Perbedaan Awal Syawal dan Fenomena Matahari di Akhir Ramadhan

Doc/ Detik.com
Justisia.com – Perbedaan kultur serta budaya di Indonesia mempunyai keunikan dan daya tariknya sendiri bagi keilmuan. Perbedaan ini juga yang saling melengkapi antara satu sama lain.
Senada dengan itu, sering juga terjadi perbedaan penentuan awal dan akhir Ramadhan oleh dua organisasi muslim terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Perbedaan ini didasari atas perbedaan teori yang digunakan dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Terlepas dari siapa yang benar atau salah, dalam tulisan ini penulis ingin memaparkan perbedaan konsep yang digunakan oleh kedua organisasi tersebut, serta fenomena alam indah yang akan terjadi pada akhir Ramadhan nanti.
Perbedaan Konsep Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan
Dalam beberapa kasus, banyak para ahli falak berusaha menyatukan konsep yang digunakan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Para ahli falak juga turut membuat metode baru yaitu imkanur rukyah yang secara bahasa mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, imkanur rukyat juga dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.
Nahdlatul Ulama menggunakan konsep rukyatul hilal atau secara harfiyah dapat dimaknai dengan melihat bulan baru. Konsep penentuan awal dan akhir Ramadhan dengan melihat bulan baru atau hilal ini membutuhkan kriteria tertentu.
Menurut kriteria Neo Mabims (Mabims baru) yang memperbarui kriteria Mabims (Mabims lama), salah satu prasyarat untuk terwujudnya unifikasi kalender hijriah yakni minimal tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat. Sebelumnya, kriteria Mabims lama menggunakan standar yang dikenal sebagai kriteria (2,3,8) adalah tinggi minimal 2 derajat, jarak sudut bulan-matahari (elongasi) minimal 3 drajat atau umur bulan minimal 8 jam. Maksudnya, kemungkinan besar hilal hanya dapat dilihat dengan minimal kriteria tersebut.
Konsep tersebut pula-lah yang kemudian diadaptasi oleh Nahdlatul Ulama sebagai standar penentuan awal dan akhir Ramadhan selain menggunakan metode rukyatul hilal. Metode yang berkembang juga dipengaruhi oleh faktor alam, bahwa dulu hilal dapat dilihat menggunakan mata telanjang sebagaimana kriteria Mabims lama. Sedangkan sekarang, hilal baru bisa dilihat menggunakan kriteria Neo Mabims. Dengan itu, kriteria ini akan sangat mungkin terus bertambah dengan seiringnya waktu.
Sedangkan Muhammadiyah, menggunakan konsep hisab atau perhitungan. Lengkapnya hisab disini dapat diartikan sebagai sebuah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.
Walaupun sebenarnya, Nahdlatul Ulama juga turut menggunakan metode hisab sebelum melakukan rukyat guna mengetahui posisi dan ketinggian hilal. Namun yang berbeda disini adalah konsep atau standar yang digunakan keduanya.
Muhammadiyah menggunakan sistem wujudul hilal yang menganggap bahwa jika hilal (awal bulan) sudah ada atau dalam perhitungannya sudah lebih dari 0 derajat, meskipun tidak nampak atau terlihat, maka tetap berpuasa keesokan harinya.atau yang bisa diartikan sebagai standar kenampakan hilal menurut Muhammadiyah.
Mengenai kriteria metode wujudul hilal disebutkan ada tiga sebagai berikut; telah terjadi ijtimak (konjungsi), ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Ketiga kriteria ini penggunaannya harus secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai.
Atau dalam artian singkatnya, Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam.
Dari metode ini, bila posisi hilal (bulan baru) pada saat matahari terbenam sudah di atas ufuk, berapapun tingginya, asal lebih besar daripada NOL derajat, maka sudah dianggap masuk bulan baru.
Jadi, sebenarnya pokok perbedaan antara keduanya bukan metode yang mereka gunakan, namun standar kriterianya. Yang mana, Nahdlatul Ulama selalu memperbarui kriterianya dengan mengikuti standar yang digunakan oleh Neo Mabims, sedangkan Muhammadiyah menetapkan standar wujudul hilal.
Mengawali Ramadhan Bersama, Mengakhiri dengan Berbeda
Sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengeluarkan keputusan yang sama atas awal dan akhir Ramadhan. Kesamaan ini tak lepas dari kebetulan yang ada.
