Kami perkenalkan
Minuman putus cinta
Obat penghilang luka houwoo…
Yang di namakan (yang di namakan)
Yang di namakan (yang di namakan)
Yang di namakan (yang di namakan)
Cap tiga dewa
Semarang, Justisia.com – Sebuah potongan lirik lagu karya Band Serempet Gudal yang berjudul Semarangan, dalam lagu tersebut mencoba mengenalkan salah satu minuman khas asal Kota Semarang yang di namakan Cap Tiga Dewa atau kerap disebut Congyang. Congyang sendiri merupakan minuman alkohol khas Semarang yang acapkali di kaitkan terhadap kegiatan negatif menurut sebagian sentimen masyarakat Semarang. Terlepas dari konteks agama dan sebagian pandangan masyarakat, tidak dapat terpungkir bahwasanya congyang adalah sub culture yang sulit untuk di pisahkan bagi kota Semarang.
Keberadaan congyang sendiri tidak terlepas kisah seorang master kung fu dan ahli pengobatan Tiongkok yang bernama Khong Ching Chiang atau akrab di kenal suhu Khong A Djong. Semasa hidupnya Khong A Djong masyhur di kenal menjadi seorang master kung fu dan Tabib. Melalui keahlian pengobatan tiongkoknya Khong A Djong menciptakan minuman kesehatan yang populer di masyarakat Semarang dengan sebutan minuman A Djong di tahum 1970. Minuman kesehatan Khong A Djong Sendiri memiliki efek mabuk bagi sang peminun apabila di konsumsi dengan berlebihan. Terdapatnya efek mabuk inilah yang kemudian membuat oknum menyalahgunakannya atau kerap di panggil Ndoyong (mabuk) A Djong. Memasuki Tahun 1980 menjadi akhir kejayaan minuman Adjong dan menjadi awal kemunculan minuman congyang di semarang kemudian hari.
Minuman Congyang terlahir dari seorang Tionghoa bernama Koh Tiong di kawasan Pecinan Semarang pada tahun 1980. Congyang sendiri merupakan fermentasi beras yang di campur gula, spirit, dan aroma. Kelahirannya di kawasan Pecinan membuat beberapa menyebut congyang sebagai hasil produk akulturasi budaya Tionghoa di Jawa. Secara geografis Semarang sendiri merupakan salah satu wilayah komunitas Tionghoa terbesar di Indonesia. Sehingga bukan suatu keanehan, apabila jejak akulturasinya begitu berdampak di berbagai sektor kehidupan masyarakat Semarang. Namun, tidak seperti Lumpia kehadiran congyang sangat bertolak belakang dan kerap kali di hubungkan dengan kegiatan kriminalitas.
Stigma congyang di masyarakat sendiri tak lepas dari pendahulunya, minuman A Djong. Penggunaan Ejekan ndoyong A Djong yang sudah mengakar bagi pelaku ugal-ugalan dan kerusuhan akibat mabuk inilah yang kemudian di sinambungkan dengan peminum conyang. Keberadaan masyarakat Jawa yang berwatak puritan terhadap falsafah Molimo sendiri tentunya memiliki peranan besar dalam membendung penerimaan congyang sebagai budaya di hati masyarakat semarang. Pada dasarnya penyataan congyang merupakan tradisi masyarakat Semarang merupakan pernyataan kurang pas apabila melihat alur kemunculanya yang dari awal di tawarkan sebagai produk industri. Konteks ini tentunya dapat di ambil contoh seperti produksi Ciu asal Sukoharjo yang terkenal pembuatanya sudah menjadi warisan generasi penerus di desa bekonang.
Secara kacamata industri, bisnis congyang semakin melaju menjadi salah satu minuman alkohol yang memiliki antusiasme tinggi bagi penikmatnya di Indonesia bahkan luar negeri. Produksinya yang hanya bertempat di semarang sudah menjadi trademark yang ikonik untuk sebagian pelancong. Penjualan congyang yang besekala besar tentunya memerlukan legalitas hukum yang di mana Cap Tiga Dewa sudah memilikinya sejak tahun 2005. Congyang sendiri termasuk alkohol golongan B dengan kadar 19,5 %. Selain itu, produksinya sendiri di batasi CV Tiryo Waluyo selaku produsen hanya membuat sebanyak 1000 kardus setiap hari dengan satu kardusnya berisikan 24 botol kecil yang terdistribusi terbatas pada wilayah semarang raya. Sehingga penjualan di luar wilayah tersebut dapat di pastikan adalah congyang yang sengaja di stok penjual kecil yang kemudian terjual belikan kepada luar wilayah semarang.
Keberadaan Congyang yang sudah menjadi Ikonik di wilayah Semarang tentunya memiliki nilai tersendiri sebagai salah satu UMKM lokal yang terus berkembang memberikan dampak positif. Perubahan positif tentunya dapat memberikan kemajuan terhadap kesejateraan masyarakat Semarang. Contohnya Jepang, yang terkenal dengan Sake berhasil metransformasi minuman alkohol menjadi salah satu tiang perekonomian negara. Asosiasi pembuat Sake mengkonfirmasi jumlah ekspor senilai 41,08 milliar yen banding 29.000 liter yang didestinasikan terhadap 75 negara. UNESCO sendiri menetapkan Sake sebagai warisan budaya tidak benda pada 2024. Fakta peranan Sake ini tentunya memberikan gambaran bahwasanya congyang juga memiliki kesempatan menjadi salah satu tiang perekonmian Semarang.
Kota Semarang sendiri termasuk wilayah yang pandangan kebudayaannya kurang menyetujui kebebasan praktek jual beli minuman alkohol sehingga memerlukan inovasi serta perhatian lebih terhadap berbagai sektor perekonomian lainya. Melansir dari Jatengprov.go.id menerangkan bahwa UMK (Upah Minimum Kota) semarang sebesar Rp 3.243.969 yang besaranya masih terbilang jauh di banding ibu kota Provinsi di jawa yaitu Surabaya Rp 4.725.479 dan bandung Rp 4.209.309. secara pertumbahannya UMK semarang mengalami kenaikan sebesar 6,5% jumlah nominal tentu cukup memuaskan karena terbilang stabil dengan kota surabaya yang 6,13% dan bandung 3,97%. Pertumbuhan UMK ini tentunya di harapkan membawa dampak positif untuk kesejahteraan masyarakat Semarang. Meskipun jumlah besaranya masih terbilang cukup jomplang di banding ibu kota Jawa lainnya.
Pada dasarnya, kesejahteraan masyarakat tidak selalu di dapatkan melalui kegiatan yang dapat di terima semua elemen masyarakat. Pembahasan ini dapat di ambil contoh kisah keputusan Ali Sadikn Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977 yang menfaatkan pajak perjudian sebagai sarana pembangunan kota Jakarta karena keadaan kebobrokan perekonimian Jakarta saat itu. Sehingga dapat di simpulkan peluang Cap Tiga Dewa berkesempetan besar menaikan taraf ekonomi jika wilayah semarang kurang memilki suatu inovasi ekonomi yang signifikan yang dapat di terima elemen masyarakat tanpa menimbulkan pandangan negatif kemudian hari.
Penulis: Ahmad Dakhlath Thoriqul a’dhom
Red/Ed: Redaktur