Langgar dan Kiai Langgar: Induk Dakwah Islam yang Terlupakan

Kultural langgar adalah kehidupan semi pesantren, dimana adab dan rasa disiplin dalam menuntut ilmu termasuk didalamnya patuh terhadap guru dalam hal ini kiai langgar sangatlah penting.

Semarang, Justisia.com – Ketika kita menelusuri daerah pedesaan, di antara jajaran rumah masyarakat pedesaan terutama di jawa, akan banyak kita jumpai bangunan kecil yang terletak di samping atau halaman muka rumah. Bila, didepan bangunan tersebut tampak tergantung sebuah kentongan di salah satu tiang terasnya, bahkan terkadang terlihat alas kaki yang berserak tak karuan di depannya, sangat mungkin bangunan kecil tersebut merupakan Langgar (Dirdjosanjoto, 2013). Fungsi langgar ini sebenarnya mirip seperti masjid, sebagai pusat peribadatan muslim tradisional jawa. Hanya saja, langgar tidak digunakan untuk melakukan jamaah sholat jum’at.

Istilah langgar, sering dipakai untuk menunjuk bangunan kecil yang biasanya berbentuk segi empat mirip bangunan masjid namun berukuran lebih kecil, dan berdiri di sekitar rumah-rumah masyarakat muslim tradisional (Kosim, 2009). Langgar di daerah lain juga dikenal sebagai tajug (tajub), surau dan mushola (Kholid Mawardi, 2014).

Selain menjadi pusat peribadatan, langgar juga merupakan tempat masyarakat muslim lokal berkumpul untuk melaksanakan berbagai kegiatan keagamaan bersama, baik yang bersifat umum seperti peringatan hari-hari besar Islam, pengajian maupun yang berkaitan dengan kepentingan keluarga seperti tahlilan, manaqiban dan takhtiman. Bahkan di beberapa langgar, pada hari tertentu, diselenggarakan latihan kesenian samroh dan terbangan sering kali diselenggarakan di sana.

Langgar juga sering menjadi simbol kesatuan dan gotong royong masyarakat muslim lokal dengan kiai langgar sebagai sosok pemimpinnya. Berbeda dengan Kiai pesantren yang hidup dengan para santrinya yang relatif terpisah dari masyarakat lokal, para kiai langgar justru hidup berdampingan langsung dengan masyarakat muslim lokal. Disamping menjadi seorang guru ngaji, kiai langgar juga punya peran penting sebagai imam dan tokoh masyarakat muslim lokal (Dirdjosanjoto, 2013).

Melacak Asal Mula Langgar

Langgar menjadi sebuah institusi pendidikan non formal terkecil yang keberadaanya bisa dibilang lebih awal dibanding dengan madrasah dan pondok pesantren. Sebagian besar masyarakat muslim lokal menganggap bahwa langgar merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam tingkat pemula, dan menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tingkat lanjut. Keduanya merupakan lembaga pendidikan yang sangat berperan penting dalam dakwah penyebaran islam di Nusantara/Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama (Masfuroh & Widodo, 2021).

Dalam beberapa kasus, langgar banyak menjadi cikal-bakal munculnya pondok pesantren, sebagai contoh seperti langgar yang dibangun oleh Kiai Hasyim yang kemudian berkembang menjadi Pesantren Tebuireng Jombang, langgar Kiai Munawir yang kemudian berkembang menjadi Pesantren Krapyak Yogyakarta, dan langgar Kiai Qadir yang kemudian berkembang menjadi pesantren Tanjung Sleman (Kholid Mawardi, 2014).

Secara historis, langgar di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tradisi pra-Islam. Sebelum adanya Islam, bangunan langgar sudah banyak dikenal luas dalam tradisi masyarakat Hindu-Budha. Langgar yang dikenal oleh masyarakat pra-Islam ini berupa bangunan kecil yang biasanya terletak diatas bukit atau di tempat yang lebih tinggi dari bangunan sekitarnya.

Bangunan langgar pra-Islam biasanya digunakan sebagai tempat peribadatan masyarakat Hindu-Budha, tempat berkumpul pemuda guna memperdalam pengetahuan dan keterampilan, hingga sebagai tempat berkumpul kaum lelaki dewasa. Dalam definisi lain, langgar merupakan tradisi agama asli Asia Tenggara yang telah mengalami proses islamisasi. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa penganut Buddha di Thailand dan Burma, yang sebagian besar mempunyai sebuah bangunan kuil keluarga yang memiliki fungsi tak jauh beda dengan langgar di kalangan umat Islam (Kosim, 2009).

Setelah masuknya islam ke Indonesia, konon sebagian besar langgar yang ada di pedesaan didirikan atas gagasan pribadi pemilik nya. Mereka yang mendirikan langgar biasanya merupakan masyarakat desa yang kaya, atau mereka yang telah pulang dari ibadah haji (juga bisa diartikan kaya). Biasanya mereka mendirikan langgar di halaman pekarangan mereka (Dirdjosanjoto, 2013).

Tradisi membangun langgar secara individual tersebut mulai semakin ditinggalkan. Pada sekitar tahun 1980-an semakin banyak langgar yang dibangun bersama guna kepentingan bersama pula (Kholid Mawardi, 2014). Perubahan dasar pembangunan langgar secara bersama tersebut, menjadikan langgar bukan hanya sarana bagi kiai untuk memperkokoh kesatuan masyarakat muslim lokal, namun sekaligus juga merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk pembentukan rasa nasionalisme dan gotong royong antar masyarakat muslim lokal.