Kebetulan ini lagi-lagi terletak dalam standar yang mereka gunakan, seperti pada tahun lalu di awal Ramadhan 1443, yang mana altitude (ketinggian) hilal di Indonesia berada pada rentang 3,79 derajat sampai 5,56 derajat Sementara, rentang elongasi geosentrik berkisar antara 5,2 derajat sampai dengan 7,2 derajat.
Serupa dengan hal tersebut, pada Ramadhan tahun ini tepatnya di akhir syaban, ketinggian hilal telah mencapai 6,78 derajat hingga 8,73 derajat, dan elongasi yang berkisar antara 7,94 derajat hingga 9,54 derajat. Besarnya ketinggian dan elongasi bulan ini lebih dari cukup untuk dapat melihat hilal dengan mata telanjang.
Namun, pada akhir Ramadhan 1444 kemungkinan besar akan terjadi perbedaan. Perbedaan ini dapat dilihat pada akhir Ramadhan tepatnya pada tanggal 29 Ramadhan atau 20 April dalam masehi. Pada tanggal tersebut, ketinggian hilal di Indonesia hanya mencapai 0,75 derajat hingga 2,25 derajat dengan elongasi sebesar 1,5 drajat hingga 3 drajat.
Besaran tersebut belum memenuhi kriteria yang dicanangkan oleh Neo Mabims. Sebabnya, akan sangat mungkin terjadi perbedaan pada akhir bulan Ramadhan 1444 nanti.
Fenomena Matahari di Akhir Ramadhan
Perbedaan jatuhnya akhir Ramadhan ini tak lepas dari fenomena indah. Fenomena ini dapat disaksikan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Mereka yang berada di jalur totalitas berkesempatan menyaksikan salah satu pemandangan alam yang paling menakjubkan, yaitu Gerhana Matahari.
Gerhana matahari terjadi saat bulan dan matahari sedang berkonjungsi atau dalam istilah islam disebut ijtima yang selalu terjadi pada akhir bulan pada penanggalan komariah seperti yang terjadi pada sistem penanggalan hijriah. Terjadinya gerhana matahari sudah pasti saat ijtima, namun ketika ijtima belum pasti terjadi gerhana matahari. Peristiwa ijtima ini menjadi penanda akhir usia bulan.
Dengan adanya fenomena gerhana matahari yang terlihat di Indonesia, sudah dapat dipastikan bahwa ijtima yang nantinya digunakan untuk dijadikan pedoman perhitungan data umur hilal, tinggi hilal dan elongasi hilal, terjadi tepat saat terjadinya gerhana. Hal ini pula lah yang akan menyebabkan perbedaan penentuan akhir Ramadhan 1444.
Gerhana Matahari yang terjadi pada 20 April 2023 kali ini disebut sebagai Gerhana Matahari Hibrida. Gerhana Matahari Hibrida merupakan Gerhana Matahari yang memiliki dua macam Gerhana Berbeda, yang terjadi dalam satu waktu secara berurutan dalam satu fenomena.
Pada Gerhana ini dimulai dengan Gerhana Matahari Cincin berubah menjadi Gerhana Matahari Total, kemudian kembali menjadi Gerhana Matahari Cincin dalam waktu singkat. Gerhana Matahari Hibrida bisa disaksikan di beberapa wilayah Indonesia seperti Pulau Kisar, Pulau Maupora, Pulau Damar, Pulau Watubela, Kampung Antalisa (Fakfak), Randepandai, Roswar, Pulau Num, Wooi, Serui, dan Biak Kota. (Red.Anita)
Refrensi
Ahmad Izuddin. (2010). Ilmu Falak Praktis. Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra
Brin. BRIN Kaji Implementasi Kriteria Baru MABIMS, diakses pada Jum’at 24 Maret 2023
Kemenag RI. (2023). Ephemeris Hisab Rukyah 2023.
Kemenag RI. Hilal Awal Syawal di Indonesia Penuhi Kriteria Baru MABIMS, diakses pada Jum’at 24 Maret 2023
Observatorium Bosscha, Gerhana Matahari Total 2023, diakses pada Jum’at 24 Maret 2023
Konten Kolaborasi Edisi Ramadhan NU Jateng bersama Justisia.com selama Ramadhan 1444 H.