Jaringan IWD Semarang Gelar Aksi Diam, Berikut Alasannya

Doc/ Red. Lpm Justisia

Semarang, Justisia.com – Jaringan International Women’s Day(IWD) Semarang gelar aksi diam di depan Kantor DPRD Jawa Tengah bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Aksi ini dimaksudkan guna menyuarakan tuntutan Hak Perempuan kepada pemerintah, Rabu (8/3).

Merasa geram karena suara tak didengar, jaringan IWD yang terdiri dari Buruh perempuan, KASBI (Kongres Alisansi Serikat Buruh Indonesia), Perempuan Pekerja Rumah Tangga, Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia Demak, juga jajaran mahasiswa kembali berbondong-bondong ke kantor DPRD Jateng dengan membawa banyak tuntutan.

Tuntutan pertama, Negara harus mengakui pekerjaan domestik dan kerja perawatan sebagai kerja produktif yang bernilai ekonomi dan bermanfaat bagi masyarakat. Serta mendesak Puan Maharani untuk segera mengesahkan RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat.

“RUU PPRT segera disahkan supaya perlindungan hukum bagi perkara rumah tangga lebih jelas,” ungkap Mulyono.

Tuntutan kedua, peserta aksi menolak PERPPU Cipta Kerja dan cabut omnibus law, cipta kerja dan PP turunannya.

“Kalau dari buruh, kami mengharapkan pemerintah untuk mencabut PERPPU nomor 2 Tahun 2022 karena menyengsarakan buruh,” tegas Mulyono.

Tuntutan ketiga, fasilitasi tempat penitipan anak (daycare) bagi anak pekerja perempuan dan ruang laktasi bagi pekerja perempuan.

Tuntutan keempat Implementasikan UU TPKS dengan membangun sistem perlindungan yang komprehensif di berbagai level. Pemerintah harus segera memproses aturan turunan UU TPKS dan memebentuk satgas di setiap Perusahaan atau PT.

Tuntutan kelima, Ratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang Kekerasan Seksual di Dunia Kerja.

Tuntutan keenam, peserta aksi menuntut pemerintah ciptakan ruang aman dan kebebasan berekspresi bagi keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia, terkhusus di Jawa Tengah.

Tuntutan ketujuh, stop kriminalisasi dan represifitas aparat terhadap aktivis perempuan.

Tuntutan terakhir, peserta aksi berharap negara segera membuka ruang aktivitas yang aman kepada petani perempuan di Papua yang mengungsi dan menarik aparat sebagai dalangnya.

Tuntutan-tuntutan demikian sempat disuarakan pada tahun sebelumnya. Namun pemerintah acuh dan tak menghiraukan tuntutan-tuntutan tersebut.

“Tuntutan belum terpenuhi, Pemerintah justru ciptakan RUU yang problematik,” ungkap Sabil, Koordinator aksi.

Peserta aksi berharap, tidak ada diskriminasi bagi perempuan. Pemerintah diharap lebih menghargai kerja para perempuan.

“Pemerintah segera sadar bahwa tidak ada kemerdekaan tanpa kemerdekaan perempuan,” ujar Sabil. (Red.Mzkr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *