Surat Untuk Maba: PBAK Inilah Momen bagi Kalian untuk Mengetahui Sisi Lain dari UIN Walisongo, Dik! (bagian 2)

0

Doc/Redaksi Justisia

Justisia.com – Saya meyakini, setiap mahasiswa baru selalu punya semangat tinggi. Semangat yang terwujud dalam pemikiran, pandangan, dan tindakan. Semangat yang menyeru pada perjuangan dan perlawanan. Semangat yang menuntun pada keadilan-juga pemberontakan. Mudahnya, semangat dalam balutan pikiran yang kritis.

Barangkali itu adalah watak mahasiswa baru. Mudah tersulut dan dibujuk. Penambahan kata ‘maha’ dalam ‘siswa’ saja melahirkan arti berbeda. Mampu menyulap ruang otak untuk menstimulasi bahwa mahasiswa berbeda dengan siswa. Mahasiswa adalah istimewa yang berjibaku dengan diskusi dan buku, berbeda dengan siswa yang separuh hari berteman dengan main-main-dan main.

Pasca pengumuman kelulusan Sekolah Menengah ke-Atas, setiap bakal calon mahasiswa baru bertarung memperebutkan kursi ruang kelas kampus. Tak ayal jika harus mengorbankan tenaga dan harta untuk mendapatkan kemewahan itu.

Memang jika sudah dinyatakan keterima, kemewahan itu bisa mudah datang dengan sendirinya?.

Beberapa hari terakhir, lembaga pendidikan yang mengaku sebagai Kampus Hijau Peradaban menggelar Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Saya sendiri, barangkali juga teman-teman mahasiswa baru umumnya, masih abu-abu dengan tagline Hijau Peradaban.

Harapannya, mahasiswa baru tidak silau dengan keanggunan gedung yang penuh fasilitas mewah. Harusnya bertanya-tanya, setidaknya variabel atau faktor apa yang bisa digunakan untuk menuju ke situ, karena jas almamaternya yang hijau atau karena warna gedung kampus yang seragam dengan warna jasnya(?).

Atau justru dugaan yang santer selama ini, pemilihan warna ‘hijau’ disesuaikan dengan psikologi warna yang menampilkan simbol perdamaian. Demikian juga, maka harap memaklumi jika, teman-teman mahasiswa baru nanti, banyak mendapati kajian atau ruang diskusi mengenai wacana moderasi beragama.

Mahasiswa baru masih hangat dengan semangat-semangat yang beragam. Kondisi geografis Semarang adalah pesisir, lebih-lebih hampir sejajar dengan garis khatulistiwa. Harap memahami jika selama PBAK selalu kepanasan. Tidak hanya kepanasan karena sinar matahari yang terik, namun juga sentimen-sentimen kakak tingkat yang selalu menyeru agar gelaran orientasi berjalan menarik dan heroik. “Ciamik,” kalau kata bapak Rektor.

Kelihatannya, walaupun matahari bak di atas kepala, semangat mahasiswa baru tak kalah menggoda. Berbaris memakai pakaian seragam rapi lengkap dengan parfum wangi menyanyikan yel-yel, jargon, juga lagu. Kalau kata bijak bestari, awal yang baik adalah setengah dari kesuksesan.

Saben kali gelaran PBAK, saya selalu tersenyum bahagia melihat raut muka mahasiswa baru yang selalu semangat, alih-alih patuh dengan arahan kakak tingkatnya. Di lain sisi, di sudut-sudut yang jarang diperhatikan atau karena masih berstatus ‘mahasiswa baru’ terlalu dini untuk melawan, ternyata mereka punya bekal kesadaran. Kesadaran akan ketidak-gegabah tunduk pada jargon, atau kesadaran untuk melawan dan mempertanyakan sentimen perhambaan-pemaksaan-pembodohan.

PBAK adalah gerbang awal untuk teman-teman mengenal lebih dekat dan erat dengan apa saja yang ada dalam kampus. Menjadi mahasiswa yang sekedar berangkat-masuk kuliah-pulang-selesai memang tidak salah. Namun, lagi-lagi, apakah keistimewaan yang menjadi atribusi mahasiswa itu hanya sekedar simbol dan pakaian semata?

Kampus Hijau Peradaban memang memikat. Jas almamater yang hijau terang melambangkan perdamaian seakan erat dengan mahasiswanya yang berhaluan perjuangan dan perlawanan. Sekali lagi, mahasiswa baru adalah jalan awal untuk menentukan kemana diri hendak berjuang, orientasi apa yang hendak dicapai, atau jalan apa yang bakal dibela.

Memang tidak ada hal di dunia ini yang sempurna. Bukan karena Tuhan yang maha sempurna, namun ketidaksempurnaan yang ada di dunia dan manusia adalah ruang untuk evaluasi dan saling mempertanyakan. Tidak jauh berbeda dengan kondisi kampus sekarang.

Andai mahasiswa baru memahami, banyak kebijakan-kebijakan kampus yang sebenarnya tidak memihak pada kesejahteraan mahasiswanya. Kesusahan itu terwujud dalam berbagai aspek, dari aspek akademik, hak mahasiswa setiap menjelang semester baru, hingga dana yang harus dibayarkan terkesan memberatkan.

Ruang akademik yang dibatasi; mahasiswa bersikap kritis dianggap tidak sopan, melawan dosen, bahkan membawa dogma agama ‘barokah’ ke dalam ruang kampus. “Guru (dosen) bukan dewa dan selalu benar, dan murid (mahasiswa) bukan kerbau,” kalau kata Hok-Gie. Kebebasan akademik saja dibatasi, bagaimana bisa melahirkan jebolan alumni yang berkualitas dan mumpuni?

Belum lagi, besaran UKT per semester juga tidak sedikit. Saya seringkali mendengar keluhan dan aduan mahasiswa baru yang mendapati UKT golongan teratas. Termasuk juga dengan kampus yang menurunkan kebijakan wajib ma’had. Termasuk mahasiswa bidikmisi yang mendapati ketimpangan; besaran dana yang harus dibayarkan tidak sepadan dengan hak yang didapati selama menempati asrama Kampus Hijau Peradaban.

Itu hanya sebagian bahkan selembar dari banyak-banyak keganjilan yang ada dalam Kampus Hijau Peradaban. Bukan untuk disesali, justru hal ini menjadi ruang untuk tetap merawat api perjuangan dan perlawanan. Mahasiswa hanya dapat mencintai kampusnya, apabila mereka mengenal objeknya.

Seperti halnya persoalan di atas, saatnya mahasiswa baru mencintai Kampus Hijau Peradaban ini, harus mengenalnya terlebih dahulu, mencintai pula segenap civitas akademika-sekalian problematikanya, pertumbuhan jiwa yang sehat dari para mahasiswanya. Karena itulah pertumbuhan yang baik untuk kampus ini.

Kritisisme mahasiswa selalu ada, kapan dan di mana pun berada. Tokoh utama yang selalu menggaungkan kemandirian dan kebebasan mahasiswa adalah Soe Hok-Gie. Kiprah perjuangan dan pemikirannya selalu ditiru mahasiswa-mahasiswa generasi selanjutnya, termasuk mahasiswa baru Kampus Hijau Peradaban yang bakal dan usai merampungkan gelaran PBAK.

Menyoal kesadaran akan ketidak-gegabahan tunduk pada jargon atau kesadaran untuk melawan dan mempertanyakan sentimen perhambaan-pemaksaan-pembodohan, saya teringat ungkapan Hok-Gie, “bahwa kami ini bukanlah orang-orang yang percaya dengan slogan-slogan” “hanya ada dua pilihan, menjadi apatis dan mengikuti arus. Tetapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”

*Karya tulis berikut berbentuk opini, nama penulis kami samarkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

*Surat Untuk Maba Bagian 1 terpaksa kami Takedown karena mendapatkan represi dan ancaman.

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *