Toleransi Semu: Jalan Panjang Menuju Inklusifitas Keberagaman

Perempuan yang akrab disapa Fia itu menegaskan, dalam menulis berita atau produk jurnalisme lain, yang berkaitan dengan masyarakat rentan, atau kelompok minoritas, kita harus memahami betul siapa mereka.

Toleransi Semu: Jalan Panjang Menuju Inklusifitas Keberagaman

Semarang, Justisia.com – Diskusi Publik dan Peluncuran buku ‘Asa Yang Takkan Padam’ dengan tema “Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas KBB” yang diinisiasi oleh HRWG (Human Right Working Grup) bekerja sama dengan Sobat KBB dan Tifa Foundation digelar secara online via zoom meeting pada Rabu, (20/10/2021).

Buku yang ditulis oleh dua belas anak muda dari berbagai komunitas itu adalah upaya refleksi dan langkah pemulihan diri bagi anak muda korban dan penyintas diskriminasi kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Konflik yang paling kentara adalah konflik dalam toleransi semu, seakan-akan mereka memberi ruang tapi disisi lain mereka pun juga membatasi gerak, bahkan dalam konteks berkeyakinan.” ujar narasumber pertama, sekaligus salah satu penulis buku ini, M. Masrofiqi.

Pada kesempatan yang sama, ketua Majelis Luhur Penghayat Kepercayaan Ponorogo atau disebut (MLKI) itu juga menyayangkan masalah lama yang tidak kunjung selesai, bahkan pasca putusan MK terkait judicial review pasal 61 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan yang berhasil diperjuangkan oleh penghayat kepercayaan, pemerintah masih saja saling lempar tanggung jawab ihwal pengurusan KTP.

“Ada misunderstanding di sini. Kalau kita lihat, birokrat-birokrat kita pun tidak sepenuhnya paham terhadap produk undang-undang atau produk legal yang ada di negara kita sendiri,” ujarnya.

Webinar Nasional yang dimoderatori oleh Alysa dan Omen Bagaskara dari HRWG dan Sobat KBB ini juga menghadirkan narasumber lain, yang juga salah satu penulis dari buku tersebut, yaitu Fia Maulidia dari LPM Justisia.

Perempuan yang akrab disapa Fia itu menegaskan, dalam menulis berita atau produk jurnalisme lain, yang berkaitan dengan masyarakat rentan, atau kelompok minoritas, kita harus memahami betul siapa mereka.

Dalam konteks Umat Baha’i, subjek yang diangkat dalam tulisan perempuan berjilbab abu-abu itu, sudah seharusnya para jurnalis, maupun pers mahasiswa tidak menempatkan mereka sebagai korban, sebagaimana media mainstream biasa mewartakan.

“Jangan posisikan mereka sebagai korban. Mereka berdaya atas dirinya sendiri, tetapi aksesnya yang tidak ada,  itu yang seharusnya menjadi fokus perhatian kita,”

Mahasiswi semester lima itu juga menyampaikan bagaimana framing media mainstream yang sering memberitakan kelompok minoritas secara tidak adil.

“Budaya jurnalisme kita jauh dari kata ideal, hanya clickbait sehingga mengabaikan disiplin verifikasi, akibatnya, mereka yang sudah menjadi korban, akan menjadi korban untuk kedua kalinya karena pemberitaan yang tidak adil.” Tegas perempuan 20 tahun itu.

Acara ini diharapkan dapat menjadi medium yang bisa menyatukan jejaring sobat KBB, HRWG, dan Tifa Foundation untuk meningkatkan daya juang dalam merawat nafas panjang untuk mewujudkan toleransi keberagaman yang inklusif. [Red/M2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *