Wadyabala ’20
Realita sosial menentukan kesadaran personal. Basis menentukan suprastruktur, dengan ekonomi sebagai basisnya. Kesesuaian pemahaman dan kenyataan. Ruang laboratorium, bukan ruang sidang. Tidak ada dominasi satu keyakinan perspektif tertentu terhadap keyakinan lainnya.

Semarang, Justisia.com – Kuhaturkan untuk segenap teman, sahabat, kawan, keluarga, mas dan mbak yang turut meramaikan tempat dan ruang diskusi kami.
Sebagai pejuang yang mendambakan kemenangan, pahlawan yang menunggu hari terang, pelajar yang gigih berusaha mencari kebenaran dalam jerami ke-tak benar-an, pemuda yang menginginkan kehidupan penuh pergumulan kebebasan, dan sebagai mahasiswa yang gandrung akan pengetahuan dan dialektika keilmuan: KITA MENANG DAN LAYAK BAHAGIA.
Realita sosial menentukan kesadaran personal. Basis menentukan suprastruktur, dengan ekonomi sebagai basisnya. Kesesuaian pemahaman dan kenyataan. Ruang laboratorium, bukan ruang sidang. Tidak ada dominasi satu keyakinan perspektif tertentu terhadap keyakinan lainnya.
Jangan terlalu melangit. Tetap membumi!!!
13 Agustus 2021
Adalah tanggal monumentil sekaligus sentimentil bagi kami. Beberapa pekan kedepan, genap 10 bulan kami menjalankan diskusi filsafat. Dari pembahasan filsafat dengan objek studi alam, hingga manusia sendiri sebagai subjek dan objek studi. Dalam dunia filsuf, pergeseran objek studi tersebut kerap disebut dengan Filsafat Naturalisme.
Terlihat sederhana dan tidak ada yang istimewa. Bagi kami, wadyabala Justisia 2020, suatu hal yang luar biasa dan kami layak mendapatkannya. Diskusi yang kian digelar sekali dalam sepekan bisa bertahan hingga hampir satu tahun. Terlebih di masa pelik seperti ini. Bertahan dengan minim partisipan jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
Materi diskusi filsafat terakhir adalah etika emansipatoris dan komunikatif Jurgen Habermas. Tidak ada yang mengira, merupakan suatu kebetulan yang tiada sangka.
Adalah fokus pembahasan mengenai komunikasi berbalut intersubjektif. Selama ini, materi itu adalah jawaban dari problem primordial kami. Saling memahami, saling mengerti, saling bertukar sapa, saling mendengar dan bercerita memang minim ditemui. Ya, karena jarang dan belum bisa bertemu secara langsung secara tatap muka bukan karena belum kenal.
Wadyabala, begitu sebutan yang disematkan oleh kakak tingkat kepada setiap insan yang tergabung dalam Justisia. Sebagai orang baru, sebutan itu terlihat keren juga asing. Beberapa sumber menyebutkan soal definisinya; bala tentara.
Keberanian, kebebasan, asing dengan istilah asa, pragmatis sekaligus tidak tak bebas nilai. Atau mungkin lebih tepatnya ini:
“Kami hanya butuh loyalitas, konsistensi, idealisme, dan orang yang siap dipenjara.” (Redaksi Justisia)
Tradisi tidak bisa begitu saja dilestarikan. Berpijak pada pemikiran Habermas, bahwa dalam tradisi kerap kali dijumpai benang otonomi dan intervensi. Kekuasaan dan kepentingan adalah biangnya. Dalam Justisia, kami terbentuk dalam kekeluargaan yang egaliter. Sama rata. Tidak ada istilah ‘senior’ dan ‘junior.’ Perbedaan hanya terletak pada tahun masuknya, selebihnya soal intelektual dan dialektika bisa diperjuang-tarungkan.
Atribusi yang disematkan kepada kami (baca: Wadyabala ’20) adalah Libertas. Bebas. Bebas berkarya, bebas berpikir, bebas berkreasi. Tidak ada paksaan, terlebih mengemis dengan hormat. Itu bukan kultur kami. Untuk apa memaksa orang melakukan sesuatu yang tidak ada interest dengan hal itu.
Kebebasan kerap digaungkan dan menjadi perbincangan hangat, akhir-akhir ini. Pun, saya kira, tidak ada manusia di muka bumi yang tidak ingin bebas. Mungkin, tidak ada tuntutan dan beban yang lebih bagi dirinya. Biarkan bebas, mengembara dan melanglang buana. Bebas dengan aturan, bukan bebas ugal-ugalan.
29 November 2020
Sebebas kita memahami dan memaknai suatu teks dan wacana. Tidak ada pembatasan apalagi eksklusivitas tertentu. Tidak ada larangan, tidak ada konsekuensi, tidak ada sanksi. Itu semua adalah bentuk upaya konservasi keanekaragaman dalam lanskap keberagaman. Kakak dan pendahulu begitu baik dan laik memberi ruang dan waktu kebebasan bagi kami.
Kalau kata guru Aliyah saya, “Pintu ijtihad masih terbuka lebar.”
Adalah peluang sekaligus pengantar bagi kami untuk memahami segala apa yang sudah dijelaskan, didiskusikan, dan dikonklusikan dalam forum diskusi. Dengan kapasitas dan perspektif beragam dari teman-teman dalam menerima dan menerjemahkan pembahasan diskusi, mengingatkan kepada “tidak ada kebenaran tunggal.”
Tanggal di atas adalah awal sejarah kepala kereta membawa gerbong panjangnya dengan komposisi yang mungkin bagi kepala kereta tidak tahu dan tidak perlu tahu, untuk menuju tempat berlabuh. Adalah tanggal di mana diskusi filsafat perdana digelar.
Masih lekat dan ingat, malam hari usai isya’, bertempatkan di kontrakan Justisia, kami memulai diskusi filsafat pemikiran Aristoteles dan Anaximendres. Dengan duduk melingkar dan dipandu Pimpinan Umum (PU) waktu itu, Ali Masruri, semangat dan atensi kami dalam belajar merasa ditampung dalam forum itu.
Tidak paham. Merasa gila. Stress. Insecure. Ada niatan patah semangat dan putus asa. Bingung. Ini materi apa. Bahaya atau tidak. Mendengarkan sambil melamun. Pura-pura paham padahal mau tanya tapi malu. Setelahnya, merasa mual dan mungkin saja tertawa sendiri tanpa sebab akibat cekokan pemikiran dan pembacaan tokoh filsuf yang masih asing di telinga.
10 bulan berlalu, kami selesaikan gelaran diskusi filsafat dengan penuh canda dan haru. Tidak ada yang patut dibanggakan kecuali ketekadan, ketekunan, keuletan, dan segala jenis bentuk usaha dan upaya yang menyertai diskusimu. Selamat Mengembara, Melanglang Buana, Dan Jangan Lupa Bahagia. [Red. Musyaffa’]