SUARA AKADEMISI DAN REFLEKSI HUKUM
Demak, Justisia.com – Kisah Miyah, Laksmi, dan Suminah bukan sekadar potret ketahanan nelayan perempuan di pesisir Jawa Tengah. Di balik tubuh-tubuh yang bekerja di antara air asin, lumpur, dan debu proyek, ada satu pertanyaan yang menggantung di mana posisi hukum ketika perempuan yang menopang kehidupan laut justru dihapus dari catatan negara?

Mereka semua bekerja di laut mendayung perahu, menebar jaring, memungut kerang tetapi di KTP, status mereka tetap “ibu rumah tangga”. Tak satupun tercatat sebagai nelayan. Akibatnya, mereka tidak memiliki kartu nelayan, dokumen penting yang menjadi syarat untuk mendapatkan perlindungan sosial, asuransi kerja, bantuan alat tangkap, hingga akses pelatihan. Padahal, pekerjaan mereka memikul risiko yang sama, bahkan lebih berat dibandingkan laki-laki.
“Perempuan di pesisir sering diabaikan secara administratif. Ini bentuk ketimpangan struktural yang diperparah oleh pembangunan yang tidak peka gender,” ujar Novita Dewi Masyithoh, akademisi hukum dari UIN Walisongo Semarang di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, dalam wawancara dengan LPM Justisia pada September 2025
Menurut Novita, apa yang dialami para perempuan nelayan ini mencerminkan kegagalan negara dalam menerjemahkan hukum ke dalam kebijakan nyata. UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan seharusnya menjamin perlindungan sosial, pemberdayaan ekonomi, serta partisipasi nelayan termasuk perempuan dalam perumusan kebijakan publik. Namun pelaksanaannya masih bias gender perempuan hanya diposisikan sebagai “pendamping”, bukan pelaku utama.
“Secara hukum, perempuan yang bekerja di laut harusnya diakui sama. Tapi yang terjadi, status mereka dibatasi oleh label sosial ‘istri nelayan’, bukan nelayan itu sendiri,” jelas Novita.
Ketiadaan pengakuan ini menimbulkan efek domino. Ketika jaring rusak, tak ada jaminan pengganti. Ketika ombak tinggi, tak ada perlindungan kerja. Bahkan ketika proyek besar seperti Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) hadir dan mengubah ekosistem laut, mereka tidak memiliki ruang formal untuk bersuara. Nama mereka tidak muncul dalam daftar nelayan terdampak karena secara administratif, mereka memang tidak ada.
“Masalahnya bukan hanya pada hilangnya akses, tapi pada hilangnya eksistensi,” kata Novita.
Perempuan pesisir bekerja setiap hari, tapi negara tidak mencatatnya.
Situasi ini juga sejalan dengan hasil wawancara kru LPM Justisia bersama Zalya staf WALHI Jawa Tengah melalui tulisan secara daring, pada September 2025. Ia menjelaskan bahwa proyek infrastruktur berskala besar seperti TTLSD telah menunjukkan pola pengabaian hak-hak warga, terutama perempuan nelayan, sejak tahap perencanaan.
“Kami menemukan indikasi pengabaian hak-hak warga dalam proses pembangunan infrastruktur besar seperti Tol-Tanggul Laut Semarang-Demak, Warga, termasuk kelompok perempuan, tidak dilibatkan sejak awal. Informasi teknis dan dokumen kajian lingkungan sulit diakses, sehingga mereka tidak dapat memberi masukan berarti atau menolak jika ada risiko besar bagi penghidupan mereka.” ujar Zalya.
Temuan WALHI menunjukkan bahwa hak atas informasi dan partisipasi publik, yang dijamin dalam Pasal 65 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, tidak dijalankan secara penuh. Sosialisasi proyek dilakukan secara terbatas dan lebih bersifat seremonial. Warga baru mengetahui detail proyek setelah desain final disahkan, ketika tidak ada lagi ruang untuk mengubah keputusan.
