, air laut tetap naik, tambak tetap tenggelam, dan perempuan nelayan tetap berjuang di ruang hidup yang makin sempit.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah menyebut apa yang terjadi di pesisir Semarang–Demak sebagai “krisis sosial-ekologis yang ditutup dengan beton.” Proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) yang diklaim sebagai tameng dari rob, dalam pandangan WALHI, justru menghadirkan bentuk baru dari kerentanan sosial dan lingkungan.
Pernyataan itu disampaikan oleh Bagas Kurniawan, staf WALHI Jawa Tengah, saat wawancara melalui pesan tertulis secara daring oleh tim LPM Justisia pada September 2025. Ia menjelaskan bahwa proyek yang digadang-gadang sebagai solusi adaptasi terhadap krisis iklim ini justru menempatkan penyebab sebagai penyelamat.
“Kita tidak bisa menyebut ini adaptasi iklim, ini adalah penyesuaian ruang hidup untuk kepentingan ekonomi, bukan untuk keselamatan manusia.” ujarnya tegas.
Krisis yang diciptakan pembangunan ini tidak berhenti di persoalan ekologi. Ia merembes ke wilayah hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Karena ketika air terus naik dan tanah terus hilang, yang ikut terkikis bukan hanya daratan tapi juga hak warga untuk hidup layak di bumi yang mereka jaga sejak lama.
Analisis lain datang dari penelitian tim Geoplanning Universitas Diponegoro (2023) yang memetakan perubahan tata guna lahan di sepanjang pesisir Semarang-Demak menggunakan citra satelit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah konstruksi tanggul dimulai, terjadi peningkatan signifikan pada laju abrasi di area timur Bedono dan penurunan kualitas habitat mangrove akibat gangguan sedimentasi. Peneliti menyimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur keras tanpa strategi pemulihan ekosistem justru memindahkan risiko dari satu titik ke titik lain bukan menguranginya.
Sementara itu, data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) memperkirakan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Semarang dan Demak akan mengalami banjir rob permanen pada tahun 2050, jika tidak ada langkah adaptasi berbasis ekosistem. Data pemetaan risiko menunjukkan bahwa wilayah seperti Terboyo Kulon, Tambakrejo, Bedono, dan Timbulsloko termasuk kategori risiko tinggi dengan kombinasi penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut.
Kenyataan di lapangan memperkuat hasil riset tersebut. Sejak TTLSD dibangun, nelayan perempuan seperti Laksmi, Miyah, dan Suminah harus mendayung lebih jauh untuk mencari hasil laut. Di saat yang sama, mereka harus berhadapan dengan rob yang kian sering dan debu proyek yang mengotori tempat mereka menjemur ikan asin. Bagi mereka, pembangunan ini bukan sekadar proyek fisik, tetapi juga penanda perubahan arah hidup.
Artikel Bagian 2
Penulis : Tim Redaksi LPM Justisia
Baca Bagian 1 Disini
Melawan Narasi Krisis Iklim : Nelayan Perempuan Bertahan di Tengah Krisis Iklim dan Pembangunan yang Menyingkirkan
Baca Bagian 3 Disini
Suara Harapan Pemulihan Nelayan Perempuan