
Oleh: Ahmad Dakhlath Thoriqul A’dhom
Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu
Justisia.com – Sebuah goresan sajak karya W.S. Rendra yang mengisahkan penghinaan dan kedustaan masyarakat terhadap Pramuria dengan judul “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”. Memahami fenomena penjual jasa seksual merupakan problematika sosial yang seharusnya tidak terjadi keberpihakan dalam penilaianya. Sejarah panjang Indonesia sendiri memiliki lika-liku menarik terkait penjual jasa seksual. Seperti, penyebutan Jalir di zaman kerajaan dan penggunaan nama Wanita Publik serta Pramuria di masa Kolonial Belanda.
Kolonialisme Belanda sejatinya merupakan pembawa modernisasi dan Industrialisasi terhadap Indonesia yang berakibat terjadinya perubahan pola pikir dalam masyarakat pribumi. Diantara perubahan pola pikir tersebut ialah seksualitas. Secara umum masyarakat pribumi beranggapan hubungan seksual adalah konteks yang besifat personal dan tidak seorangpun berkeinginan mengungkapkan. Namun, keberadaan media cetak yang secara besar memberikan akses informasi termasuk konten besifat seksual berhasil membuat perubahan masyarakat secara perlahan untuk normalisasikan terkait fenomena berbau seksualitas. Sebagai contoh yaitu iklan obat kuat lelaki Kong Leng Po yang disertakan visualisasi wanita memakai pakaian dalam dan celana pendek dalam kisaran abad 20.
Kemajuan teknologi tranportasi menjadi salah satu faktor penyebaran kawasan prostitusi semakin masif di masa kolonial. Lokasi sarana transportasi yang ramai dengan pola gerak masyarakat menjadikan wahana sempurna untuk prostitusi. Selain itu, keberagaman varian rumah bordil di pergunakan supaya konsumen dapat melakukan penyesuaian dengan keuangan dan keinginan. Pemenuhan layanan seksualitas masa kolonial tersebut menyajikan perempuan pribumi, Eropa, campuran hingga kebutuhan homoseksual.
Pertumbuhan penjualan jasa prostitusi yang mewabah di hampir seluruh tanah jajahan menjadi sebuah perhatian khusus untuk pemerintahan hindia belanda. Faktor utama yang membuat fenomena prostitusi sebagai perhatian khusus di sebabkan banyaknya penderita penyakit kelamin dari tentara Belanda. Keberadaan rumah bordil yang begitu eksis di sebabkan sebagian besar pendatang angkatan kerja merupakan laki-laki. Berbagai masalah inilah yang kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen (Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi) di tahun 1852. Fungsi peraturan ini sendiri untuk menekan dampak buruk dan meregulasi aktivitas prostitusi.
Persebaran terbesar penyakit kelamin sendiri terbagi menjadi dua kawasan yakni perkebunan dan tangsi-tangsi militer. Dalam area perkebunan terjadi lantaran sedikitnya upah pekerja perempuan yang bahkan lebih kecil daripada kuli laki-laki serta kebutuhan biologis lelaki petugas Eropa akibat pelarangan membawa istri ataupun sanak keluarga untuk bekerja, sehingga menjadikan beberapa perkeja perempuan melakukan kerja ganda sebagai pelacur. Keberadaan penyakit kelamin dalam tangsi militer bermula karena besarnya kebutuhan biologis dan kurang biaya untuk menghidupi istri ataupun gundik, akhirnya mengakibatkan seringnya tentara pergi ke tempat prostitusi dan bergonta-ganti pasangan.
Keberhasilan Indonesia untuk meraih kemerdekaan merupakan perjuangan yang dilakukan oleh berbagai golongan masyarakat tanpa terkecuali peranan pramuria. Presiden soekarno sendiri menceritakan bahwa pramuria adalah mata-mata paling baik di dunia. Selain itu, Soekarno menyatakan terdapat 670 orang pramuria yang menjadi anggota PNI dan merekalah paling setia diantara anggota lainnya. Fakta ini memberikan tamparan keras bahwasannya untuk melakukan hasil kerja yang beradab tidak selalu lahir dari latar belakang kerja beradab. Peranan pramuria masa kolonialisme inilah yang seharusnya menjadi obor pemicu golongan terdidik dan terpelajar supaya lebih ikhlas dan adil memajukan Indonesia. Seperti kata pramoedya dalam bumi manusia “seorang yang terpelajar harus adil sejak dalam pikiranya apalagi pebuatan.”