
Semarang, Justisia.com – Suasana hangat bercampur semangat solidaritas mewarnai kampus UIN Walisongo Semarang. Puluhan mahasiswa, aktivis, dan masyarakat umum hadir dalam acara Konferensi Tani Jawa Tengah yang bertajuk “Jawa Tengah Lumbung Pangan Kriminalisasi”, sebuah forum yang menggabungkan seni, diskusi, dan testimoni langsung dari petani. Pada Kamis, (24/9).
Acara dimulai pada pukul 13.00 dengan pemutaran film dokumenter “Seribu Bayang Purnama” karya sutradara Yahdi Jamhur, di ruang teatrikal Fakultas Syari’ah dan Hukum. Film tersebut menggambarkan potret perjuangan masyarakat desa menghadapi tekanan modernisasi dan konflik lahan. Seusai pemutaran, banyak peserta terlihat terharu dan larut dalam refleksi.
“Film ini hanya menampilkan satu atau dua persoalan petani, dan salah satunya konflik HPP yang tinggi. Namun meskipun sedikit semoga menjadi bermanfaat nantinya,” ucap sang sutradara.
Memasuki sesi kedua, peserta bergeser tempat ke landmark UIN Walisongo untuk mendengarkan para petani dari berbagai daerah di Jawa Tengah berbagi pengalaman. Petani Kawula Alit dari Dayunan, Kendal, menceritakan sulitnya menjaga lahan dari alih fungsi.
“Tuannya negara adalah petani, tidak ada kedaulatan negara tanpa ada kedaulatan pangan dan yang memegang kedaulatan pangan hanya petani,” kata Trismina dengan tangan yang terkepal dan gemetar.
Sementara itu, perwakilan dari Pejuang lingkungan asal Sumberejo, Jepara, menekankan pentingnya gerakan bersama menjaga ekosistem pesisir dari eksploitasi.
“Lahan bukan hanya sumber nafkah, tapi juga warisan anak cucu. Kalau rusak, habis sudah masa depan kita,” tegasnya.
Yusumi Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (GERMAPUN) ikut menyuarakan keresahannya, yang telah berpuluh-puluh tahun berjuang demi lahan yang ia miliki.
“Kami sudah berpuluh-puluh tahun berjuang demi lahan kami, malah kemarin PT Laju Perdana Indah melaporkan kalau tebu merusak padahal tebu itu tidak merusak. Apakah para pemerintah bisa makan kalau tidak ada petani? Mereka makan karena hasil petani,” pungkas Yusumi.
Tak ketinggalan, mahasiswa dari berbagai kampus se-Semarang Raya ikut bersuara. Mereka menekankan bahwa perjuangan petani tak bisa dilepaskan dari peran kampus. LBH Semarang pun hadir memberikan perspektif hukum mengenai maraknya kasus kriminalisasi petani.
Di sela diskusi serius, panggung hiburan tetap hidup. Grup musik akustik Tepa Slira dan pembacaan puisi dari Sendok Gema menambah nuansa reflektif. Lagu perjuangan juga dibawakan Kepal SPI, yang mengajak hadirin bernyanyi bersama.
Acara ditutup dengan tradisi Brokohan, makan bersama sebagai simbol persaudaraan. Brokohan menjadi penegasan bahwa solidaritas petani, mahasiswa, dan masyarakat harus terus dijaga.
“Kami ingin kampus menjadi ruang aman untuk petani bersuara,” kata salah satu perwakilan petani.
Forum ini menjadi momentum penting untuk mengingatkan kembali bahwa petani bukan hanya penyedia pangan, tetapi juga penjaga keberlanjutan lingkungan.
Penulis: Deemz
Red/Ed: Redaktur