Tradisi Tahlilan sebagai Manifestasi Nilai Sosial-Keagamaan Masyarakat Dusun Kluwak

Dalam bermasyarakat, interaksi sosial menjadi suatu keharusan yang selalu dilakukan dalam kehidupan. Interaksi sosial sebagai media untuk saling mengenal, mengetahui dan memahami bagi suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Tujuannya untuk melakukan komunikasi sosial yang saling memberikan kemanfaatan. Belum lagi kehidupan sosial masyarakat tidak bisa lepas dari perkembangan zaman. Kehidupan sosial kemasyarakatan semakin bergeser kepada acuh tak acuh terhadap tetangganya, lebih mementingkan dirinya, sedikit rasa kasih sayang antar sesama, simpati dengan orang lain lebih rendah darinya, tolong menolong sesama masyarakat sudah berkurang, bahkan nilai-nilai keagamaan semakin memudar. Kondisi ini terjadi seiring dengan perkembangan zaman yang menjadikan kehidupan penuh kesenangan dan mempunyai tujuan untuk hidupnya sendiri, terutama budaya masyarakat perkotaan yang cenderung individual.
Gaya hidup dan sosial kemasyarakatan di pedesaan sudah mengalami berbagai pergeseran yang mengarah kepada dinamika kehidupan masyarakat perkotaan. Program perumahan yang sudah merambah ke daerah pedesaan dengan membawa budaya dan kultur perkotaan, yaitu hidup individual atau secara sendiri-sendiri meskipun sekelilingnya banyak tetangga, hidup secara mandiri dan tidak pernah interaksi dengan sekitarnya, dan berbagai pola kehidupan yang sudah bergeser kepada paradigma pragmatisme masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah penyegaran dan penguatan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satunya dengan cara kegiatan rutinan tahlilan yang diadakan secara konsisten dalam masyarakat tertentu.
Rutinan tahlilan merupakan tradisi yang terus dilakukan bagi masyarakat terutama pedesaan. Selain sebagai sarana interaksi sosial dalam bermasyarakat, juga sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah karena mengandung nilai-nilai keagamaan sebab di dalamnya terdapat bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, kalimat-kalimat tauhid, takbir, tahmid, istighfar dan sholawat. [1] Dalam hal ini penulis memilih Dusun Kluwak, Desa Gonoharjo, Kec. Limbangan, Kab. Kendal sebagai bahan pengamatan karena Penulis KKN di desa tersebut. Penulis menilai masyarakat Kluwak sangat kompak dan berantusias dalam mengikuti berbagai kegiatan, terutama yang berhubungan dengan sosial keagamaan.
Kegiatan Sosial Keagamaan di Kampung Kluwak.
Dusun Kluwak merupakan dusun / sebuah kampung yang memiliki karakter yang menonjol dibandingkan dengan kampung lainnya karena masyarakatnya yang terkenal agamis. Lingkungan serta masyarakatnya sangat rajin dan antusias dalam mengikuti berbagai kegiatan yang bersifat keagamaan. Terbukti di kampung ini terdapat banyak kegiatan sosial keagamaan, seperti rutinan tahlilan dan diba’an, baik yang dilakukan oleh bapak-bapak, ibu-ibu, maupun pemuda-pemudi desa tersebut. Selain itu masyarakat kluwak mempunyai jiwa sosial yang tinggi sehingga mereka sangat ramah dan sopan santun terhadap sesama, apalagi terhadap mahasiswa KKN mereka sangat menyambutnya. Hal itu dikarenakan masyarakat Kluwak masih erat mempertahankan budaya lokal seperti tolong menolong dengan tetangga yang mengalami kesusahan atau tertimpa musibah, saling gotong royong dalam suatu pekerjaan serta tanggung rasa dan keyakinan terhadap Allah sangat kuat.
Di Dusun Kluwak terdapat berbagai macam kegiatan sosial keagaman yang bersifat rutinitas atau dilakukan secara konsisten. Diantaranya; pertama, tahlilan yang diikuti oleh bapak-bapak masyarakat Kluwak yang dilaksanakan bakda maghrib setiap malam Jumat. Kegiatan ini rutinitas setiap seminggu sekali yang ditempatkan secara bergilir di setiap rumah warga secara bergantian. Sebelum acara biasanya tuan rumah mempersiapkan nama-nama arwah yang akan disebut dalam pembacaan tahlil agar diampuni dosa-dosanya. Tahlilan ini dilakukan secara duduk melingkar dengan membaca ratib tahlil dalam suasana yang khusyuk. Setelah itu baru diberi minuman teh dan makanan berupa nasi serta lauk. Selanjunya diberi hidangan pencuci mulut seperti semangka, salak, kacang, pisang goreng, dan lain-lain.
Kedua, diba’an yang diikuti para pemuda Kluwak setiap malam kamis habis Isya. Kegiatan ini juga dilakukan secara bergilir di setiap rumah pemuda Kluwak. Bedanya dengan tahlilan, kalau diba’an merupakan sebuah tradisi membaca atau melantunkan sholawat Nabi Muhammad sebagai wujud mahabbah atau cinta kita kepada beliau. Setelah pembacaan diba’ selesai tak lupa juga dikasih hidangan oleh tuan rumah. Acara ini biasanya diisi dengan rapat untuk membahas hal-hal seputar kegiatan KOMPAK. KOMPAK (Komunitas Pemuda Kluwak) merupakan sebuah komunitas perkumpulan bagi pemuda-pemudi warga Kluwak, atau biasa disebut sebagai karang tarunanya dusun Kluwak.
Ketiga, diba’an yang dilakukan rutin di Masjid Markazul Ulum, Dusun Kluwak setiap malam senin bakda isya. Bedanya dengan diba’an yang dilakukan pemuda Kluwak, kalau diba’an ini dilaksanakan untuk umum di Masjid sebagai titik sentral keagamaan. Biasanya para warga menyediakan aneka jajanan untuk disumbangkan di Masjid sebagai hidangan. Keempat, istighosah di Masjid Markazul Ulum, Kluwak yang dilaksanakan secara rutin setiap malam Jumat bakda isya. Jadi, kegiatan di dusun Kluwak setelah acara tahlilan bapak-bapak dilakukan bakda maghrib, maka bakda isya dilanjutkan dengan kegiatan pembacaan istighosah di Masjid. Istighosah merupakan doa bersama meminta pertolongan kepada Allah dengan disertai bacaan-bacaan ayat Al-Qur’an dan dzikir-dzikir tertentu.
Kelima, Pengajian Kitab yang dilaksanakan secara rutin setiap malam selasa bakda isya yang bertempat di rumah KH. Muhaimin. Pengajian ini diampu oleh KH Muhaimin sendiri, beliau merupakan Kyai atau tokoh agama di dusun Kluwak. Pengajian untuk umum ini biasanya berisi nasehat-nasehat keagamaan yang bertujuan menambah wawasan dalam ilmu agama sekaligus menjadi pengingat dan untuk meningkatkan keimanan. Keenam, Pengajian ibu-ibu setiap Jumat siang. Pengajian ini dimulai pukul satu siang dan berakhir bakda ashar. Di dalamnya berisi nasehat keagamaan yang disampaikan oleh tokoh masyarakat yang ditujukan kepada ibu-ibu. Nasehat ini sangat berguna karena menjadi pengingat tenang akhirat dan sarana untuk menambah keimanan. Selain itu, tuan rumah juga menyediakan hidangan untuk para tamunya.
Ketujuh, Rutinan diba’an selama bulan Maulid di Masjid Markazul Ulum, Kluwak. Kegiatan ini rutin dilakukan setiap hari setelah isya yang dimulai tanggal 1 Rabiul Awal hingga puncaknya pada tanggal 12 Rabiul Awal. Di situ biasanya membaca kitab diba’ atau al-barzanji yang berisi sejarah dan sholawat Nabi Muhammad. Acara ini biasanya diiringi dengan lagu-lagu sholawat dan terbang yang menjadikan suasana semakin meriah. Usai acara, terdapat aneka ragam jajanan atau hidangan yang telah disiapkan warga sebelumnya.
