
Semarang, Justisia.com – Aksi Kamisan Semarang kembali digelar di depan Kantor Gubernuran Semarang sebagai bentuk protes terhadap pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis, (20/11).
RKUHAP yang disahkan pada 18 November 2025 dinilai dapat memperbesar peluang penyalahgunaan wewenang oleh kepolisian. Hal tersebut disampaikan Bagas, anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.
Bagas, yang selama setahun terakhir mendampingi berbagai kasus Hak Asasi Manusia (HAM) dan aksi demonstrasi, menjelaskan bahwa sejumlah ketentuan dalam RKUHAP baru berbeda dari KUHAP lama yang berlaku sejak 1981. Salah satu poin yang disorot adalah perubahan masa penahanan.
“Di KUHAP lama, seseorang hanya bisa ditahan maksimal satu hari. Kalau tidak terbukti, harus dilepaskan. Di KUHAP baru, masa penahanan awal menjadi tujuh hari,” ujarnya.
Menurutnya, perubahan ini dapat berdampak buruk, terutama bagi peserta aksi yang sering ditangkap saat demonstrasi. Ia juga menyoroti aturan baru terkait upaya paksa. Jika sebelumnya polisi harus meminta izin pengadilan untuk melakukan penangkapan, penyitaan, atau penggeledahan, kini tindakan tersebut dapat dilakukan hanya berdasarkan keputusan polisi.
“Ini rawan disalahgunakan. Di lapangan kami sering melihat penangkapan tanpa surat resmi,” kata Bagas. Ia menambahkan bahwa alasan “tertangkap tangan” kerap digunakan polisi untuk menangkap massa aksi, padahal mereka hanya sedang menyampaikan pendapat.” pungkas Bagas.
Bagas menegaskan bahwa Aksi Kamisan di Semarang akan terus berlangsung setiap Minggu, menyesuaikan isu yang muncul, sebagai bentuk konsistensi dalam memperjuangkan berbagai persoalan hak asasi manusia.
Penulis : Safhira
Red/Ed : Editor