Tolak Surat Pengumuman WR II tentang UKT, DEMA dan SEMA FSH Gelar Diskusi
Aghisna mengatakan bahwa yang menjadikan persoalan UKT ini tak pernah selesai karena mahasiswa tak pernah tahu tentang data transparansi dana UKT yang dibayarkannya tiap semester dialokasikan untuk apa saja.

Credit of Justisia
Semarang, justisia.com – Menyoal Pengumuman Nomor: B-2478/Un.10.0/R.2/DA.02.01/06/2021 yang dikeluarkan WR II pada Senin 28/06 tentang Pembayaran UKT/SPP Mahasiswa UIN Walisongo Semester Gasal Tahun Akademik 2021/2022, Dema dan Sema Fakultas Syariah dan Hukum Walisongo bersama organisasi kemahasiswaan gelar diskusi via aplikasi G-Meet pada Rabu (30/6) Pukul 19.30 WIB.
Sebelumnya Dema dan Sema Fakultas Syariah dan Hukum menyatakan penolakan atas surat pengumuman tersebut.
Salah satu poin penolakan yang tercantum dalam press release Dema dan Sema sebab dalam diktum nomor 5 tentang keringanan UKT/SPP hanya berlaku bagi mahasiswa yang mendapatkan keringanan pada semester genap tahun 2020/2021. Artinya, mahasiswa yang tidak mendapatkan keringanan pada semester genap tahun 2020/2021, tidak akan mendapatkan keringanan UKT pada semester gasal tahun 2020/2021.
“Karena ada klausul yang menyatakan bahwa yang mendapatkan keringanan UKT pada semester gasal hanyalah mereka yang mendapatkan keringan UKT pada semester genap, maka hal inilah yang kita soroti kali ini”, ujar Aghisna, mantan ketua Umum Sema PTKIN 2020.
Menurut Aghisna, isu UKT ini menjadi persoalan yang dari tahun ke tahun tak pernah menemui titik terangnya.
“Setiap semester, setiap tahun ajaran baru datang, kita mengawal isu UKT tapi tidak pernah gol”, ungkapnya.
Aghisna juga mengatakan bahwa yang menjadikan persoalan UKT ini tak pernah selesai karena mahasiswa tak pernah tahu tentang data transparansi dana UKT yang dibayarkannya tiap semester dialokasikan untuk apa saja.
“Sering kita bicara UKT tapi kita lemah pada data. Data yang membicarakan soal rincian UKT digunakan untuk apa saja, dari angkatan lima tahun terakhir tidak ada yang pegang”, kata Aghisna.
Berkali-kali aksi yang telah digelar Aliansi Mahasiswa Walisongo pun yang salah satunya menuntut transparansi dana UKT, kata Aghisna, tak pernah dituruti.
Selain itu, Aghisna turut mempertanyakan pula tentang kuota UKT per-golongan apakah sesuai dengan fakta di lapangan atau tidak.
“Misalnya, seharusnya UKT golongan satu (Rp. 400.000) 5 persen tapi dalam realitanya cuman 3 persen, ini kan bisa kita jadikan kartu AS untuk membongkar persoalan UKT ini. Tapi kan kita nggak punya”, terang Aghisna.
Selain itu, Fathul Munif Koordinator Sosial Politik Dema UIN Walisongo yang hadir sebagai pemantik dalam diskusi bertema “UKT Tinggi di Masa Pandemi, Ke Mana Saja Uang yang Kita Bayarkan?” menyampaikan hasil kuisioner yang menyatakan bahwa terdapat 632 mahasiswa UIN Walisongo Semaramg yang terancam cuti pada semester gasal besok.
Mengutip data yang diperoleh dari kuisioner yang disebar Dema-U, terdapat salah satu mahasiswa yang orang tuanya berpenghasilan sebulan Rp. 500.000, menghidupi tiga anak, mendapatkan UKT sebesar Rp. 4.000.000.
Munif juga menuturkan ketika dirinya menemui Wakil Rektor II bersama Presiden Dema U Azmi Ali, dan Mufin Dema FPK untuk mencarikan jalan alternatif agar bisa menihilkan angka cuti mahasiswa pada semester ganjil besok, justru diminta buat bersabar.
“Ya bersabar, tinggal cuti dan kuliah semester depannya (lagi)”, tutur Munif menirukan WR II.
Menurut Munif, hal ini membuktikan bahwa UIN Walisongo tidak ramah terhadap mahasiswa yang kurang mampu dan telah mengabaikan konstitusi UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi Pasal 76 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturam akademik”. (Red/Khasanah)