Lebaran dan Tidak Semua Masyarakat Desa adalah Petani
Kelas bawah tidak butuh demokrasi. Bagi mereka, waktunya makan ya makan, ada pekerjaan ya bekerja dan seterusnya. Demokrasi adalah diksi ciptaan yang selalu diperdebatkan oleh kalangan elite.

Sumber gambar: folderdesa.com/
Kelas bawah tidak butuh demokrasi. Bagi mereka, waktunya makan ya makan, ada pekerjaan ya bekerja dan seterusnya. Demokrasi adalah diksi ciptaan yang selalu diperdebatkan oleh kalangan elite.
Menjelang maghrib, lamat-lamat temaram lampu menyinari jalanan Desa Sukosari. Suasana asri nan sunyi ditemani nyanyian hewan-hewan nokturnal yang saling bersahutan memantapkan aroma karakter desa yang jauh berbeda dengan kota. Beberapa kali terdengar suara sandal bergesekan dengan aspal jalan, sedang orang-orang desa dengan hangat berbincang.
Kiranya sudah menjadi tradisi lebaran di Indonesia, ketika orang-orang selalu semangat merutinkan mudik ke kampung halaman. Entah untuk bertemu orang tua. Melepas rindu dengan keluarga dan kerabatnya. Atau sekedar menjernihkan pikiran dan badan dari kemelut kota besar yang penuh kebisingan. Selalu mengasyikkan, berbuah banyak kenangan.
Sejak sholat ied fitri usai digelar, saya melakukan gerilya ziarah (baca: silaturahmi) ke tetangga rumah, dari ujung kiri RT (Rukun Tetangga) hingga ujung kanan. Bukan karena ada rasa ‘dendam’ yang harus dibayar tuntas setelah merampungkan puasa wajib satu bulan atau untuk sekedar kebutuhan lubang dompet yang harus dipenuhi, tetapi soal menjaga rasa dan etika.
“Lebaran gini kita yang muda harus mendatangi yang tua. Etikanya dari dulu sudah begitu,” ucap Husnan di sela-sela perjalanan menuju salah satu rumah tetangga.
Lebaran: Etika dan Gerilya Ziarah
Adalah suatu ihwal pendidikan yang pakem, kelak di masa yang akan datang dan seterusnya generasi muda selalu menghormati generasi tua. Muncul ‘rasa’ yang tidak bisa diutarakan melalui ucapan atau dituliskan melalui tulisan, bertemu dengan orang tua sama artinya dengan recharge identity, merefleksikan sejenak identitas.
Husnan, imam mushola RT. 17 Desa Sukosari, acap kali merasakan suasana yang begitu sentimentil sejak takbir ied fitri dilantunkan hingga momen ziarah ied fitri selesai. “Mudik selalu mengasyikkan karena itu. Bisa pulang ke kampung halaman, bertemu orang tua, keluarga dan kerabat. Juga tentunya dapat angpau.”
Bagi mereka, pegiat mudik setiap momen lebaran, tentu ada perasaan heran dan pangling ketika memasuki kampung halaman.
Begitu memasuki area kampung halaman, seakan memori dan kisah yang sudah usang dimakan usia kembali ditampakkan seakan begitu nyata di depan mata. Hanya saja yang membedakan adalah latar tempat dan waktunya. Terselip rasa suka dan haru. Sesekali justru merasa asing.
Meski di beberapa portal media online banyak yang mewartakan begitu padatnya arus lalu lintas karena momen mudik lebaran, hingga dengan terpaksa-rela menggerakkan roda gandarannya dalam kilometer rendah karena saking macetnya, mudik ke kampung halaman selalu menjadi primadona lebaran.
“Sampai sini (Madiun) kemarin (Minggu, 01/05), kejebak macet di tol,” ujar Heri sambil membujurkan kedua kakinya.
Pria bertubuh jangkung berkulit cerah itu yang mudik dari Kota Jakarta ke kampung orang tuanya, Madiun, hampir tiap tahunnya menyadari dengan keadaan jalan raya yang selalu dipadati kendaraan. Suatu keniscayaan dalam hari-hari lebaran kendaraan dalam berbagai bentuk hanya bisa berjalan merayap, mengular berkilo-kilo meter, sambil ditemani terik panas matahari dan guyuran hujan.
Malam kian larut, sorot lampu menyinari jalanan melalui bilik daun-daun pepohonan yang masih rimbun. Dingin malam ditemani semilir angin. Saya melanjutkan gerilya ziarah.
Petani: Kesenjangan dalam Tuntutan
Saya sengaja berjalan pada malam hari, bukan karena siang terpapar terik matahari tetapi mayoritas penduduk desa mencukupi mata pencahariannya dengan bepergian ke sawah pada siang hari. Meski suasana lebaran, bagi mereka (masyarakat desa) mencukupi kebutuhan hidup sulit untuk ditinggalkan.
“Ngapurane ya, mau awan aku neng sawah. Maaf, tadi siang saya di sawah,” ucap Muhadji sembari mempersilahkan saya untuk duduk.
Muhadji adalah salah satu warga Desa Sukosari yang dituakan oleh masyarakat setempat bukan karena usianya yang hampir menginjak kepala enam, tetapi sebagai seorang modin (kiai kampung) setempat. Sebagai modin, di bawah komando kepala desa, ia mengabdikan dirinya untuk melayani masyarakat dalam pembinaan dan kesejahteraan.
Ia membuka pembicaraan dari kesehariannya yang lebih menghabiskan dirinya untuk keperluan sawah. Setidaknya, gambaran keperluan sawah adalah dari mencarikan air untuk kebutuhan menanam bibit padi, menyiangi rumput di antara sela-sela akar padi, memberikan vitamin dan pupuk untuk pertumbuhan padi, sesekali memberikan obat untuk mematikan hama. Ketika menjelang musim panen, andai seorang diri kewalahan maka harus mencari pekerja lain untuk turut membantu; dari pemotongan batang padi, perontokan buah padi dari batangnya, pengumpulan hingga pengeringan.
“Sakmene suwene iku lho, Mas. Nggak cuma butuh tenaga seng akeh tok, biayane yo akeh. Segitu lamanya (keperluan dan perawatan) itu lho, Mas. Kan nggak cuma butuh tenaga yang banyak, biaya juga,” ujarnya diselingi tawa rendah.
Secara umum, jenis padi apapun, sekurang-kurangnya membutuhkan sekitar 120 hari untuk bisa dipanen. Waktu 3 bulan itu, padi akan melewati beberapa fase; pertama, fase vegetatif (periode pertumbuhan dan perkembangan) dari 0-60 hari; kedua, fase generatif (periode pembentukan dan penyempurnaan) dari 60-90 hari dan; ketiga, fase pematangan (periode panen) dari 90-120 hari.
Bagi Muhadji, menanam padi jauh berbeda dengan menanam pohon-pohon berbuah pada umumnya yang hanya cukup dengan menancapkan biji ke tanah bisa tumbuh mandiri tanpa perawatan. Selama tiga fase itu, padi harus benar-benar dipantau dan dirawat. Untuk menghasilkan beras yang berkualitas, padi harus melewati sejumlah fase yang ketat dan penuh pengawasan serta perawatan.
Oleh karenanya, bagi masyarakat desa; bertani adalah sama halnya harus siap dengan urusan tenaga dan biaya.
“Nak tenogo kuat-kuat ae, Mas. Yo cuman, biaya perawatane iku kan yang nggak tanggung-tanggung. Kalau tenaga kuat-kuat saja, Mas. Ya kendala biaya perawatannya saja itu lho yang besar,” lanjutnya.
Di titik ini, seakan petani lokal dituntut untuk mencukupi dua kriteria; menghasilkan beras yang berkualitas dan mengikuti arus komersial pasar. Di era teknologi kian masif, tuntutan pertama (beras yang berkualitas) erat kaitannya dengan tuntutan kedua (arus komersial pasar). Urusan instan pun dikedepankan, tanpa menimbang dampak yang ditimbulkan.
“Sakjane iso gawe pupuk herbal, alami. Nanging yo suwe, pun kadang hasile masih kalah cepet karo pupuk kimia. Sebenarnya pakai pupuk alami (buatan sendiri) bisa. Tetapi biasanya agak lama, juga terkadang hasilnya masih kalah dibandingkan pupuk kimia,” tutur Muhadji sesekali mendongak ke langit-langit, seakan memikirkan jalan keluar yang mudah dan praktis.
Desa akan makmur seiring mengikuti hukum alam. Intervensi kepentingan yang menggurita selalu setidaknya memperburuk ekosistem kehidupan yang sudah lama berjalan apa adanya. Andai tidak ada pupuk kimia, petani lokal akan senantiasa menggunakan pupuk alami. Pertumbuhan memang selalu mengorbankan beberapa aspek fundamental dalam kehidupan.
“Sak RT wae sing gawe pupuk alami, uwes jarang bahkan ra enek. Roto-roto kabeh wes gae pupuk kimia. Satu RT saja yang pakai pupuk alami sudah jarang, bahkan tidak ada. Mayoritas menggunakan pupuk kimia,” lanjutnya.
Pria yang memiliki uban di kepalanya itu mengernyitkan dahi. Berpikir keras mengingat sejumlah harga pupuk kimia yang dijual di pasaran. Beberapa petani bahkan kesulitan membeli pupuk kimia karena harganya yang cukup mahal. Solusi dari mereka: membeli borongan yang dikoordinir setiap RT, untuk kemudian dibagikan sesuai porsi kebutuhan.
Kesenjangan menyelimuti petani, sematan negara agraris hanya di warta tidak di kondisi realita, memperindah narasi mencederai situasi dan kondisi.
“Makane kui, Mas. Wong ndeso misal dadi petani bloko bakal gak iso nguripi-ngurip, mesti disambi karo liyane. Mbuh kui dodolan, angon mendo, utawa liyane. Makanya itu, Mas. Orang desa misal hanya jadi petani bakal nggak bisa mencukupi kehidupannya, pasti dibarengi dengan pekerjaan lain. Entah itu jualan, ternak kambing (dan hewan sejenisnya), atau lainnya begitu,” kata Muhadji memantapkan, juga menjelaskan identitas ‘riil’ masyarakat pedesaan.
Sesekali Muhadji menyitir perbandingan kehidupan kota dengan desa. Di atas kertas memang kontras, seakan kota begitu makmur dan selalu dibanderol dengan tingkat kesejahteraan dibandingkan kehidupan desa yang sederhana dan serba berkecukupan.
Meski demikian, yang perlu digaris bawahi adalah kiranya bahwa mudik adalah istilah halus dari ruralisasi sementara. Melalui pembicaraan hangat dengan Muhadji, mungkin desa adalah muasal kehidupan masyarakat dengan kota sebagai produk modernisasi hingga petani mengalami marginalisasi, hidupnya transendensi, dikoyak tuntutan sana sini (?)
Jalanan desa makin sepi, terlihat pintu rumah warga sudah ditutup. Mereka mengistirahatkan badan untuk melanjutkan perjuangan gerilya ziarah ke rumah tetangga, saudara dan kerabat esok hari. Perihal ‘esok’ memang selalu abu-abu, sama nasibnya dengan petani lokal desa yang mendapati tuntutan ini itu. [Pen. Lutfi/Red. Mzkr]