Peran Kiai Langgar dalam Pembentukan Karakter

Istilah kata “kiai” sering diartikan sebagai penyebutan kepada seseorang yang dihormati yang memiliki ilmu keagamaan. Dalam artian luas, kiai memiliki makna sebagai seorang tokoh yang dikenal, kemudian diikuti dengan penjelasan terutama “guru Agama Islam”. Pemaknaan mengenai kata ‘kiai’ juga dapat diartikan sebagai seorang ‘ahli’ yang berfokus pada bidang keagamaan (Masfuroh & Widodo, 2021).

Bagi Masyarakat muslim Jawa, Kiai didefinisikan sebagai mereka yang dipuja dan dihormati masyarakat karena ilmunya, juga jasa dan rasa kasih sayang mereka terhadap masyarakat. Dahulu, kiai yang tinggal di wilayah pedesaan benar-benar menjadi sosok kawan masyarakat sebagai tumpuan, maupun tempat bertanya. Sebaliknya, kiai yang dipuja dan dihormati masyarakat itu memang mencintai masyarakat dan mengabdikan dirinya kepada masyarakat muslim lokal.

Kiai yang termasuk golongan “yanzhuruuna ilal ummah bi ainir rahmah“, atau melihat umat dengan mata kasih sayang, memberikan kepada yang tak punya, mengisi yang kosong, menguatkan yang lemah dan seterusnya (Adawiyah, 2020). Merupakan bukti ikhlas pengabdian yang mereka berikan kepada masyarakat muslim lokal.

Dalam institusi kultural langgar, kiai merupakan elemen dominan, dan berperan sangat fundamental dalam kehidupan cultural religious langgar. Kiai berperan sebagai sentral panutan bagi masyarakat muslim lokal dalam aktivitas hidup mereka baik yang berhubungan langsung dengan keagamaan, maupun kehidupan bermasyarakat pada umumnya.

Selain menjadi imam dan tokoh keagamaan, kiai langgar juga punya peran penting dalam pembangunan karakter seseorang. Sifatnya akan menjadi sangat fundamental karena posisi kiai langgar yang langsung hidup berdampingan bersama dengan masyarakat muslim lokal (Masfuroh & Widodo, 2021). Karena bagi muslim pedesaan Jawa, kiai langgar adalah institusi kultural penting yang memberikan banyak nilai dan tradisi asketisme yang akan dibutuhkan oleh anak-anak mereka dalam persiapan memasuki usia masa muda. Masa dimana seorang lelaki muda harus meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan pengalaman baru yang penting bagi kehidupan mereka di kemudian hari.

Kultural langgar adalah kehidupan semi pesantren, dimana adab dan rasa disiplin dalam menuntut ilmu termasuk didalamnya patuh terhadap guru dalam hal ini kiai langgar sangatlah penting. Sifat dasar pendidikan langgar itulah, yang juga bisa membentuk sikap mandiri bagi anak-anak utamanya laki-laki, dimana mereka disaat malam hari harus tidur di langgar sehingga mereka nantinya juga mampu memahami dan bersosialisasi dengan orang lain secara baik (Kholid Mawardi, 2014).

Hal ini berbeda dengan tradisi kultural keluarga kiai pesantren, masyarakat desa tidak mengajarkan pengetahuan agama kepada keluarga mereka karena diluar kemampuan mereka. Umumnya para masyarakat muslim lokal akan mendorong anak-anak mereka yang berumur yang berumur 6 atau 7 tahun untuk belajar mengaji bersama teman sebayanya kepada kiai langgar.

Kebiasaan mendorong anaknya belajar mengaji kepada kiai langgar tidak terbatas hanya di lingkungan keluarga yang taat melakukan ibadah agama. Keinginan untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan agama anaknya juga dimiliki oleh masyarakat muslim nominal pedesaan atau biasa disebut abangan. Dalam pandangan mereka, dengan memperkuat ketaatan beragama berarti akan menolong anak-anak mereka keluar dari berbagai macam bahaya yang ditimbulkan oleh perubahan dan perkembangan zaman (Dirdjosanjoto, 2013). Layaknya orang tua, kiai langgar juga punya perannya sendiri dalam membentuk karakter masyarakat muslim lokal dalam kultural keagamaan.

Daftar Pustaka

Adawiyah, R. (2020). Kiai Langgar sebagai Episentrum Pendidikan Islam Masyarakat Desa Meninjo Ranuyoso Lumajang. TARBIYATUNA: Jurnal Pendidikan Islam, 13(1), 1. https://doi.org/10.36835/tarbiyatuna.v13i1.606

Dirdjosanjoto, P. (2013). Memelihara Umat: Kyai Pesantren-Kyai Langgar Jawa. LKiS Yogyakarta.

Kholid Mawardi. (2014). Langgar: Institusi Kultural Muslim Pedesaan Jawa. Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 12, N(1693-6736), 50-61.

Kosim, M. (2009). Langgar Sebagai Institusi Pendidikan Keagamaan Islam. Tadris, 4(2), 236-250.

Masfuroh, I., & Widodo, A. (2021). Langgar dan Peran Kiai Langgar dalam Peningkatan Pendidikan Agama Islam Desa Kertanegara. Al-Fikr: Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 88-95. https://doi.org/10.32489/alfikr.v7i2.223

Penulis merupakan Santri Al-Hikmah Assalafiyah Pedurungan, Semarang

Konten Kolaborasi NU Jateng bersama Justisia.com dan PMII Kom. UIN Walisongo selama Ramadhan 1443 H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *