
Semarang, Justisia.com – Dua aktivis pejuang lingkungan dan HAM di Kota Semarang, Adetya Pramandira alias Dera dan Fathul Munif, ditangkap polisi dan langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui proses pemanggilan. Keduanya disangkakan melanggar dua pasal dalam UU ITE serta Pasal 160 KUHP. Kamis, (27/11).
Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Semarang, Bagas Budi Santoso, menjelaskan kronologi penangkapan. Mereka yang terkenal aktif menyuarakan isu kerusakan lingkungan dan HAM ditangkap di wilayah Kecamatan Pedurungan sekitar pukul 05.00 WIB.
Dera ditangkap polisi setibanya dari Jakarta ketika diantar Fathul Munif ke kos-kosannya. Sebelumnya, keduanya merasa telah diintai aparat kepolisian saat masih berada di kantor Walhi Jateng di Kecamatan Candisari.
“Kabarnya sejak mereka di kantor Walhi Jateng itu sudah dipantau oleh aparat kepolisian. Sekitar pukul 05.00 WIB, mereka ditangkap polisi atas tuduhan penyebaran informasi bohong dan penghayutan,” ujar Bagas.
Dugaan Kriminalisasi dan Respons LBH Semarang
Khusus Dera, sehari sebelum penangkapan, ia bersama sejumlah aktivis di LBH Semarang mendampingi dua petani Dayunan, Kabupaten Kendal, dan tiga petani Sumberrejo, Kabupaten Jepara untuk melaporkan dugaan kriminalisasi oleh Polda Jateng ke sejumlah lembaga di Jakarta.
Laporan diajukan ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan seluruh proses pelaporan berlangsung lancar.
“Tapi sejak pelaporan ke Komnas HAM, ada dari kami yang merasa sedang diikuti oleh orang. Kemudian kami tidak menganggap hal itu secara serius,” paparnya.
Bagas menyatakan terkejut atas penangkapan tersebut. Ia menilai ironis ketika Dera yang membantu petani mencari keadilan justru ditangkap polisi.
“Kok sesampainya Dera di Semarang, justru dia sendiri yang ditangkap atas tuduhan yang menurut kami tidak berdasar. Kami tim Suara Aksi tentu merasa keberatan,” ungkapnya.
Salah satu anggota Tim Hukum Suara Aksi, Nasrul Dongoran, menyatakan pihaknya akan menempuh langkah hukum karena penangkapan dianggap sewenang-wenang.
“Kita harus menempuh praperadilan karena pemberian SPDP itu melebihi tujuh hari. Dua orang ini juga ditetapkan sebagai tersangka tanpa pernah diperiksa sebagai saksi,” ujar Nasrul.
Nasrul menambahkan kedua aktivis tidak mengetahui secara jelas peristiwa apa yang disangkakan kepada mereka. Ia menilai penetapan tersangka tanpa pemeriksaan saksi membuat keduanya tidak mendapatkan gambaran mengenai dugaan peristiwa pidana.
“Seharusnya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, seseorang yang akan ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan wajib didengar terlebih dahulu sebagai saksi supaya keterangannya berimbang antara pelapor dan terlapor,” tutupnya.
Penulis: Tim Redaksi
Red/Ed: Redaktur