Refleksi International Women’s Day : Jumiati, Pejuang Kehidupan yang Tak Kenal Lelah
Jumiati, satu-satunya perempuan diantara para pekerja proyek laki-laki yang berjuang demi masa depan anaknya.

Doc / PKM/ Lutfi AF
“Saya rela untuk banting tulang agar anak saya menjadi orang, saya rela berkorban untuk anak saya.”
Semarang, Justisia.com – Kalimat pertama yang keluar dari mulut Jumiati, satu-satunya perempuan di antara pekerja proyek. Ketika ditanya kenapa mau bekerja sebagai kuli proyek, ia hanya menyaut, “ini yang bisa saya lakukan supaya anak saya bisa menjadi orang.”
Semangatnya menggebu ketika menyinggung soal anak. Baginya masa depan anak lebih dari apapun, bahkan bagi dirinya sendiri.
“Saya rela-lah berkorban untuk anak tidak apa-apa,” tegasnya.
Kesibukannya sebagai ibu rumah tangga tak mengurangi niatan Jumiati bekerja membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarga di rumah. Tak peduli dengan opini masyarakat menyoal kalimat “perempuan itu lemah,” ia tetap berjuang untuk hidup keluarganya yang lebih baik.
“Memang dalam pikiran masyarakat wanita tidak bisa melakukan pekerjaan berat seperti ini. Bagi saya tidak,” tegasnya diselingi raut senyum di wajahnya.
Lahir dari keluarga miskin, memaksa Jumiati untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia sudah bekerja banting tulang sejak masa mudanya. Sedangkan sebagai buruh proyek borongan, Jumiati sudah bekerja selama 10 tahun terakhir belakangan.
“Saya kerja seperti ini sudah 10 tahun lebih, dari dulu lah ibaratnya,” jelasnya.
Suaminya tak pernah meminta Jumiati untuk membantu bekerja. Jumiati sendiri yang memilih untuk bekerja membantu suaminya, selain harus ikut membantu memberi nafkah untuk orang tuanya yang sudah tua.
“Saya disini kerja sama bapak (suaminya). Kerjanya ikut sama pak mandornya,” ucapnya disertai tangan menunjuk ke suaminya yang juga ada di sana.
Dirinya mengaku tidak pernah meminta pekerjaan yang lebih ringan kepada mandor yang mengajaknya bekerja. Jumiati tidak ingin dibedakan, ia tetap mengerjakan pekerjaan yang sama dengan pekerja proyek yang lain.
“Bagian saya kalau disini ya, ngaduk semen, mengantar adukan, ngayaki (mengayak) pasir,” terangnya.
Selain menjadi buruh proyek borongan, Jumiati juga kadang merangkap menjadi buruh tani padi. Ketika sedang tidak ada proyek borongan, dirinya dan sang suami mengurus padi milik orang lain.
“Saya itu kalau kerja ya terserah,” terangnya. Pakaiannya masih penuh dengan noda tanah bekas pekerjaannya tadi.
“Kalau tidak ada proyek seperti ini, biasanya saya di sawah, matun, tandur tapi ya sawahnya orang bukan punya saya,” ungkapnya.
Jumiati sendiri lebih memilih menjadi buruh proyek borongan dan terkadang merangkap sebagai buruh tani padi dibanding harus bekerja menjadi buruh pabrik. Menurutnya, ia lebih nyaman bekerja berat sebagai buruh proyek borongan tanpa tekanan dari pekerjaan dan atasan, ketimbang harus bekerja menjadi buruh pabrik yang penuh dengan tekanan pekerjaan.
“Kalau di pabrik kan tertekan jadikan saya gak betah,” terangnya.
Persoalan gaji juga menjadi alasan Jumiati memilih bekerja berat sebagai buruh proyek borongan, ketimbang harus bekerja sebagai buruh pabrik. Gaji menjadi buruh pabrik menurutnya masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan orang tua dan anak-anaknya.
“Di sini saya gajinya seminggu sekali, kalau di pabrik menurut saya gajinya masih kurang,” imbuhnya
Ketika ditanya soal International Women’s Day, Jumiati tidak memahami istilah tersebut.
“Saya tidak tahu jika hari ini merupakan International Women’s Day,” ungkapnya.
Semangat Jumiati, tak lepas dari para pendahulunya. Menurutnya ia hanya melanjutkan perjuangan-perjuangan perempuan terdahulu yang telah ada.
Di Hari Perempuan Internasional, ia berharap untuk semua perempuan di luar sana agar tetap melanjutkan perjuangan perempuan yang ada. Karena menurutnya, jika laki-laki bisa, maka perempuan juga bisa.
“Semoga bisa melanjutkan perjuangan-perjuangan yang telah ada,” terangnya.
“Laki-laki bisa berjuang dan sukses, perempuan juga bisa,” pungkasnya diiringi senyum semangat dari wajahnya. (Ed.Nafis/Red.Mzkr)