Gempadewa Gelar Aksi Tolak Tambang Andesit Tanggapi Pengukuran dan Inventarisasi Tanah Tahap II

Doc/Gempadewa
Justisia.com – Ratusan warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) menggelar aksi bisu keliling desa yang berakhir di Kantor Kepala Desa Wadas, Kamis (14/7).
Aksi bisu ini menyusul tindakan pemerintah yang terus melakukan pengukuran tanah milik warga di Desa Wadas guna menjadi lokasi tambang batu andesit. Masyarakat wadas mengaku, aksi bisu ini dilakukan untuk merefleksikan masyarakat wadas yang sudah kehabisan kata-kata.
“Sudah belasan kali kami melakukan protes dan menempuh jalur hukum, tetapi pemerintah tidak pernah mendengarkan kami,” ujar Siswanto, salah seorang tokoh pemuda di Desa Wadas.
Anggota Gempadewa melakukan aksi bisu ini saat Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo melakukan inventarisasi dan identifikasi pengadaan tanah Desa Wadas Tahap II. Proses pengukuran terhadap tanah milik warga yang menyerahkan tanahnya untuk ditambang ini dilaksanakan sejak Selasa (12/7) hingga Jumat (15/7).
Lokasi tambang batu andesit sendiri akan mengambil tanah warga sekira 146 hektar pada perbukitan di Wadas. Batu itu akan digunakan untuk membangun Bendungan Bener yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terletak di Purworejo juga.
“Aksi ini adalah bentuk sikap kami bahwa masyarakat Wadas tidak takluk dengan uang ganti rugi, kami masih melawan rencana pemerintah menambang batu andesit di lahan pertanian milik kami,” tegas Siswanto.
Siswanto menjelaskan Gempadewa masih teguh menjaga alam Desa Wadas karena ingat dengan ajaran para kyai di Desa Wadas. Tambang itu merusak alam dan kewajiban menjaga alam itu harus dilaksanakan seperti kewajiban umat Islam menjalankan sholat.
“Sesepuh Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari pernah mengatakan petani itu adalah penolong negeri. Jika kami para petani di Desa Wadas tidak punya tanah lagi, maka kami tidak bisa menjalankan fungsi kami menolong negeri ini dengan memproduksi berbagai hasil pertanian,” tambahnya.
Sekira pukul 13.30, warga memulai aksinya dari Dusun Randu Parang, mereka berjalan menyusuri jalan desa dan berakhir di Kanor Desa Wadas. Para anggota Gempadewa yang terdiri dari pria dan wanita itu menutup mulutnya dengan lakban, simbol mereka sudah kehilangan kata-kata, bertopi besek, simbol tradisi perempuan Wadas yang akan hilang karena bambu sebagai bahan baku membuat besek akan punah akibat tambang, dan membawa bibit tanaman sebagai simbol konsistensi mereka menjaga alam.
Sedangkan Sulimah, seorang anggota Wadon Wadas menjelaskan uang yang ditempelkan di bagian muka ini adalah simbol bahwa alam sebagai karunia Allah itu tidak bisa diganti dengan uang.
“Kami tidak silau dengan uang ganti rugi miliaran rupiah sehingga tega merusak alam,” ujar Sulimah.
Selain itu warga juga membawa berbagai poster seperti ‘Wadas harus lestari’, ‘Cabut IPL Wadas,’ ‘Usut tuntas kasus kriminalisasi terhadap warga Wadas,’ dan masih banyak lainnya.
Sulimah mewakili Gempadewa menyatakan warga Wadas juga meminta agar aparat yang melakukan kekerasan terhadap warga Wadas pada 23 April 2021 dan 8 Februari 2022 diadili, meminta Gubernur Jawa Tengah agar menghentikan segala bentuk pengukuran dan berdialog dengan masyarakat Wadas.
“Kami minta Presiden Joko Widodo segera menyelesaikan kasus di Wadas,” tambahnya.
Setelah tiba di halaman Balai Desa Wadas, warga berdiam diri selama 10 menit. Enam perwakilan warga maju dan meletakkan bibit pohon di halaman sebagai simbol alam Wadas harus lestari. Sedangkan poster-poster mereka tinggal di sekitar balai desa, dengan harapan pemerintah membacanya. (Red.IrchamM)