“Pembangunan tanpa partisipasi itu pelanggaran dalam diam,” lanjut Zalya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pengabaian administratif dan pengabaian hukum berjalan beriringan. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat memang telah dijamin oleh Pasal 65 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 dan Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, tetapi dalam praktiknya, hukum berhenti di atas kertas. Di lapangan, perempuan nelayan tetap berjuang tanpa pengakuan, tanpa perlindungan, dan tanpa akses yang adil.
Dari Timbulsloko hingga Bedono, suara perempuan nelayan ini menjadi pengingat bahwa keadilan iklim dan keadilan gender tidak bisa dipisahkan. Keduanya tumbuh dari akar yang sama hak untuk diakui, dilibatkan, dan hidup layak di tanah sendiri.
Suara yang Diinginkan Warga dan Arah Pemulihan dari Pemerintah
Dinding rumah panggung yang lembab dan tiang-tiang kayu yang menopang kehidupan, warga pesisir Semarang-Demak menyimpan harapan yang sederhana namun kuat mereka ingin tetap tinggal, beradaptasi, dan hidup berdampingan dengan laut tanpa rasa cemas.

Bagi Laksmi, harapan itu bukan tentang proyek besar atau bantuan instan. Ia hanya ingin pemerintah melihat dan mendengarkan.
“Kalau ada program lagi, kami ingin dilibatkan dari awal, Kami tahu laut lebih dari siapa pun. Kalau dilibatkan, kami bisa bantu cari solusi yang cocok.” ujarnya sambil menata jaring di beranda rumahnya di Timbulsloko.
Harapan serupa datang dari Miyah, yang setiap pagi mendayung perahunya di antara air rob. Ia berharap agar kolam retensi yang rencananya akan dibangun bersamaan dengan proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) benar-benar bisa menjadi solusi bagi desa mereka.
“Kalau kolam retensi bisa menahan air dan gak bikin arus makin deras ke rumah, kami senang. Asal benar-benar dijaga, jangan cuma dibangun terus ditinggal,” katanya pelan.
Warga percaya bahwa kolam retensi bisa menjadi ruang adaptasi yang adil tempat menampung air sekaligus membuka peluang baru bagi kehidupan pesisir. Beberapa warga bahkan berharap kolam itu bisa menjadi sumber ekonomi baru jika dikelola dengan bijak, seperti budidaya ikan atau wisata air kecil-kecilan.

Rony, pemuda asal Timbulsloko yang aktif membantu kegiatan warga, juga menaruh harapan besar saat ditemui kru LPM Justisia pada Minggu (17/9).
“Dengar-dengar Timbulsloko sempat dilirik mau dijadikan desa wisata apung, Kalau benar begitu, warga bisa ikut dilibatkan. Biar jadi mata pencaharian baru, apalgi disini juga ada anak muda.” ujarnya.
Rony berharap, jika rencana itu benar terwujud, pemerintah tidak hanya menjadikan warga sebagai penonton, tapi sebagai pelaku utama. “Kami ingin bukan cuma jadi objek, tapi bagian dari pengelolaan. Kalau ada pelatihan, warga bisa belajar, bisa kerja. Jadi gak harus pindah,” tambahnya.
Sementara itu, pemerintah melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana, yang menaungi pembangunan TTLSD, menyatakan bahwa proyek tanggul laut dan jalan tol tersebut akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan sosial masyarakat sekitar.
Dalam keterangan resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2024, disebutkan bahwa kolam retensi dan sistem pompa air akan menjadi bagian penting dari skema pengendalian rob. Fasilitas ini dirancang untuk menampung air limpasan, mengurangi genangan, dan mengembalikan fungsi kawasan pesisir secara bertahap.
Selain itu, PUPR juga menyebutkan bahwa dalam tahap lanjutan, kawasan di sekitar tanggul akan diarahkan menjadi zona ekonomi produktif berbasis masyarakat, termasuk sektor perikanan, jasa, dan pariwisata berbasis lingkungan.
“Pemerintah berkomitmen agar proyek ini tidak hanya berfungsi sebagai infrastruktur pelindung, tapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi warga pesisir,” tulis Kementerian PUPR dalam publikasi resminya (2024).
Bagi warga Timbulsloko dan Bedono, kabar itu menjadi setitik cahaya setelah bertahun-tahun hidup dalam genangan. Mereka berharap janji tersebut bukan sekadar rencana di atas kertas, tetapi benar-benar diwujudkan dengan melibatkan warga sebagai bagian dari perubahan.
“Kalau bisa, kami gak mau pindah, cukup dikasih jalan biar bisa kerja, biar bisa hidup di sini lagi seperti dulu” kata Suminah pelan, menatap laut yang memantulkan cahaya sore.
Di pesisir yang perlahan tenggelam itu, harapan warga bukan lagi tentang melawan laut, melainkan belajar hidup berdampingan dengannya. Mereka ingin menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penerima dampak. Karena bagi mereka, laut bukan musuh ia adalah rumah yang mereka jaga, tempat di mana setiap tiang kayu, setiap jaring, dan setiap doa ditambatkan pada satu harapan: agar kehidupan tetap bisa tumbuh, bahkan di tengah air yang terus naik.
Hingga saat ini, penulis masih menghadapi kendala untuk memperoleh keterangan langsung dari pihak pemerintah maupun pengelola proyek TTLSD. Upaya konfirmasi telah dilakukan dengan berbagai cara. Penulis sudah memperoleh kontak dari pihak TTLSD yang didapat dari Kelompok Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) maupun warga sebagai orang yang menangani urusan pembangunan TOL Genuk-Sayung Namun, ketika dihubungi, yang bersangkutan mengaku tidak memiliki kewenangan untuk memberikan keterangan resmi.
Dari sisi Kementerian PUPR, penulis telah mengirimkan surat permohonan wawancara sekaligus mendatangi perwakilan PUPR di Semarang. Akan tetapi, karena proyek ini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN), permohonan tersebut dialihkan ke Kementerian PUPR pusat di Jakarta.
Sementara itu, dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, akses yang tersedia hanya sebatas dokumen resmi yang dipublikasikan melalui Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH), seperti salinan Surat Keputusan Presiden serta keterangan umum proyek. Oleh karena itu, penjelasan dalam bagian ini dirujuk dari dokumen publik yang tersedia, antara lain SK Presiden yang menetapkan TTLSD sebagai PSN, ringkasan kajian akademis yang dipublikasikan di laman resmi Kementerian PUPR, serta data progres pembangunan dari Direktorat Jenderal Bina Marga.
Dokumen-dokumen tersebut setidaknya memberikan gambaran resmi mengenai tujuan, manfaat, serta mitigasi yang dijanjikan pemerintah terkait proyek ini.
Di pesisir yang perlahan tenggelam itu, harapan warga bukan lagi tentang melawan laut, melainkan belajar hidup berdampingan dengannya. Mereka ingin menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penerima dampak. Karena bagi mereka, laut bukan musuh ia adalah rumah yang mereka jaga; tempat di mana setiap tiang kayu, setiap jaring, dan setiap doa ditambatkan pada satu harapan: agar kehidupan tetap bisa tumbuh, bahkan di tengah air yang terus naik.
Artikel Bagian 3
Penulis : Tim Redaksi LPM Justisia
Baca Bagian 2 Disini
Bekerja di Laut, Tercatat di Rumah: Ironi KTP Nelayan Perempuan
Baca Bagian 1 Disini
Melawan Narasi Krisis Iklim : Nelayan Perempuan Bertahan di Tengah Krisis Iklim dan Pembangunan yang Menyingkirkan