Gandulan Pati: Lebaran Tahunan Sarat Tradisi Warisan

Doc/ NU Online
Seperti halnya daerah-daerah lain di pulau Jawa, lebaran ketupat di kabupaten Pati dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal tahun Hijriyah. Masyarakat menyebutnya dengan sebutan Bodo Kecil.
Semarang, Justisia.com – Lebaran ketupat yang selalu diperingati setiap tahunnya, tentu menyimpan sebuah tradisi tersendiri, dan hanya sedikit orang yang mengetahui makna dari tradisi tersebut. Tradisi ini sering kita jumpai di daerah-daerah pesisir pantai utara pulau Jawa. Tradisi yang dilakukan memang sederhana, namun siapa sangka, di balik kesederhanaan itu terdapat sebuah filosofi dan mitos yang masih dipercaya oleh masyarakat di era modern seperti saat ini.
Pukul satu siang adalah waktu yang tepat untuk beristirahat. Di salah satu rumah penduduk, suasana ruang tengah lengang. Namun lamat-lamat terdengar suara televisi yang sedang menayangkan sebuah sinetron yang belakangan ini digandrungi oleh masyarakat.
Wanita kelahiran Pati 1957, Sulimi atau kerap disapa Mbah Suli sedang duduk bersila di atas kasur lantai seraya menjelaskan berbagai hal.
Sepuluh menit yang lalu, saat saya melontarkan sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan tulisan ini, selama itu pula beliau terus menjelaskan, sembari sesekali mengalihkan pandangannya ke layar televisi yang berjarak tiga meter dari posisi kami berbincang, nampaknya beliau tidak ingin ketinggalan sinetron favoritnya.
Mbah Suli adalah salah satu dari beberapa orang di desa yang melakukan tradisi Gandulan. Karena tradisi ini hanya dapat dilakukan oleh keluarga yang memiliki anak yang sudah meninggal dalam keadaan belum baligh. Beliau melakukan tradisi ini sejak 29 tahun yang lalu, saat anak keempatnya yang baru berusia satu bulan meninggal dunia.
Lebaran Ketupat Masyarakat Pati
Bodo atau ba’da berarti setelah atau selesai, artinya adalah kemenangan yang dirayakan dengan makan ketupat setelah berpuasa kecil selama 6 hari (tanggal 2-7 Syawal).
Menurut H. J. de Graaf dalam Malay Annal (Sejarah Melayu), ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah pada awal abad ke-15. Menurutnya, kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisir yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Warna kuning pada janur dimaknai sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.
Ketupat sendiri merupakan makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan selongsong dari anyaman daun kelapa muda (janur) yang kemudian diisi dengan beras yang telah direndam air. Selanjutnya ketupat direbus dengan air mendidih selama enam jam. Setelah masak, biasanya kupat disajikan bersama sayur pelengkap, seperti opor ayam dan lainnya. Selain ketupat, terdapat juga makanan khas yang selalu menjadi sahabat dari ketupat, yakni lepet.
Secara umum pelaksanaan lebaran ketupat sesuai dengan adat masing-masing daerah, namun yang pasti dilaksanakan seminggu pasca lebaran atau hari raya Idul Fitri.
Pukul tujuh pagi waktu setempat masyarakat berbondong-bondong ke masjid ataupun mushola seraya membawa ketupat serta sayur yang asapnya terlihat masih mengepul di udara.
Rangkaian acara diawali dengan membaca tahlil bersama dan diakhiri dengan menikmati hidangan ketupat beserta sayur yang telah dibawa masyarakat sebelumnya. Namun di balik itu, sebagian besar rumah penduduk di Kayen, Pati, yang memiliki anak kecil dan kebetulan sudah meninggal, mereka akan meletakkan ketupat beserta lepet di atas pintu, tradisi itulah yang disebut dengan Gandulan.
Tradisi Gandulan: Mitos dan Filosofinya
Tradisi Gandulan merupakan tradisi yang dilaksanakan pada saat malam lebaran ketupat.
“Jenenge wae bodo kecil, yakui bodo kanggo bocah cilik-cilik, (Namanya saja lebaran kecil, yaitu lebaran untuk anak-anak kecil),” ujar Mbah Suli sambil memalingkan pandangannya dari layar televisi saat saya temui, Senin (12/07/2021).
Pada tradisi Gandulan, bentuk tradisi yang dilakukan adalah dengan menggantungkan beberapa ikat ketupat dan lepet di atas pintu rumah saat malam lebaran ketupat. Ketupat dan lepet ini ditujukkan untuk anak-anak mereka yang sudah meninggal. Masyarakat percaya bahwa saat malam lebaran ketupat, mereka yang sudah meninggal akan pulang.
Sebab di bagian dunia lain, konon ketupat dan lepet jadi sejenis mainan, jika tidak disediakan, anak-anak tersebut akan bersedih. Namun, mitos ini juga dapat ditafsirkan dengan maksud lain, yakni sebagai bentuk do’a bagi keluarga yang sudah meninggal.
“Ibaratnya ketika lebaran ketupat, saya memberikan ketupat dan lepet kepada anak-anak saya, ya masak anak saya yang satu ini yang sudah meninggal tidak saya kasih, pasti dia menangis. Karena sudah meninggal, anggap saja ketupat dan lepet itu menjadi simbol do’a yang dikhususkan untuk dia,” terus Mbah Suli ketika saya temui di lain kesempatan pada Sabtu (24/07/2021).
