
Foto: Amnesty International Indonesia
Semarang, Justisia.com – Dua dekade lebih sudah berlalu sejak Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia yang berani dan konsisten, meregang nyawa akibat racun arsenik di dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 pada 7 September 2004. Namun, hingga kini, keadilan penuh bagi Munir belum juga ditegakkan. Kematian Munir bukan sekadar kehilangan seorang individu, tetapi kehilangan suara nurani bangsa yang selalu berpihak pada korban pelanggaran HAM.
Munir dikenal sebagai advokat yang tangguh dan pendiri KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Ia aktif membongkar berbagai kasus besar, termasuk penculikan aktivis 1997–1998, kasus pelanggaran HAM di Timor Timur, Talangsari, hingga kekerasan di Aceh dan Papua. Kiprahnya menjadikan Munir sebagai simbol perlawanan terhadap impunitas negara. Tak heran jika banyak pihak meyakini bahwa pembunuhan Munir bukanlah tindak kejahatan biasa, melainkan serangan langsung terhadap gerakan HAM di Indonesia.
Proses hukum memang pernah dilakukan: Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, dijatuhi hukuman 14 tahun penjara dan bebas bersyarat pada 2014. Namun, dugaan keterlibatan pihak-pihak yang lebih tinggi, sebagaimana direkomendasikan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Laporan TPF yang sudah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu bahkan hingga kini tidak pernah dipublikasikan secara utuh kepada publik.
Kini, pada peringatan 21 tahun kematian Munir, tuntutan keadilan kembali menggema. Berdasarkan pemberitaan Kompas (7 September 2025), berbagai organisasi HAM, termasuk KontraS dan Amnesty International Indonesia, menggelar aksi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mereka menegaskan bahwa negara masih berutang keadilan, dan menuntut pemerintah segera membuka dokumen TPF Munir yang selama dua dekade “disembunyikan.” Sementara itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam pernyataannya juga menyoroti pentingnya mengungkap aktor intelektual di balik kasus ini agar sejarah kelam tidak berulang.
Kasus Munir adalah cermin rapuhnya komitmen negara terhadap hak asasi manusia. Bagaimana mungkin Indonesia, yang mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, membiarkan kasus pembunuhan aktivis sebesar Munir berlarut tanpa penyelesaian? Lebih dari itu, pengabaian terhadap kasus Munir menunjukkan bahwa perlindungan terhadap pembela HAM masih minim. Padahal, menurut data Amnesty International, sejak 2010 hingga 2024, sedikitnya ada puluhan pembela HAM di Indonesia yang mengalami kriminalisasi, intimidasi, hingga ancaman fisik.
Munir pernah berkata, “Kita tidak boleh lelah menjadi Indonesia.” Kalimat ini kini menjadi pengingat bagi semua bahwa memperjuangkan keadilan memang melelahkan, tetapi menyerah bukanlah pilihan. Munir memang telah tiada, tetapi ide-ide dan keberaniannya tetap hidup. Tugas generasi hari ini adalah memastikan perjuangannya tidak berhenti di pusara, melainkan mewujud dalam kebijakan, penegakan hukum yang transparan, serta penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.
Jika kasus Munir dibiarkan tanpa ujung, maka bukan hanya keadilan bagi seorang aktivis yang terabaikan, melainkan juga masa depan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia yang dipertaruhkan.
Penulis: Deemz