Kedelapan, Rutinan diba’an yang diikuti ibu-ibu Dusun Kluwak. Acara diba’an yang diikuti oleh ibu-ibu ini dilaksanakan setiap hari setelah Ashar selama bulan Maulid. Adapun tempatnya dilakukan secara bergilir di setiap rumah ibu-ibu yang mengikuti diba’an. Meskipun tanggal 12 Rabiul awal sudah lewat, ibu-ibu tetap melanjutkan diba’an hingga gilirannya habis semua. Poin ketujuh dan kedelapan ini dilaksanakan semata-mata sebagai wujud cinta masyarakat Kluwak sebagai umat Nabi Muhammad yang berbahagia dan bersyukur atas kelahiran beliau. Bagi warga kluwak, diba’an yang dilakukan selama bulan maulid ini dapat menambah mahabbah atau kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad dan mengharapkan syafaatnya kelak di hari kiamat.
Selain kegiatan sosial keagamaan yang telah disebutkan di atas, ada juga kegiatan senam pagi untuk ibu-ibu yang dilaksanakan rutin setiap sabtu pagi. Dilihat dari kegiatannya saja sudah Nampak jika Dusun Kluwak adalah kampung santri. Hal itu dikarenakan masyarakat Kluwak sangat agamis. Sebagaimana pengamatan penulis selama KKN di dusun Kluwak ini, mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani gula aren sebab daerah tersebut merupakan pegunungan dengan banyak tumbuhan aren. Jadi, selain masyarakat beraktifitas kesehariannya, mereka juga menyempatkan waktunya untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial keagamaan yang telah disebutkan di atas. Sehingga selain untuk mengharap ridho Allah juga dapat menjadikan masyarakat Kluwak berjiwa sosial yang tinggi karena di berbagai kegiatan tersebut menjadi sarana bersedekah dan berkumpul untuk mempererat tali persaudaraan.
Meskipun kegiatan keagamaan di dusun Kluwak ini macam-macam bentuknya, seperti tahlilan, diba’an, pengajian, namun yang penulis tonjolkan di sini adalah tahlilan. Sebab semua kegiatan tersebut intinya adalah sama, yaitu sama-sama sebagai tradisi masyarakat Islam khususnya NU yang senantiasa dijalankan secara rutin, baik untuk mengharap ridho Allah maupun sebagai momen untuk berinteraksi sosial dengan sesama. Dalam hal ini penulis melakukan sebuah pengamatan mengenai kegiatan sosial keagamaan yang ada di Dusun Kluwak, lalu menganalisisnya dengan berbagai teori, baik ditinjau dari teori keagamaan (Islam), maupun teori sosiologi.
Konsep Tahlilan dalam Masyarakat Jawa Islam.
Menolak stigma negatif dari kaum konsevatif terhadap tahlilan, maka kiranya perlu memunculkan kembali nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya. Tradisi tahlilan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Islam Jawa. Sejarah tahlilan sendiri tidak terlepas dari Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan akulturasi. Hal ini diperkuat metode dakwah Sunan Kalijaga yang menyebarkan ajaran Islam melalui proses kultural, yang secara bersamaan membentuk nilai-nilai etis kemasyarakatan yang bersumber dari ajaran Islam.[2]
Berdasarkan aspek historis ini, maka tradisi tahlilan muncul bersamaan dengan awal mula masuknya Islam di tanah Jawa. Sehingga tradisi tahlilan merupakan hasil akulturasi antara agama pribumi dengan agama Islam yang dilakukan oleh Walisongo dalam memahami kondisi masyarakat Indonesia melalui pendekatan budaya.[3] Masyarakat Jawa pada tempo dulu dalam melakukan ritual-ritual masih bernilai negatif seperti mengirim sajen ke dayangan desa, meminta pesugihan, meminta bantuan gaib dan lain-lain. Islam datang ke tanah Jawa tidak serta merta menghilangkan adat tersebut, melainkan memasukkan nilai-nilai keislaman ke dalamnya, meskipun adat kebiasaannya masih berjalan.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan-kegiatan yang kontradisksi dengan agama Islam semakin memudar. Tahlilan muncul sebagai sarana yang efektif untuk merubah kebiasaan negatif yang dilakukan oleh masyarakat.[4]. Dengan begitu, tradisi tahlilan bukan lagi sebuah kemusyrikan sebab sajennya dihilangkan. Justru akan bernilai pahala karena di dalamnya terdapat bacaan ayat-ayat Al-Qur’an dan Shalawat Nabi. Belum lagi di situ terdapat penyajian makanan untuk dihidangkan kepada semua tamu, tentu akan menjadi sarana dalam bersedekah. Bahkan dengan adanya tahlilan akan mempererat tali persaudaraan sesama muslim. Sebagaimana yang terjadi di Kluwak, pada umumnya masyarakat di sana sangat ramah dan mempunyai jiwa sosial yang tinggi kepada yang lain. Contoh kecil saat berpapasan di jalan saja, mereka saling sapa antara satu dengan yang lain
Dalam dakwah Islam, kita hanya mengambil nilai-nilai Islam, tanpa harus menghilangkan budaya setempat, yaitu dengan cara memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat serta menghilangkan kebiasaan negatifnya. Sehingga dapat dikatakan, kita tidak mengambil budaya Arab, tetapi mengambil nilai-nilai keislaman dengan tetap memakai budaya kita sendiri. Mengadopsi apa yang layak dalam tradisi untuk dikembangkan demi kepentingan yang dibutuhkan pada masa kini dan masa depan merupakan salah satu langkah yang pragmatis. Oleh karena itu Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, yaitu agama rahmat untuk semua penjuru dunia.
Tradisi tahlilan yang terdapat di kampung Kluwak mempunyai nilai sosial keagamaan sebagai sarana penyejahteraan masyarakat. Tradisi tahlilan yang ada di Kluwak ini diharapkan menjadi wadah alternatif interaksi sosial guna menciptakan masyarakat yang damai dan penuh akan kerukunan sekaligus menjadi sarana saling berbagi dan tahlilan menjadi bentuk tradisi keislaman di lingkungan masyarakat yang eksis hingga sekarang. Di dalamnya terdapat dua temuan yaitu; pertama, sebagai tradisi keagamaan yang mengajarkan ketentraman antar anggota masyarakat sekaligus sebagai sarana bersedekah. Kedua, sebagai semangat keislaman masyarakat yang di dalamnya membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, tahlil, istighosah, serta Sholawat Nabi.
Secara umum, tahlil dapat dikatakan sebagai upacara keagamaan (Islam) yang di dalamnya terdapat bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, tahmid, tasbih, tahlil, istighfar serta Solawat Nabi yang mana pahalanya ditujukan kepada arwah yang sudah meninggal dengan harapan agar mendapat kenikmatan di alam kubur dan diamuni dosa-dosanya. Disebut tahlil karena di dalamnya terdapat bacaan tahlil, yaitu “Laa ilaaha ilallaah” yang diulang-ulang. Tahlilan ini sebagai suatu cara efektif untuk menambah keimanan seorang muslim sebab di dalamnya terdapat kalimat tauhid disertai istighfar. Jadi sangat mustahil jika ada Sebagian orang yang mengatakan bahwa tahlilan sebagai perbuatan musyrik. Logikanya, orang yang berusia puluhan tahun saja hidup dalam kekafiran saja di akhir hayat mengucapkan kalimat syahadat tauhid, maka dosanya selama kekafirannya gugur dan otomatis masuk Islam. Apalagi kita yang dari lahir sudah memeluk Islam, dan sudah berkali-kali mengucapkan kalimat tauhid, tentu jika melakukan tahlilan tidak dapat dikatakan musyrik, tetapi justru dapat memperkokoh keimanan.
