Hikayat Pesisir dan Kebijakan yang Tak Terorganisir

“Depan rumah saya itu, kalau pagi tidak bisa apa-apa. Rob sudah masuk sampai rumah.”

Doc/ Antara/ Rob genangi Kampung Nelayan

“Depan rumah saya itu, kalau pagi tidak bisa apa-apa. Rob sudah masuk sampai rumah.

Semarang, Justisia.com – Siang yang terik (27/08), Morodemak padat dengan aktivitas warga pada biasanya. Beberapa orang dewasa siap berangkat menuju kongsi untuk berlayar mencari ikan, termasuk beberapa pemuda mengendarai motor berboncengan dengan membawa ember dan pancing. Dan ada pula ibu-ibu yang masih sibuk membersihkan halaman rumah-nya dari genangan rob yang malam tadi merangsek masuk ke dalam rumah.

Saya menyisir sepanjang jalan Morodemak. Di beberapa tempat, genangan air rob masih tinggi. Terkadang saya harus memutar dan mencari jalan lain. Di seberang sejauh saya memandang, rob bahkan mulai naik sampai atap rumah, menyisakan penampakan atap genteng.

Sepanjang jalan pesisir Morodemak, beberapa deret perumahan sudah kosong tanpa penghuni. Temboknya menguning, bahkan banyak yang mengelupas akibat korosi air laut dari setiap waktu menghampiri.

Di persimpangan jalan, saya memutuskan untuk rehat sejenak di warung. Memarkirkan motor, turun dengan terpaksa melepas sepatu. Sesekali, luapan rob menyentuh ban motor.

Kebetulan pemilik warung adalah Ketua RT 3 RW 4, Morodemak, Bonang, Nur Wakhid. Sambil menikmati es teh dan gorengan yang sudah saya beli, saya terbawa hanyut dalam ceritanya.

“Biasanya rob itu pagi, nanti sore juga ada lagi. Kalau akhir-akhir ini, biasanya pagi dari jam 4 sampai jam 9,” tutur Wakhid membuka obrolan.

Sebagai nelayan, Wakhid sering mengamati kedatangan rob. Bagi warga Morodemak yang paruh hidupnya di laut, mereka memiliki lembaran jadwal yang memuat informasi mengenai rob, dari kapan terjadinya hingga tinggi luapannya.

Bulan Agustus, kalau dilihat dari jadwal yang dibagikan oleh pemerintah, tidak ada rob yang tinggi. Namun kenyataannya justru berbeda. Informasi jadwal yang diberikan tidak sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan, atau mudahnya nelayan sering merasa bingung, ‘Kok besarnya sampai segitu.’

“Kalau menurut saya ini karena kedangkalan Kali Tuntang,” jelas Wakhid.

Ia mencari titik terang, andaikan kedalaman kali itu 2 meter, harusnya bisa menampung beberapa debit air. Baginya, kedalaman kali itu hanya 1 meter, atau bahkan kurang dari itu.

“Termasuk juga kan rob itu membawa lumpur. Setahun saja bisa 10 cm, andaikan beberapa tahun. Bisa tinggi itu,” terangnya.

Dari kedangkalan Kali Tuntang yang menyebabkan luapan rob masuk ke dalam rumah, Wakhid berusaha mencari jalan keluar mengenai masalah rop yang terus terjadi. Baginya pemerintah seharusnya, mengeruk lebih dalam kali tersebut.

“Kalau pun masih meluap, mungkin nggak akan separah ini. Air (rob) nggak begitu masuk sampai dalam,” ucap Wakhid. Suaranya lirih, mengandaikan jawaban itu terjadi.

Di kesempatan lain, saya mengikuti Suluk Senin Pahingan #12 dengan tajuk “Ketika Daratan jadi Lautan.” Kegiatan itu diadakan pada Ahad, 28 Agustus 2022 yang berada di Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon, Bugen, Semarang dengan narasumber; Mung Paryono, Warga Kawasan Rob; Bagas Yusuf Kausan, Koalisi Maleh Dadi Segoro dan; KH. Hudallah Ridwan Naim, Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah.

Pada kesempatan ini, Mung Paryono mengisahkan perjuangan warga pesisir secara periodik.

 

Rumah Ditinggikan, Rob Menerjang

Pada tahun 1990-1995, penghuni Pondok Raden Fatah memiliki impian punya kampung. Impian ini bukan didasari atas alasan apapun, namun untuk mencapai kebahagian. Perwujudan ini hasil gotong royong bersama penghuni Pondok Raden Fatah, misalnya pada Peringatan 17 Agustus dengan mengadakan lomba volly antar RW.

“Itu awal-awal kami menghuni di Pondok Raden Fatah. Sehingga tercipta kebahagiaan,” jelas Paryono.

Periode 1995-2000 banyak kendala. Penghuni Pondok Raden Fatah sepanjang periode itu sering meninggikan rumah. Sepanjang periode itu, rob mulai naik dan hampir setiap rumah dibangun pondasi sekitar 1 meter untuk mencegah luapan rob.

Pada periode itu, di tembok-tembok depan rumah yang berada di kawasan Penghuni Raden Fatah terdapat tulisan “Rumah ini dalam pengawasan BPN (Badan Pertanahan Nasional).”

“Kalau dilihat-lihat lagi, kok tinggi banget. Ternyata kami sudah meninggikan sekitar 3 meter,” ucapnya mengingat cerita penghuni Pondok Raden Fatah yang berjuang meninggikan bangunan.

Periode 2005, rob mulai mendekat ke kampung Pondok Raden Fatah. Beberapa waktu, pernah terjadi banjir. Pada saat yang sama, warga Pondok Raden Fatah mengadakan demo kepada BPN untuk menunda pembayaran selama satu tahun, atas dalih rob mulai masuk rumah.

“Salah satu fase yang menjadi kebanggaan saya adalah rumah saya jadi rumah kehormatan. Maksudnya, kalau masuk rumah harus menunduk dulu, kalau tidak eman-eman kepalanya,” tuturnya diselingi tawa.

Pada tahun 2007, ketika rob tinggi sedang penghuni Pondok Raden Fatah mulai kehilangan lahan. Dulunya tanah itu lapangan, sekarang menjadi tambak.

“Justru enak. Kami nggak perlu susah-susah mencari ikan, mereka datang sendiri ke rumahnya,” ucapnya.

Periode 2010 hingga sekarang, tepatnya waktu Covid-19. Pada waktu itu, karena keprihatinan, dibentuklah tim ‘Jogo Tonggo.’ Ada salah satu warga dari RW 8 yang jaraknya agak jauh di sebelah Utara, satu keluarga itu meninggal dalam dua hari karena Covid-19.

“Yang jadi masalah adalah menguburkannya. Tandu dipikul sedangkan air itu sudah setara lutut. Padahal, bayangkan, jarak RW 8 ke tempat pemakaman atau jalan raya itu sekitar 1,5 kilometer. Kalau kering nggak masalah, ini ada airnya,” jelas Paryono. Nadanya meninggi.

Warga Pondok Raden Fatah seakan menjadi tuan tanah. Artinya, hampir setiap lima tahun harus membeli tanah untuk urug keperluan meninggikan. Paryono menggambarkan, misal punya uang 10 juta lebih baik digunakan untuk keperluan kebutuhan rumah dibandingkan membeli perabotan dan alat-alat, televisi misalnya.

“Tidak bisa. Daripada beli TV, mending beli tanah. Agar tidak kebanjiran,” ucapnya.

Pernyataan terakhir dari Mung Paryono ini juga disampaikan oleh Nur Wakhid. Sama seperti Paryono, Wakhid juga mengalaminya sendiri.

 

Pesisir: Seperti Mengontrak di Rumah Sendiri

“Saya itu sebenarnya kasihan dengan diri sendiri. Tapi lebih kasihan lagi ke orang-orang yang kena rob setiap hari,” terang Wakhid sembari menunjukkan rumah yang tembok-temboknya selalu basah akibat luapan rob.

Wakhid menggambarkan kesulitan dan kesedihan warga pesisir dalam meninggikan rumah dengan mengambil contoh program ‘Bedah Rumah.’

Wakhid selalu tegas dalam melancarkan komentar ke perangkat desa. Baginya, lebih baik renovasi daripada membangun rumah kembali.

“Coba bayangkan, Mas. Ada dana 17 juta, sedangkan dari pemerintah suruh bongkar, lalu membangun rumah dari awal lagi. Uang segitu saja buat urug padas (batuan karst) dan fondasi sudah habis kok,” ujarnya meyakinkan diri.

Dengan nada yang makin meninggi, Wakhid kesal dengan program pemerintah. Bagi warga pesisir Morodemak, baik 10 juta ataupun 17 juta memang terlihat besar, namun tidak ada apa-apanya kalau digunakan.

“Belum lagi tukang. Sekarang biayanya sehari 150 ribu. Kalau tiga tukang. Belum lagi rokoknya, makannya,” jelasnya.

Bagi Wakhid, program itu lebih baik diserahkan ke desa. Sehingga lebih mudah untuk dijangkau dan disesuaikan dengan kebutuhan warga. Misal yang butuh kamar mandi dibuatkan, atau atap yang sudah nggak layak pakai diperbaiki lagi.

 

Persoalan Lama, Menyusahkan Warga

Dalam kegiatan Senen Suluk Pahingan, setelah Mung Paryono menuntaskan kisahnya, pembicaraan berlanjut ke Bagas Yusuf Kausan, Koalisi Maleh Dadi Segoro.

Koalisi Maleh Dadi Segoro adalah kumpulan akademisi yang berasal dari kampus-kampus yang ada di Semarang. Dalam riwayatnya, sudah menerbitkan beberapa buku laporan tentang lingkungan, khususnya wilayah pesisir, yaitu Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak.

Demikian, Bagas menyampaikan pandangannya terkait fenomena rob dari sudut pandang teoritis dan ilmiah, bukan alamiah.

“Kami berkunjung ke warga, dan mendengarkannya. Termasuk membaca terbitan atau koran-koran lama,” terangnya dalam menggarap penelitian mengenai rob.

Bagi mahasiswa Sejarah Unnes itu, kata kunci yang sering masuk dalam pembahasan rob adalah amblesan tanah yang ada di pesisir Semarang.

Banyak akademisi yang masih memperdebatkan faktor amblesan tanah di Semarang. Namun yang bisa digaris bawahi adalah; Pertama, lapisan tanah di Kota Semarang relatif masih muda dan belum solid. Sangat berpengaruh jika tanah Semarang dijadikan ibukota provinsi. Kalau dilihat dari sejarah, pada era Pandanaran (Kerajaan Demak), pesisir Semarang masih jauh dari daratan. Tapi karena ada sedimentasi terus menerus, akhirnya pesisir tersebut maju.

Kedua, ekstraksi air tanah atau sumur artesis; Ketiga, soal pembebanan bangunan. Ketika tanah belum solid dengan baik sedangkan di atasnya dibebani dengan bangunan, itu sangat rentan amblas. Kecuali ada bangunan yang mampu membuat cakar ayam dengan kedalaman 100 meter dan; Keempat, pengerukan terus menerus yang ada di wilayah pesisir Semarang.

“Pada gilirannya, faktor inilah yang menyebabkan risiko terjadinya rob di Kota Semarang,” jelas Bagas.

Bagas menyambungkan temuan penelitiannya dengan penuturan Paryono. Dalam proses penelitiannya, Bagas mewawancarai salah satu warga yang bertempat di Tanjung Mas sejak 1979.

“Dia bilang tahun 1979 belum ada rob. Mulai ada tahun 1990-an,” jelasnya menirukan jawaban dari warga yang diwawancarainya.

Laju amblesan tanah di Semarang berbeda-beda. Pemerintah Semarang pun telat menanggapi itu sebagai suatu persoalan. Dari data yang ada dan dikumpulkan, pada tahun 1997 di Perumahan Taman Mas amblesan tanah sekitar 7,5 cm per tahun. Dan pada tahun 2005, di rata-rata pesisir Semarang sudah ambles sekitar 10 cm per tahun. Dan tahun 2020, di titik-titik tertentu, amblesan tanah sudah sampai 28 cm per tahun.

“Jadi, laju amblesan tanah semakin meningkat. Kalau tidak di stop, risiko semakin tinggi,” tuturnya.

Dari keempat faktor penyebab amblesan tanah di atas, pemerintah cenderung memusatkan perhatian pada faktor air artesis. Walaupun demikian, Bagas menilai tidak adanya usaha dari pemerintah untuk mencari jalan keluar atas masalah tersebut, dengan misalnya pertanyaan keluar, “Siapa yang awal menginisiasi pembuatan air artesis?”

“Karena sesuai pemetaan ideal kami, kalau Semarang punya riwayat ambles, harusnya warga terlayani dengan air permukaan dari PDAM. Hanya saja sampai tahun 2021, PDAM cuma bisa mencukupi 60 persen dari penduduk Kota Semarang,” jelas Bagas.

Artinya, 40 persen sisanya mengandalkan air artesis. Gambaran ini diperparah lagi pada tahun 2018 dengan adanya program yang difasilitasi oleh pemerintah, Pamsimas (Program Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). Kalau membaca dokumen awal Pamsimas, tujuannya untuk wilayah pegunungan. Namun sekarang, di wilayah pesisir Timur dan Barat Semarang dibuatkan Pamsimas.

“Kalau pun begitu, kami sepenuhnya tidak bisa menyalahkan warga yang menggunakan air artesis atau Pamsimas,” ujarnya.

Data yang didapatkan oleh Koalisi Maleh Dadi Segoro, justru yang menggunakan fasilitas air di atas adalah industri, perkantoran, dan perhotelan. Alias, warga yang menggunakan fasilitas tersebut sedikit.

“Pun, dari beberapa penuturan warga, penggunaan air artesis ini karena layanan PDAM secara kualitas dan kuantitas sering tidak mencukupi kebutuhan,” ungkap Bagas.

Bagas tidak setuju kalau sentralisasi fokus pemerintah soal amblesan tanah hanya berdasarkan penggunaan air artesis.

Selanjutnya, persoalan rob adalah persoalan lama namun respon dari pemerintah selalu lambat dan tidak bisa menyentuh akar persoalan yang terjadi.

“Kami juga tidak bisa lepas dari pembahasan abrasi. Karena sedikit banyak juga ikut berkontribusi,” jelas mahasiswa Unnes tersebut.

Abrasi berkaitan dengan adanya reklamasi yang pertama kali terjadi pada tahun 1990-an oleh Pantai Marina. Pun pada tahun 1985, Soeharto meresmikan Dermaga Samudra yang dalam perjalanannya juga reklamasi pesisir Semarang. Pada akhirnya, bangunan yang menjorok terlalu utara ke lautan akan mengubah pola arus laut dan buntutnya berdampak pada daerah sisi kiri dan kanan dari bangunan tersebut.

“Jadi sebenarnya, yang terjadi di wilayah Demak sekaran itu akibat dari reklamasi,” terang Bagas, dikuatkan dengan pengakuan warga Demak yang berdalih atas persoalan sekarang ini akibat dari Semarang. Persoalan ini juga berdampak pada warga daerah Mangkang Kulon, Mangkang Wetan, dan Mangunharjo.

 

Solusi yang Semu, Kesadaran Kolektif harus Satu

Dalam mencari solusi atas persoalan tersebut, Koalisi Maleh Dadi Segoro mendatangi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang. Dari beberapa solusi yang ditawarkan, ada dua solusi yang menjadi pintu masuk Pemerintah Kota Semarang; pertama, Tanggul Tol Laut Semarang-Demak (TTLSD) dan; kedua, pembuatan tol di atas laut yang menghubungkan pesisir Kendal dengan Bandara Ahmad Yani.

“Solusi dari pemerintah, justru menurut kami, adalah persoalan itu sendiri,” tutur Bagas.

Dalam cara pandang akademis, sama saja artinya dengan selain penyumbang amblesan tanah, juga menumbuhkan klaster industri baru di wilayah Semarang Barat, juga reklamasi baru di pesisir Semarang.

“Itu semua yang bagi kami semua menjadi akar permasalahan yang ada di wilayah pesisir Semarang dan Demak,” pungkas Bagas.

Sama dengan penjelasan Bagas, lulusan filsafat pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Ahmad Ibnu Wibowo turut memberikan penjelasan.

“Soal rob ini harusnya akar persoalannya harus diselesaikan,” tuturnya memulai penjelasan.

Paox Iben, panggilan akrab Ahmad Ibnu Wibowo, melihat fenomena rob harus secara menyeluruh. Misalnya, dilihat dari persoalan tata ruang. Harusnya mengukur dan menimbang seberapa besar dampak dan peluang dari daerah yang ditempati tersebut.

Persoalan tata ruang, bagi Paox Iben, adalah penting. Kalau warga pesisir harus tetap tinggal, harus dipikirkan bagaimana konstruksi bangunan. Begitu pula cara hidup dan beradaptasi dengan keadaan yang terjadi.

“Kita harus belajar dari realita yang terjadi. Misalnya di daerah Bima, saya menolak penanaman mangrove, karena akan jadi tempat sampah baru,” jelasnya.

Sama halnya dalam menyikapi fenomena rob, warga harusnya diberikan edukasi yang masif dalam merenovasi rumah dan menyikapi persoalan rob yang selalu meluap masuk ke dalam rumah.

Dalam konteks ini, Paox Iben masih mempertanyakan sikap warga pesisir yang membangun pemecah ombak dengan bambu. Karena baginya, hal itu bukan menghilangkan masalah, namun memindah masalah ke tempat yang lain.

“Lagi-lagi yang paling penting adalah kesadaran kolektif dalam memahami tata ruang,” tegas aktivis asal NTB tersebut.

Selain dari kesadaran kolektif, spektrum kebijakan juga perlu diawasi.

Paox Iben menceritakan, tahun 2009 ia bekerja di National Geographic dengan ditugaskan memasang chip di 6000 ekor ikan glodok. Kemudian, ikan itu ditempatkan memutar di seluruh bibir pantai pulau Lombok. Tujuannya untuk mengawasi perubahan iklim dengan melihat perilaku ikan glodok tersebut.

“Artinya, banyak aktivis yang menyerukan perjuangan dunia agar lebih baik namun kerusakan juga masif dan besar terus terjadi,” jelasnya.

Bagi pria kelahiran Kaliwungu tersebut, menghadapi persoalan rob seperti ini dengan belajar dari kebudayaan-kebudayaan lain. Ia mencontohkan dengan belajar dari adaptasi warga-warga pesisir lain, misalnya dengan mengubah posisi pintu depan yang awalnya membelakangi laut sekarang menghadap ke laut.

“Kalau diprotes air laut bakal masuk ke dalam, ya tinggal pasang batu pemecah ombak sepanjang bibir pantai,” jawabnya. Baginya, jika rumah membelakangi laut, warga dengan lebih mudah membuang sampah ke belakang. Dan itu akan menimbulkan masalah baru.

Menyikapi persoalan TTLSD, baginya lagi-lagi persoalan tata ruang harus dipertimbangkan.

“Termasuk juga melihat dari mata pencaharian warga sekitar. Apakah kebanyakan orang nelayan atau tidak,” jelasnya.

Kalau misal bagi pemerintah tanggul tol laut adalah solusi untuk pemecah ombak, maka itu baik sepanjang warga pesisir tidak kehilangan mata pencahariannya, atau selama tanggul tol itu tidak menyusahkan kapal-kapal warga berlabuh.

“Menerima keadaan itu kiranya paling baik, di lain menumbuhkan kesadaran kolektif,” pungkasnya.

Kesadaran kolektif, juga turut digencarkan oleh warga Morodemak dalam menyikapi persoalan tahunan.

Nur Wakhid, sama dengan warga Morodemak pada umumnya, memiliki kesadaran terhadap persoalan yang dihadapinya. Misalnya mengenai rumah, ketika tanah ditinggikan, dengan mengikuti rumah juga harus ditinggikan.

“Kalau nggak begitu, ya bakal hilang,” ucapnya.

Di rumahnya sendiri, meski sudah ditinggikan dan air tidak masuk ke dalam, terkadang masih merembes. Rembesan air itu bisa dilihat dari tembok rumah yang awalnya kering, perlahan lembab. Ketika berkunjung ke rumahnya, saya melihat tembok dan keramik yang masih lembab, akibat rembesan air rob.

“Alhamdulillah, masih bisa disyukuri. Yang penting anak bisa bersekolah dan kuliah, walaupun bapaknya cuma lulusan tsanawiah (SMP) dan jadi nelayan,” ucapnya dengan nada datar disertai senyum simpul.

Saya mengakhiri pembicaraan dengan Nur Wakhid. Di sepanjang jalan pulang menuju Semarang, ban motor sesekali menerjang genangan rob yang belum surut.

Beberapa murid sekolah baru pulang, dengan tas digendong di pundak, celana digulung sampai lutut, dan tangan menenteng sepatu agar bisa dipakai kembali esok hari. Di satu dua rumah yang lain, para ibu masih sibuk menguras rumahnya dari luapan air. (Red. Mzkr)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *