Shifr Putri Mubdil Fan; Cikal Bakal Madrasah Perempuan
Salah satu hal yang menarik perhatian beliau adalah marginalisasi dalam pendidikan yang dialami oleh sebagian besar perempuan, terlebih ada fatwa yang memakruhkan perempuan belajar menulis. Kiai Sholeh Darat dalam kitabnya Majmu’ Assyariah halaman 178 menuliskan larangan perempuan belajar menulis.

credit foto; radarjombang.com
Oleh: Fia Maulidia (Pimpinan Umum LPM Justisia 2022)
Semarang, Justisia.com – Meski pesantren di Jawa telah eksis sejak era kolonialisme, namun pesantren yang membuka kelas dan menerima santri perempuan baru ada pada tahun 1919 M. Ialah Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Jombang yang saat itu dipimpin oleh KH. Bisri Syansuri, kakek dari pihak ibu Gus Dur.[1]
Kondisi sosio-politik waktu itu menjadikan perempuan benar-benar menjadi subjek yang paling banyak mengalami kekerasan, subordinasi, dan marginalisasi baik secara kultural maupun struktural, membuat KH. Bisri Syansuri tergerak untuk melakukan “percobaan” dengan mendirikan kelas untuk santri putri perempuan. Sebagian besar santri putri itu merupakan anak tetangga sekitar pondok pesantren. Mereka diajar di beranda belakang rumah KH. Bisri Syansuri sendiri. Hal ini menjadi sesuatu yang tak lazim di kalangan ulama pesantren saat itu
Menurut Gus Dur, hal ini adalah sebuah proses pematangan fikih Kiai Bisri yang memantapkannya mengambil keputusan sendiri berdasarkan pemahaman fikihnya tanpa harus kehilangan hormat kepada guru (saat itu beliau tidak mendapatkan izin khusus dari Kiai Hasyim. Walau demikian, Kiai Bisri tetap melanjutkan kelas perempuan tersebut karena sang guru juga tidak memberikan larangan).[2]
Namun jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya ada beberapa hal yang luput diwartakan karena memang sumber primer sejarahnya sangat minim. Hal pertama, kita tahu bagaimana karakter Kiai Bisri adalah ulama fikih, sehingga dalam beberapa hal, beliau seringkali berbeda pendapat dengan kawan sekaligus kakak iparnya, KH. Wahab Chasbullah yang lebih condong dengan karakter ushuli.
Sehingga, ketika akhirnya Kiai Bisri memutuskan membuka kelas pertama untuk santri putri, penulis pribadi sangat kepo akan sosok yang memengaruhi keputusan beliau. Penulis belum melakukan penelitian lebih lanjut bagaimana peran Nyai Khodijah, istri beliau, dalam keputusan ‘nyeleneh’ ini.
Apakah Nyai Khodijah juga memiliki cara berfikir seperti kakaknya, Kiai Wahab, yang cenderung luwes karena memakai pendekatan ushul fikih dalam merespon berbagai masalah tempo itu. Penulis berasumsi besar kemungkinan adanya diskusi antara Kiai Bisri dengan Kiai Wahab sebelum akhirnya membuka kelas untuk santri putri, mengingat di masa itu Kiai Wahab juga aktif menunjukan pembelaannya pada perempuan.
Shifr Putri Mubdil Fan: Cikal Bakal Madrasah bagi Santri Perempuan.
Mbah Wahab–panggilan akrab KH. Wahab Chasbullah–menurut banyak kesaksian orang yang pernah bertemu dengannya adalah pribadi yang tidak bisa diam. Beliau selalu gelisah dan berusaha melakukan inovasi untuk menjawab problematika zaman, termasuk dalam hal pendidikan.
Pada tahun 1912 (ada yang menyebut 1915 M), Mbah Wahab mendirikan Madrasah yang diberi nama Mubdil Fan di sekitar pondok induk (sumber lain menyebut di serambi Masjid Jami’ Tambakberas). Padahal, metode pembelajaran yang lazim dipakai saat itu hanyalah sorogan[3] dan bandongan[4].
Praktis, ketika Kiai Wahab memakai kapur dan papan tulis sebagai salah satu media pembelajaran untuk menerangkan ilmu tauhid, fikih, nahwu, shorof, dsb. ayahanda beliau, Kiai Chasbullah melempari lokasi pembelajaran “tidak lazim” itu dengan batu kerikil sembari berucap;
“Ngaji nganggo bor, alamat bar” (belajar dengan memakai papan tulis, pertanda akan bubar).[5]
Dalam Riwayat lain, Kiai Chasbullah berujar;
“Sekolah kok niru Londo” (sekolah kok meniru model pembelajaran ala Belanda).[6]
Peranti belajar yang hari ini mungkin sudah usang seperti kapur dan papan tulis adalah benda “asing” di pesantren pada masa itu. Di sisi lain, kesadaran melawan kolonialisme juga turut memengaruhi penolakan segala hal yang dibawa, dipakai, atau dipopulerkan oleh Belanda. Termasuk adopsi cara belajar sekolah klasikal karena dianggap sebagai suatu sikap simpatik atas penjajah.
Dilempari kerikil oleh sang ayah, tidak membuat Kiai Wahab berhenti. Beliau kemudian memindahkan ‘madrasah’ nya ke Brangkulon (Tambakberas Barat yang dibatasi oleh sungai) sekitar 200 M dari Pondok Tambakberas. Lokasinya bertempat di Musholla kecil terbuat dari gedek.
Kegigihan Kiai Wahab itulah yang kemudian meluluhkan hati sang ayah. Kiai Chasbullah pada akhirnya memperbolehkan sistem pembelajaran tersebut di pesantren. Bahkan dibangunkan ruang kelas baru di sebelah masjid yang sekarang menjadi kantor Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas.
Jika merujuk pada tiga sumber mainstream ihwal Kiai Wahab (Saifudin Zuhri, Cak Anam, Kiai Abdul Halim) hampir tidak ada data yang menunjukkan keahlian beliau dalam bidang ushul fikih. Padahal, dalam kurun waktu 1920-1930 an, beliau aktif merespon problem sosial waktu itu melalui tulisan, sebelum akhirnya sibuk melakukan penataan organisasi NU.[7]
Salah satu hal yang menarik perhatian beliau adalah marginalisasi dalam pendidikan yang dialami oleh sebagian besar perempuan, terlebih ada fatwa yang memakruhkan perempuan belajar menulis. Kiai Sholeh Darat dalam kitabnya Majmu’ Assyariah halaman 178 menuliskan larangan perempuan belajar menulis.
Terlepas dari banyak pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana bisa Kiai Sholeh Darat melarang perempuan belajar menulis padahal salah satu murid beliau, RA. Kartini adalah sosok perempuan yang melampaui zamannya sekaligus aktif berkorespondensi. Kiai Wahab dengan penolakannya menunjukkan posisi yang jelas dalam merespon fatwa tersebut.
Pembelaan Kiai Wahab pada perempuan atas fatwa itu beliau sampaikan melalui tulisan yang cukup panjang di Majalah Suara Nahdlatul Ulama. Pembelaan itu pun bukan sekedar wacana dan berhenti di ranah pemikiran belaka, tetapi juga diaktualisasikan melalui madrasah yang telah beliau rintis di Tambakberas sejak tahun 1912.
Kiai Wahab kemudian membuka kelas perempuan dibantu oleh adiknya, KH. Abdurrochim. Nyimas Wardliyah, istri Kiai Abdurrochim, menjadi satu di antara guru lain di kelas tersebut. Beliau merupakan salah satu keponakan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan dikenal pula dengan panggilan Mbah Nyai Mas.[8]
Berbekal pengalaman sewaktu di Yogya, Mbah Nyai Mas turut membidani model pendidikan berbentuk klasikal yang disebut Sifr[9]. Di antara beberapa muridnya adalah Hj.Rochiyah, Hj. Masyhuda (PP Salafiyah Brangkulon) dan Bu Machwijah Salim (Bulak Mojokrapak). Ini adalah cikal bakal sekolah putri yang kelak menjadi Madrasah Ibtidaiyyah[10].
Dalam era di mana hanya sedikit perempuan yang punya kesempatan belajar, Mbah Nyai Mas adalah satu di antara yang sedikit itu, bahkan menjadi guru perempuan yang saat itu sangatlah langka, bahkan bisa dibilang tidak ada. Pelajaran yang diampunya adalah baca tulis huruf arab, huruf abjad, dan belajar berbicara dengan bahasa Indonesia. [11]
Menurut Jajat Burhanudin, Kiai Wahab adalah orang paling berjasa dalam menghubungkan ulama basis pesantren dengan modernitas.[12] Kiai Wahab adalah tipikal orang yang teguh dalam berprinsip, tetapi modern dalam pergerakan. Beliau berhasil memodernkan apa yang dianggap selaras dengan visi perjuangan pesantren dalam kerangka besar Nahdlatul Ulama. Cara pandang semacam itulah yang kemudian mendorong Kiai Wahab untuk membuka Madrasah Mubdil Fan.
Kelak, dari rahim Mubdil Fan inilah Kiai Wahab terinspirasi mendirikan Nahdlatul Waton yang berdiri di banyak daerah waktu itu dan menjadi model pendidikan madrasah diniyyah. Di Tambakberas sendiri, Mubdil Fan menjadi cikal bakal lahirnya berbagai madrasah yang masih eksis sampai saat ini. Seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Mu’allimin-Mu’allimat.
Pasca melewati berbagai penolakan, sistem pendidikan madrasah perlahan mulai diadopsi oleh banyak pondok pesantren. Inisiatif dan jasa Kiai Wahab dalam merintis Madrasah terlebih pula bagi perempuan inilah yang manfaatnya kita rasakan sampai sekarang. Lahum Al Fatihah [Red. M2]
[1] Ashilly Achidsti, Gender & Gus Dur, Jogjakarta; Gading Publishing, 2021, hal. 26.
[2] https://www.nu.or.id/tokoh/kh-bisri-syansuri-ulama-barisan-fiqih-indonesia-DJV23
[3] Model pembelajaran di mana santri akan maju menyodorkan kitab, Al Qur’an, atau yang lain yang akan dipelajari kepada Kiai/Bu Nyai atau Ustadz/Ustadzah. Kemudian Kiai/Bu Nyai atau Ustadz/Ustadzah akan men-tashih atau mengoreksi, memberi contoh/menambah materi yang telah dibacakan santri tsb.
[4] Metode pembelajaran di mana semua santri akan menyimak bacaan Kiai/Bu Nyai atau Ustadz/Ustadzah dan menulis makna pego atau keterangan lainpada kitab masing-masing. Terkadang disebut Wetonan.
[5] Tim Sejarah Tambakberas, Tambakberas; Menelisik Sejarah Memetik Uswah, Jombang; Pustaka Bahrul Ulum, 2018, hal. 53.
[6] ibid
[7] Miftakhul Arif, Fikih Kebangsaan KH. A. Wahab Chasbullah, Jombang; Pustaka Bahrul Ulum, 2021, Hal. 63.
[8] Wawancara dengan Ustadz Miftakhul Arif di MAUWH Bahrul Ulum, (13/03/2022).
[9] Shfir adalah kelas/tingkatan belajar. Kelas laki-laki dan perempuan era Kiai Wahab harus dipisah.
[10]https://www.kompasiana.com/ninid/552a17fcf17e612b59d623b7/kh-abdurrochim-chasbullah-potret-perkawinan-antara-nu-dan-muhammadiyah
[11] Tim Sejarah Tambakberas, Tambakberas; Menelisik Sejarah Memetik Uswah, Jombang; Pustaka Bahrul Ulum, 2018, hal. 43.
[12] Miftakhul Arif, Fikih Kebangsaan KH. A. Wahab Chasbullah, Jombang; Pustaka Bahrul Ulum, 2021, Hal. 61.
Penulis merupakan alumni Santri Pondok Pesantren Tambakberas Jombang
Konten Kolaborasi NU Jateng bersama Justisia.com dan PMII Kom. UIN Walisongo selama Ramadhan 1443 H.