
Foto: Dimas/LPM Justisia
Dulu…
Setiap sore itu milik kami,
lapangan kosong cukup jadi surga.
Sepak bola dari plastik,
petak umpet sampai langit jingga.
Tertawa bebas,
tanpa takut apa-apa.
Tapi sekarang…
air asin datang layaknya tamu yang tak pernah pulang.
Main di lapangan?
Lapangannya udah jadi kolam.
Kakiku pernah lincah di jalan desa,
sekarang jalannya tenggelam,
jadi kubilang:
yang hilang bukan cuma tempat bermain,
tapi juga rasa aman.
Setiap langkah harus diawasin,
ada ibu di ujung pandang,
“jangan lari ke sana, dalam!”
Kebebasan kecil itu
perlahan dilarang.
Aku kangen main bareng teman
tanpa takut jatuh ke lubang,
tanpa dihentikan suara orang tua
yang cuma pengen jaga
tapi bikin tawa kami hilang.
Air naik,
tapi masa kecil kami tenggelam.
Bukan cuma rumah yang karam,
tapi mimpi dan kenangan yang diam-diam padam.
Timbulsloko, namamu indah,
tapi kami yang lahir di sini
malah belajar artinya kehilangan
sebelum sempat benar-benar merasakan.
Penulis: DS