Desa Gedong, Semarang, Justisia.com – Pagi itu, sekelompok lansia tampak duduk bersila di sebuah rumah sederhana. Al-Qur’an terbuka di pangkuan, mata mereka tertuju pada Ustadz Udi yang tengah menyampaikan pelajaran fiqih dasar. Bukan di masjid besar atau pesantren megah, tapi di sebuah ruang kecil yang sejak 2019 berubah fungsi menjadi Pesantren Lansia, sebuah tempat yang menjadi titik temu antara semangat hidup dan ketenangan batin di usia senja.
Ketika sebagian orang lanjut usia memilih menikmati masa tua dalam kesunyian, warga lansia Desa Gedong justru menemukan energi baru lewat rutinitas mengaji, belajar hadis, hingga menyimak kisah hidup Nabi Muhammad SAW. Semuanya disampaikan dengan pendekatan lembut dan penuh kasih, tanpa tekanan dan tanpa tuntutan akademik.
“Awalnya cuma rumah kosong yang dijadikan tempat ngaji,” kenang salah satu pengurus perempuan. Kini, tempat itu telah menjelma menjadi ruang ibadah, ruang belajar, sekaligus ruang berbagi kisah hidup.
Di bawah bimbingan Ustadz Udi, kegiatan pesantren berlangsung dua kali sehari, pagi dan sore. Para peserta terbagi menjadi dua kelompok: santri mukim yang datang dari luar desa dan menetap di sekitar pesantren, serta santri non-mukim yang berasal dari Desa Gedong dan pulang-pergi setiap harinya. Rata-rata, sekitar 25 lansia mengikuti kegiatan ini secara rutin.
Namun kegiatan di pesantren ini tidak berhenti pada kajian agama. Setiap hari Selasa siang, alunan rebana terdengar dari pekarangan rumah pesantren. Grup rebana lansia berlatih dengan penuh semangat—mengisi desa dengan irama yang menyejukkan sekaligus menjadi ruang ekspresi seni di tengah usia yang tak lagi muda.
Pesantren Lansia juga menunjukkan wajah keberpihakan sosial. Bagi mereka yang sakit dan tak bisa datang ke pesantren, tim mahasiswa magang dan relawan akan mendatangi rumah mereka. Membawa layanan homecare sederhana, menyampaikan pelajaran agama, dan yang paling penting: menghadirkan rasa bahwa mereka tak sendiri.
Lebih dari sekadar tempat belajar agama, Pesantren Lansia menjadi bukti bahwa kehidupan spiritual tidak mengenal usia. Di tengah keterbatasan fisik dan jarak, komunitas ini menghadirkan cinta, perhatian, dan ruang bermakna bagi para lansia untuk tetap tumbuh—secara ruhani maupun sosial.
“Belajar tidak harus muda, dan tua bukan alasan untuk berhenti berharap,” ungkap Ustadz Udi. Kalimat sederhana itu seolah merangkum napas pesantren ini: bahwa usia senja bukan akhir dari perjalanan, melainkan babak baru untuk menemukan cahaya.
Penulis: Redaksi Justisia
Red/Ed: Redaktur