Mengenai berapa jumlah ketupat dan lepet yang digantungkan di atas pintu, itu disesuaikan dengan berapa jumlah anak yang sudah meninggal dalam keluarga tersebut. Apabila hanya satu anak, maka cukup menggantungkan satu ikat ketupat beserta lepet di atas pintu rumah. Ketupat yang digantung pun tidak memiliki aturan khusus mengenai jenisnya, segala jenis ketupat boleh digunakan dalam tradisi ini.
“Babakan asal-usul tradisi iki, gak ono sing ngerti, mung manut pituture wong jaman biyen, (Mengenai asal-usul tradisi ini, tidak ada yang tau, hanya mengikuti nasihat orang jaman dahulu),” tuturnya.
Jika dilihat dari fisiknya, ketupat dan lepet yang sebelumnya digantungkan dalam kondisi matang, setelah malam lebaran ketupat usai, ketupat dan lepet tersebut tidak ada yang berubah, kondisinya masih sama, tidak berkurang sedikitpun.
Meski demikian, masyarakat percaya bahwa sukma merekalah (anak kecil yang sudah meninggal) yang memakannya. Maka ketupat dan lepet tersebut akan tetap dibiarkan, sampai habis dengan sendirinya, termakan oleh semut ataupun serangga yang lainnya.
“Sing mangan kupat karo lepet yo sukmane, dudu ragane. Amarga saben bodo mesti pada muleh, (Yang memakan ketupat dan lepet adalah sukmanya, bukan raganya. Karena setiap lebaran, mereka pasti akan pulang),” ucap Mbah Suli seraya meluruskan kaki di atas kasur lantai.
Peletakannya yang berada di atas pintu juga memiliki filosofi tersendiri. Pada sebuah rumah, pintu menjadi akses bagi siapa saja untuk keluar masuk rumah, terlebih untuk anggota rumah tersebut. Bagian atas pintu dipilih agar ketupat aman, dan tidak dilangkahi oleh orang yang berlalu lalang melintasinya. Bagian atas pintu juga dipercaya memudahkan sukma keluarga untuk mencarinya.
Bagi orang Jawa, penghormatan terhadap roh karuhunnya salah satunya diwujudkan dalam sesajen berupa ketupat. Hal ini bertujuan untuk menjaga hubungan antara anggota keluarga yang masih hidup dengan anggota keluarga yang sudah meninggal.
Sebab, orang Jawa percaya bahwa roh keluarganya akan datang setiap lebaran ketupat. Hal ini disampaikan oleh Bu Surati dalam perbincangan singkat ketika saya berkunjung ke rumahnya, pada hari Rabu (14/07/2021).
Meskipun beliau tidak ikut serta dalam melakukan tradisi Gandulan, dikarenakan tidak memiliki anak yang sudah meninggal, namun beliau mengerti betul mengenai tradisi ini.
Perempuan yang berprofesi sebagai petani ini menjelaskan bahwa orang Jawa sangat menghormati arwah orang meninggal dunia, terlebih jika itu merupakan anggota keluarganya. Sehingga salah satu jalan yang baik untuk menolong roh karuhunnya ialah dengan mendo’akannya. Salah satu bentuk do’a yang diberikan adalah dengan menggantungkan ketupat dan lepet di atas pintu, atau kerap disebut dengan Gandulan.
“Tradisi gandulan ketupat itu beda dengan sesajen. Jika sesajen biasanya diletakkan di tempat-tempat tertentu dan ada ritual-ritual lainnya, seperti menyembah, minta doa, membakar dupa. Berbeda dengan Gandulan ketupat, Gandulan ketupat ini hanya menggantungkan ketupat dan lepet saja,” terangnya.
Kepercayaan Terhadap Mitos Tradisi Gandulan
Kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang terdapat dalam tradisi Gandulan merupakan suatu bukti bahwasannya masyarakat percaya terhadap warisan dari leluhurnya, baik berupa cerita tertentu atau tradisi lisan. Tidak jarang mitos seringkali dipahami sebagai cerita aneh dan mustahil yang sulit dipahami maknanya.
Namun, di balik pemaknaan yang sulit tersebut mitos memberikan pedoman dan arah tentang bagaimana membangun hubungan relasional antara diri sendiri dan alam; baik alam nyata maupun alam ghaib.
Meskipun cerita yang terkandung dalam sebuah mitos terdapat unsur-unsur gaib, namun masyarakat dapat mengikuti perintah yang secara tersirat dalam cerita tersebut. Seperti halnya mitos yang berlaku pada hewan-hewan tertentu yang dianggap keramat, seperti burung gagak, burung hantu, kucing, dan hewan lainnya. Dengan adanya mitos ini kelangsungan hewan tersebut lebih terjamin, karena masyarakat menganggap keramat hewan-hewan tersebut.
“Mau menjalankannya atau tidak, mau mempercayainya atau tidak, sudah menjadi kebiasaan bagi orang Jawa hidup berdampingan dengan berbagai mitos yang akan selalu berkembang di lingkungan masyarakat,” pungkas Bu Surati.
Tradisi Gandulan menjadi sebuah ‘sentilan’ bagi kita bahwa memang sudah sepantasnya kita yang masih hidup, tidak melupakan keluarga maupun kerabat yang sudah meninggal. Tradisi ini juga mengingatkan pada kita bahwa kelak kita juga akan menyusul mereka, karena maut akan selalu mengitari dan mengikuti kita. (Ed. Ltf)
*Liputan ini sebelumnya pernah terbit dalam buletin Kru Magang 2020 dengan tema ‘Melihat Lebaran Lebih Dekat.’