Grebek Kampung Nelayan, Refleksi Satu Tahun Perjuangan
Grebek Kampung Nelayan boleh usai, namun tidak dengan kebersamaan perjuangan dan perlawanan yang harus dikumandangkan. Gugatan, audiensi dan advokasi harus tetap berjalan, namun dibarengi dengan refleksi dan evaluasi yang seimbang.

Justisia.com/Rakansfq/Tambakrejo
Semarang, Justisia.com – Siang itu (01/02), Kampung Nelayan Tambakrejo tampak ramai. Panasnya sinar matahari yang menyengat tidak menyurutkan kehendak warga untuk kerja bakti resik kampung. Tidak memandang usia, dari remaja hingga dewasa turut membersihkan kampung halaman mereka. Seolah sudah ada kesepakatan matang jauh-jauh hari.
“… ini dalam rangka memperingati satu tahun pindahan Kampung Nelayan Tambakrejo, Mas,” sahut Kaminto sembari mengisyaratkan kepada kami untuk memarkirkan motor di halaman rumah salah seorang warga.
Kaminto adalah ketua pelaksana acara Grebek Kampung Nelayan. Kerut di wajahnya tidak bisa bohong, menandakan bahwa ia sudah menginjak kepala empat. Ia bersama warga Tambakrejo lainnya adalah yang dulu pernah terlibat dalam penolakan penggusuran akibat proyek normalisasi Banjir Kanal Timur (BKT).
Tidak jauh dari tempat kami memarkirkan motor, riuh suara warga terdengar sayup-sayup. Tampaknya, keramaian itu berasal dari halaman depan Masjid I’tikaf Al-Firdaus. Halaman itu cukup luas, dengan satu gazebo yang biasa digunakan warga berkumpul untuk sekedar nongkrong dan bersenda gurau.
Sesekali terdengar suara anak kecil bermain. Suaranya begitu nyaring, penuh kebahagiaan, dan cermin akrabnya pertemanan. Aura kebaikan terpatri dalam jiwa mereka, seperti layaknya tetua warga mendambakan mereka untuk menjadi penerusnya.
Tidak berselang lama, mobil pick up biru dengan suara bising mesin diesel lawas yang menyertainya datang dengan bak belakang dipenuhi berbagai varian jenis tanaman. “Selain resik kampung, nanti juga ada penanaman nyiur. Biar kampung ini kelihatan lebih hijau. Enak dipandang,” kata Kaminto.
Hampir ada 30 tanaman dengan jenis yang berbeda. Dari nyiur (kelapa), tanaman Kalpataru, tanaman Mahoni, tanaman Hokiantea, tanaman Ketepeng Lokal, tanaman Ketepeng Kebo, tanaman Kunto Bimo, tanaman Jangkang, hingga pohon Jati. Rencananya ditanam di sekitar masjid I’tikaf Al-Firdaus dan sepanjang jalanan kampung.
Usai penanaman nyiur, Kaminto memperlihatkan tanaman yang sudah ditanam satu tahun lebih dulu, tahun yang sama sejak warga Tambakrejo direlokasi ke rumah deret hunian (Kampung Nelayan Tambakrejo).
“Iki delok, mas. Apik-apik, ijo-ijo. (Ini lihat, mas. Bagus-bagus, hijau-hijau),” ujar Kaminto.
Acara Seremonial, Mengingat Luka Insidental
Grebek Kampung adalah perayaan rutin yang diadakan masyarakat Kampung Nelayan Tambakrejo guna memperingati peristiwa 1 tahun boyongan (pindahan) dari bedeng (hunian pasca penggusuran) ke rumah deret (tempat tinggal warga saat ini). Grebek Kampung sekaligus menjadi momentum warga Kampung Nelayan Tambakrejo dalam merefleksikan kembali kampung mereka di masa kini dan nanti.
Grebek Kampung digelar 3 hari, dari Selasa (01/02) hingga Kamis (03/02) yang berada di Kampung Tambakrejo RT. 06 RW. 16, Tanjung Mas. Tiga hari itu dihabiskan dengan rangkaian kegiatan yang monumental; dari kirab boyongan (pindahan), pengajian bersama, petengan dan nonton bareng film dokumenter, jagongan warga, hingga pentas seni.
Intinya, acara Grebek Kampung dihadirkan tidak hanya untuk memperingati satu tahun pindahan, justru menjadi refleksi perjuangan warga mengorbankan tenaga dan usaha dalam merebut kembali hak-hak mereka.
Hari menjelang petang (02/02), warga Kampung Nelayan Tambakrejo sudah ramai berkumpul di halaman depan masjid I’tikaf Al-Firdaus. Terlihat juga sekelompok aliansi-aliansi mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tidak terkecuali pers mahasiswa. Ada yang berdiri, ada yang duduk di kursi, duduk di tikar, ada juga yang duduk santai di mimbar masjid.
Gema pengeras suara berbunyi merdu, terletak di samping masjid. Di hadapan tempat duduk warga, terhidang makanan dengan segala lauk dan buah-buahan. Di ujung depan, terlihat Kaminto dengan beberapa tim pendamping siap memberikan sambutan kepada warga dalam helat selamatan dan tumpengan.
“Pada hari ini, kita terbukti bisa berkumpul bersama-sama,” ucap Kaminto melihat gelaran acara yang berjalan lancar dan disambut hangat oleh masyarakat umum.
Baca Juga: Kronologi Penggusuran Tambakrejo
Serupa dengan apa dikatakan oleh Widyo Babahe Leksono. Ia mengagumi dan membanggakan warga-warga Tambakrejo yang hidup guyub rukun.
“Pada acara ini, sudah satu tahun. Kita introspeksi, kita melihat ke belakang dulunya kita semacam apa, sekarang kita semacam apa, dan kita tatap Tambakrejo yang akan datang,” ujar Babahe lantang diiringi tepuk tangan dari warga.
Babahe, seniman tetua Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang turut mengupayakan hak dan akses warga Kampung Nelayan Tambakrejo, terlebih dalam bidang ekonomi. Kesejahteraan dan pendidikan anak-anak Kampung Nelayang Tambakrejo juga disorot, mengingat mereka generasi penerus masa depan.
Sambutan telah usai, ini menandakan acara berlanjut kepada pemotongan tumpeng. Diiringi dengan lagu sholawat yang dibawakan oleh grup banjari warga Tambakrejo sendiri, anak-anak kecil bergegas maju ke depan berebut pembagian makanan.
Suasana begitu hangat dan mengasyikkan. Warga bersama tamu undangan dengan lahap menikmati makanan olahan rumah warga Kampung Nelayan Tambakrejo. Sedang langit dengan gagah menampakkan mega merahnya, sebentar lagi magrib tiba.
Tambakrejo dan Satu Kata Saja
Maghrib telah usai. Warga kembali berkumpul di halaman depan masjid I’tikaf Al-Firdaus. Di ujung halaman, terpasang tenda dengan paket lengkap proyektor untuk nonton bareng. Film yang diputar bukan film mainstream untuk kebutuhan insight atau adsense, juga bukan film komersil untuk rating dan logika pasar.
Ini adalah film yang mengisahkan kehidupan setelah dan saat penggusuran rumah-rumah warga di Tambakrejo, Semarang Utara. Semua itu berasal dari normalisasi proyek besar-besaran Banjir Kanal Timur (BKT). Akibatnya, hak warga dirampas, akses terbatas, kehidupan mereka seketika enyah. Masa depan tidak bisa banyak diharapkan.
Di tengah asyiknya nonton film bareng, sesekali terdengar suara ibu-ibu ngobrol dengan tawa cekikan mengingat kejadian tahun lalu. Kejadian mengharukan sekaligus memantik perlawanan. Membayangkan bagaimana mempertahankan rumah mereka sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan, dekat dengan pesisir karena mayoritas mata pencaharian mereka adalah nelayan.
Usai merampungkan nonton bareng film dokumenter, warga Kampung Nelayan Tambakrejo melanjutkan dengan petengan. Merefleksi serta mengevaluasi kembali pengorbanan mereka memperjuangkan apa-apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Serta rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan mereka kekuatan untuk tetap menjadi warga Kampung Nelayan Tambakrejo yang tentram dan nyaman.
Baca Juga: Di Bawah Fly Over, Warga Tambakrejo Gelar Halal Bi Halal
Malam makin suntuk, air laut pun sudah mulai naik, halaman masjid I’tikaf Al-Firdaus semakin sepi. Warga mulai kembali ke rumah masing-masing untuk istirahat, sama dengan para relawan dan tamu undangan yang kembali pulang ke tempatnya masing-masing. Berbeda dengan Kaminto, Babahe dan warga lainnya yang masih asyik ngobrol di emperan masjid.
“Tetap, kita mengumpulkan warga, mengingatkan mereka untuk gotong royong,” ujar Babahe.
Pria berambut putih yang hampir tidak lepas menggunakan destar di kepalanya itu mengungkapkan kondisi warga yang mulai berbenah pasca penggusuran dari bedeng ke rumah deret hunian, baik secara fisik maupun non-fisik. Membangun kembali hubungan keluarga, juga hubungan dengan sesama warga.
Tambakrejo Berbenah dan Pasca Penggusuran
Warga Tambakrejo mayoritas adalah nelayan. Memanfaatkan lahan kosong yang ada untuk tambak ikan, udang, dan bandeng. Mereka juga mencari kerang untuk dijual ke luar, juga untuk santapan makan sehari-hari. Namun, kenyamanan mereka dengan segala sesuatu yang ada mulai terusik saat awal 2018. Di sini, titik kemarahan warga tersulut.
Pemerintah menggusur rumah mereka dengan dalih normalisasi Banjir Kanal Timur. Awalnya, ada himbauan untuk tidak mendirikan bangunan di sepanjang bantaran sungai. Lalu, turun surat peringatan 4×24 jam. Meski warga bersikeras menolak, masih saja dihiraukan oleh aparat keamanan. Tetap saja digusur dan diratakan.
Warga meminta dukungan ke Komnas HAM dan KPAI. Sampai pada akhirnya, jalan tengah dihasilkan setelah pemerintah melakukan mediasi dengan warga. Membangun rumah di sekitar bantaran sungai, persis bersebelahan dengan rumah mereka dulu yang sekarang sudah menjadi sungai Banjir Kanal Timur. Sebelumnya, mereka dibangunkan rusunawa yang terletak di Genuk, 20 kilometer dari lokasi warga. Namun, warga menolak. Mayoritas mereka adalah nelayan.
Kesepakatan itu juga diperjelas oleh Walikota Semarang, Hendrar Prihadi. Menanggapi kemauan warga yang tidak ingin rumahnya jauh dari mata pencahariannya, yaitu nelayan. “Mereka akan pindah beberapa meter dari lokasi yang mereka tempati sekarang.”
Respons pemerintah yang begitu cepat dalam menindaklanjuti kehendak warga Tambakrejo dinilai baik oleh sejumlah aktivis dan LSM. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, juga turut membantu mengusahakan tercapainya kehendak warga Tambakrejo.
“Iya. Deal. Kami akan kerjakan itu. Begitu sudah dikerjakan, teman-teman di sana. Saya minta tidak ada lagi, tidak ada apapun. Biar kalian nyaman,” jawab Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, menanggapi kehendak warga Tambakrejo yang menolak rusunawa di Genuk dan menginginkan deret rumah dekat pesisir.
Sebelum Nya, Rokhmadi turut menanyakan sikap pemerintahan yang kebijakannya tidak pro rakyat. “Warga di sini rata-rata kan nelayan, kalau dipindah ke rusunawa yang di sana (Genuk), mereka kerjanya bagaimana?,” ujar ketua RT. 06 tersebut.
Harapan, tempat nyaman ditempati masyarakat Tambakrejo sekarang hanya menginginkan dukungan. Dalam artian, kebijakan pemerintah untuk tidak memisahkan warga Tambakrejo dari pesisir. Cukup hanya itu. Perihal status legalitas tanah, biar diselesaikan dulu oleh pihak pemerintah dengan BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai).
“… memang statement awal (kebijakan menempati rumah hunian) dari pemkot Semarang, setelah menempati satu tahun awal katanya harus bayar. Tapi, kita juga tidak tahu untuk pembayaran seperti apa. Dan kami belum menerima surat edaran,” jelas Rokhmadi menanggapi status rumah deret hunian pemberian pemkot yang belum jelas legalitas hak miliknya.
Saat ini, warga Kampung Nelayan Tambakrejo mulai berbenah pasca penggusuran dua tahun yang lalu. Kalau kata Babahe, “Yang lalu biarlah berlalu. Saatnya kita menatap Tambakrejo untuk masa depan.” Kampung sudah mulai dibersihkan, ditata, dibentuk organisasi yang mewadahi, juga saling mendukung dan support antara satu dengan lain.
Harapan dan Jagongan Warga
Hari pertama, warga resik kampung dan menanam tumbuhan di sepanjang jalan dan sekitar masjid I’tikaf Al-Firdaus. Hari kedua, Grebek Kampung Nelayan diisi dengan selamatan-tumpengan, pengajian umum, dan nonton bareng film dokumenter. Hari terakhir, warga berkumpul di depan halaman masjid untuk melihat pentas seni yang dibawakan dari luar atau anak-remaja warga Tambakrejo. Malamnya, warga jagongan di sembari masjid sharing pengalaman dan harapan ke depan.
Beberapa warga ada yang tidak ikut. Terlalu asyik menikmati pagelaran pentas seni hingga lelah. Namun, obrolan malam itu tetap berjalan, mengalir akrab dan hangat. Terlebih ada suguhan camilan kacang dan kopi.
“Harapan Nya warga menempati ini (rumah deret hunian) dengan gratis. Artinya cuma-cuma lah. Itung-itung sebagai ganti rugi dulu rumah kami yang digusur, ujar Kaminto.
Diiringi gelap malam hari ke-3, Kaminto memulai ceritanya Kembali. Sebelum penggusuran warga bisa hidup aman dan nyaman, meski serba tidak berkecukupan. Bisa melaut untuk mencari udang atau kerang, untuk dijual dan uangnya bisa digunakan membeli kebutuhan rumah. Namun, saat adanya penggusuran, terjadi goncangan warga. Terlebih soal ekonomi dan mental-psikis anak-anak.
Kaminto menjelaskan porsi pemerintah, versi Petruk Gareng (tokoh wayang). “Pemerintah pun, kalau versi Petruk Gareng, nyuwun sewu ya, mas, tidak punya lahan. … hanya mengatasnamakan, sifatnya hanya mengatur. Bukan mempunyai hak. Tanah ini punya yang maha kuasa, kita pun nggak punya. Pemerintah hanya menata, mengatur,” jelas Kaminto diiringi raut muka yang sedikit kecewa.
Satu persatu secara bebas warga berbicara mengenai pengalaman hidup selama satu tahun di rumah deret hunian, juga membicarakan kejelasan seperti apa ke depan. Di tengah hangat jagongan malam warga, sesekali terdengar suara motor dari seberang jalan. Mereka hendak memancing, mungkin juga sekedar menikmati suasana malam di pesisir.
“Anak-anak sendiri, justru dengan kehadiran sampean-sampean (mahasiswa), bisa membangkitkan semangat anak-anak kami untuk menyekolahkan sampai tamat. Jadi antara anak dengan orang tua bisa connect,” ungkap Rokhmadi.
Dengan nada penuh harapan dan keyakinan, Rokhmadi melihat ada dorongan semangat belajar dari anak-anak. Perbedaan sangat terlihat dibidang pendidikan anak-anak sebelum digusur dan pasca digusur. Pasca digusur, banyak relawan datang termasuk mahasiswa, dan itu menjadi media semangat anak-anak untuk tetap melanjutkan pendidikan sampai akhir. Berbeda dengan sebelum penggusuran.
“… tidak ada yang putus sekolah. Kalau dulu kan ganti tahun baru, dari SD ke SMP sudah putus, dari SMP ke SMA sudah putus. Bahkan dari kelas satu SD sudah putus. Terus dengan adanya kami diberi fasilitas seperti ini dari Pemerintah Kota Semarang, malah berdampak banyak dari segi apapun,” jelas Rokhmadi.
Rokhmadi turut mengharap solidaritas warga dengan pihak-pihak luar. Terutama dari mahasiswa, karena melihat potensi mahasiswa mudah merekat dengan realitas masyarakat. Juga suara mahasiswa yang mudah menggema untuk mengontrol kebijakan pemerintah yang kadang seolah tidak pro dengan rakyat.
Hidangan camilan yang disediakan kian menipis, begitu juga minuman kopi yang mungkin satu kali putaran lagi sudah habis. Jagongan warga yang ditemani oleh tim pendamping dari berbagai LSM tetap berlanjut. Terlebih, tidak ketinggalan dengan harapan yang dilambungkan tokoh TBRS yang dituakan oleh lembaga swadaya masyarakat, Widyo Babahe Leksono.
“Keadaan kita sudah mulai membaik dibanding keadaan di bedeng. Ini adalah kesempatan untuk berkumpul dan memberdayakan warga. Terlebih anak-anak. Bagaimana ruang bermain atau ruang bertemu lebih dibanyakkan lagi,” tutur Babahe.
Baca Juga: Genap Satu Tahun Kampung Nelayan Berdiri, Warga Tuntut Ganti Rugi Tak Bersyarat
Memang, keadaan di bedeng tidak memungkinkan untuk berkumpul bersama. Apalagi dengan intensitas yang sering. Bedeng berlokasikan di bawah jembatan, memanjang hingga 1.600 meter. Maka, sulit untuk mengumpulkan massa. Kalau ada masalah di ujung, tidak bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik motor. Harus memakai kapal.
“Oh iya, ini PR saya (tim pendamping) untuk membuatkan dolanan anak. Seperti misal kemarin membawakan egrang dua pasang. Artinya, ini peluang kita untuk menciptakan publik yang lebih padu dan bersatu,” pungkasnya.
Obrolan berlanjut dengan masukan dari beberapa warga. Malam itu, kampung sepi, tidak ada gemuruh sound atau anak-anak bermain seperti sore hari. Sepi dan sunyi, tersisa obrolan warga yang masih berlanjut, ditemani suara roda kendaraan merayap di jalan raya, kegaduhan pelabuhan, serta sesekali deru kereta api dengan klaksonnya.
Grebek Kampung Nelayan boleh usai, namun tidak dengan kebersamaan perjuangan dan perlawanan yang harus dikumandangkan. Gugatan, audiensi dan advokasi harus tetap berjalan, namun dibarengi dengan refleksi dan evaluasi yang seimbang. [Ed/Red. IrchamM]
Di sini negeri kami, tempat padi terhampar, samuderanya kaya raya, tanah kami subur tuan. Bunda relakan darah juang kami, padamu kami berjanji.