Tradisi tahlilan mempunyai nilai positif terhadap masyarakat. Secara tidak sadar nilai-nilai tersebut tertanam dan mengakar kuat di masyarakat. Contohnya dari sisi batin tahlilan dinilai mampu menjadi sarana ibadah dengan cara berdizikir karena dalam diri manusia dzikir dipercaya dapat menenangkan hati seorang hamba karena hubungannya dengan Tuhan.[5] Disamping kegiatan sehari-harinya disibukkan dengan urusan duniawi, dengan adanya rutinitas tahlilan membuat masyarakat Kluwak meluangkan waktunya untuk beribadah. Manfaat dari tahlilan salah satunya bisa menyadarkan seseorang untuk meningkatkan spiritual keislaman. Bahkan menjadi media utama agar warga tergerak, maka tradisi rutinan tahlilan tentu menjadi sarana strategis dalam keberlangsungan dakwah bagi umat islam.[6] Maka dari itu syiar Islam akan terus berkembang dan tertanam kuat di hati masyarakat meskipun selalu berhadapan dengan perkembangan zaman.
Konsep Tahlilan Perspektif Sosiologi.
Tahlilan memiliki dua fungsi, pertama hablun minallah dan kedua hablun minannas. Tradisi ini menjadi ritual keagamaan yang sering dilakukan oleh masyarakat Dusun Kluwak. Dari aspek sosial, tahlilan mempunyai nilai-nilai kerkunan dan saling berbagi antar masyarakat karena disitu disediakan hidangan makanan untuk para tamunya. Dalam hal ini rutinan tahlilan menjadi sarana dalam menjalin hubungan silaturrahmi antar masyarakat yang tercipta suatu kerukunan dan kedamaian antar anggota masyarakat Dusun Kluwak. Hal itu dkarenakan dengan adanya acara rutinitas tahlilan secara tidak langsung sebagai sarana bersedekah, serta menjadi sarana berkumpul antar anggota masyarakat yang mewujudkan kerukunan antar masyarakat.[7]
Menurut Durkheim, ritual keagamaan sesungguhnya akan memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk meneguhkan komitmen mereka kepada komunitas untuk mengingatkan bahwa dalam keadaan apapun, diri mereka akan selalu bergantung kepada masyarakat.[8] Tahlilan sebagai ritual keagamaan mengingatkan masyarakat terhadap pentingnya hidup berkelompok di masyarakat. Manfaat dari tahlilan mempunya nilai sosial, yaitu mengikat tali persaudaraan antar sesama. Robbin William mengemukakan nilai sosial adalah nilai yang menyangkut kesejahteraan bersama, sehingga nilai-nilai sosial dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai tersebut mewujudkan kerukunan dan kekeluargaan antar anggota masyarakat di lingkungan Dusun Kluwak. Tradisi tahlilan merupakan local wisdom yang harus dilestarikan demi kemanfaatan dan kebajikan.
Dilihat dari sisi manajemen, jamaah tahlilan sebagai the dinamyc local group, yaitu kelompok sosial keagamaan yang bersifat dinamis berada pada wilayah lokal RT, kampung, dusun, komunitas tertentu apabila potensinya dapat ditingkatkan, akan mempunyai peran lebih luas sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Tahlilan di dusun Kluwak menjadi media penyampaian informasi yang berkaitan dengan kepentingan lingkungan masyarakat. Selain itu, tahlilan menjadi sarana dalam meningkatkan spiritual keagamaan masyarakat yang bertujuan untuk mengoptimalkan dan mengisi kegiatan yang bernafaskan Islam di masyarakat, sekaligus sebagai wadah dalam mempererat tali persaudaraan.
Tahlilan Di Era Milenial.
Tahlilan di era milenial adalah semacam tantangan, di mana keadaan saat ini membawa dampak yang signifikan terhadap keberlangsungan tahlilan itu sendiri. Tantangan tersebut terjadi di era kemajuan teknologi yang berdampak besar pada masyarakat perkotaan. Kemajuan teknologi menjadikan seseorang sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak terlalu peduli dengan orang lain. Sikap individualis ini umumnya terjadi pada masyarakat perkotaan, yang berbeda dengan masyarakat pedesaan yang sering melakukan interaksi sosial dengan sesama.
Secara umum, kegiatan sosial keagamaan masyarakat pedesaan lebih religius dalam pengamalan ajaran agama, karena tingkat masyarakat desa lebih tinggi daripada masyarakat kota.[9] Hal ini berhubungan dengan tahlilan yang berada di Dusun Kluwak, meskipun memasuki era modern tetapi tradisi tahlilan masih mengakar kuat di masyarakat. Kesakralan dalam tahlilan tidak memudar dalam kehidupan masyarakat Dusun Kluwak dan tidak ada pengaruh dari kemajuan zaman. Durkheim mengatakan etika religius dikembangkan dalam kepercayaan yang bersifat sacral.[10]
Meskipun memasuki era milenial, tahlilan tidak luntur terbawa kemajuan zaman. Hal itu tampak mayoritas masyarakat Kluwak tidak membawa handphone dalam acara tahlilan / diba’an / khataman, tetapi mereka lebih mementingkan kesakralan tahlilan agar tidak mengganggu kekhusyukan. Sehingga dari dulu hingga sekarang masih kental dengan kesakralan tradisi tersebut. Masyarakat Klwak menaati segala peraturan sosial. Kerukunan antar warga tetap terjalin berdasarkan dengan partisipasi mereka terhadap acara tahlilan yang mayoritas hadir. Kehadiran anggota masyarakat terhadap tahlilan masih dilakukan karena Dusun Kluwak merupakan daerah pedesaan yang masih kental dengan tradisi keagamaan.
Kesimpulannya, masyarakat dusun Kluwak merupakan masyarakat yang dikenal sangat agamis dan mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Sebagaimana pengamatan penulis selama KKN di dusun Kluwak, di sana terdapat banyak sekali kegiatan yang berbasis sosial-keagamaan. Kegiatan tersebut bervariasi, ada tahlilan, diba’an dan pengajian, baik yang dilakukan oleh bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda-pemudi ataupun untuk umum masyarakat kluwak. Kegiatan sosial keagamaan ini mempunyai fungsi ganda, pertama hablun minallah dan kedua hablun minannas. Selain untuk meningkatkan keimanan dan mengharap ridho Allah, kegiatan ini juga dapat menjadi media untuk interaksi sosial antarmasyarakat Kluwak. [Red/M2]
Penulis merupakan anggota KKN RDR 77 UIN Walisongo Semarang, Kelompok 139
[1] Sefti Khusnul Qotimah, Tesis: Strategi Dakwah NU Dalam Membangun Mental dan Karakter Masyarakat Melalui Pengajian Yasin dan Tahlil, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Pascasarjana IAIN Tulungagung, 2019, hlm. 1-2.
[2] Sunyoto, A. (2017). Atlas Walisongo. Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN dan LESBUMI PBNU.
[3] Warisno, A. (2017). Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturrahmi. Jurnal RI’AYAH, 2(2), 69–79
[4] Fauzi, M. I. (2014). Tradisi Tahlilan Dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosial Kultural). Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah, dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta.
[5] Khadiantoro, N. (2017). Penerimaan Tradisi Tahlilan Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Sukaraja Lor Banyumas. Jurnal Pendidikan Sosiologi, 6(7), 1-16.
[6] Anies, M. (2009). Tahlil dan Kenduri: Tradisi Santri dan Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
[7] Amma Muniri, Tradisi Slametan: Yasinan Manifestasi Nilai Sosial-Keagamaan Di Trenggalek, Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Vol. 6, No. 2, Juni 2020, hlm. 77.
[8] Zainal, A. (2014). Sakral dan Profan dalam Ritual Life Cycle: Memperbincangkan Fungsionalisme Emile Durkheim. Jurnal Al-Izzah, 9(1), 61-71.
[9] Suma, M. I. (2014). Dinamika Wacana Islam. Jakarta: Nagamedia.
[10] Bustanuddin, A. (2016). Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.