Ritual Malam 1 Suro di Traji Temanggung : Mengapa Harus Dipercaya?
Malida inayati selaku warga Desa Traji mengungkapkan bahwa ritual ini adalah ritual yang wajib dilakuakan setiap tahun, masyarakat traji sendiri percaya jika ritual sendang sidukun tidak dilakukan masyarakat traji akan terkena bencana besar

Sumber foto : https://twitter.com/zainalmakhasin/status/1043857027594768399?s=20
Semarang, justisia.com – Pada malam tahun baru hijriah atau biasa dikenal dengan malam 1 bulan Suro (Muharram) tepatnya di Desa Traji, Parakan Temanggung ada sebuah ritual yang dinamakan dengan Ritual Sendang Sidukun.
Ritual Sendang Sidukun ini dilakukan di Desa Traji Parakan Temanggung. Ritual yang dilakukan secara turun-temurun ini dilakukan guna menyambut bulan suro.
Malida inayati selaku warga Desa Traji mengungkapkan bahwa ritual ini adalah ritual yang wajib dilakuakan setiap tahun, masyarakat traji sendiri percaya jika ritual sendang sidukun tidak dilakukan masyarakat traji akan terkena bencana besar.
“Ritual ini memang sudah menjadi tradisi, karena masyarakat percaya jika tidak melakukan ritual ini akan terkena musibah,” tuturnya.
Rangkaian acara ini di awali dengan berziarah ke makam Simbah Kyai Adam Muhammad. Menurut Maulida Simbah Kyai Adam Muhammad adalah sesepuh sekaligus Kyai di daerah Traji.
“Biasanya, setelah acara ziarah diadakan ritual kirap pengantin. Dalam ritual ini biasanya kepala desa didampingi istri sengan menggunakan pakaian adat selayaknya pengantin lalu dikirap dari kediaman menuju sendang,” ujar wanita yang kerap disapa Malida itu.
Ritual ini dilakukan dengan menguras sendang yang berukuran 9×25 meter dengan kedalaman kurang lebih 2 meter. Di Sendang para warga mengadakan acara ritual biasanya menggunakan sesaji seperti jajan pasar, kembang, kemenyan, ingkung ayam, kepala kambing dan minuman.
“Disana memakai berbagai macam sesaji biasanya memakai kepala kambing,” tuturnya.
Dari penuturannya setelah ke Sendang Sidukun rombongan pergi ke Gumuk Guci, Gumuk Guci adalah bukit kecil yang ada di desa traji, disana rombongan melakukan upacara ritual juga dengan sesaji berupa kacang panjang, sawi, cabai, bawang merah, bawang putih, terong, dan singkong konon mereka percaya di gumuk guci ada semacam makhluk ghoib.
Malida juga mengungkapkan bahwa tradisi suroanan ini bermula dari dari sebuah kisah ghoib dalang wayang kulit yang bernama Dalang Garu, yang berasal dari Dusun Garon.
“Suatu saat Dalang Garu didatangi oleh seseorang yang berpakaian bangsawan. yang mengaku berasal dari Traji. Memintanya untuk mementaskan wayang kulit pada malam satu suro. Setelah Dalang Garu mementaskan wayang. Orang yang berpakaian bangsawan tadi membayarnya dengan satu nampan kunir. Alih-alih membayarnya dengan uang. Meskipun heran, Dalang Garu tidak memprotes dan menerima kunir tadi,” terang Malida.
Menurutnya, kisah-kisah di luar nalar memang tak jarang menjadi latar belakang diadakannya suatu ritual atau tradisi tertentu. Salah satunya adalah tradisi di Sendang Sidukun ini.
Biasanya acara malam suronan diadakan 2 malam dan malam terakhir di tutup dengan pementasan wayang semalam suntuk beserta dengan adanya pasar malam untuk menggembangkan perekonomian masyarakat.
“Acara ini mungkin sebagai peringatan tahun baru orang jawa yang bertepatan pada tanggal 1 Suro sekaligus 1 Muharram, adanya pasar malam bertujuan sebagai sarana mengebangkan perekonomian masyarakat,” pungkasnya. (Red/Khasanah)