Rasio Murni : Kritisisme Immanuel Kant

Menurut Kant, pengetahuan rasio dapat diperoleh jikalau ada sintesis antara data-data inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang dinamai Kant dengan istilah “kategori”.

Rasio Murni : Kritisisme Immanuel Kant

Sumber gambar : https://images.app.goo.gl/d9G1rwz9Ldr5jYkh6

Semarang, justisia.com – Immanuel Kant adalah tokoh filsafat besar sekitar abad 17 -18 M yang pernah tampil di pentas filsuf zaman Aufklarung di Jerman. Kant lahir di Konisberg, Prussia Timur, tanggal 22 April 1724. Kant lahir sebagai anak keempat dari suatu keluarga miskin. Orang tua Kant adalah seorang pembuat pelana kuda dan penganut gerakan Pietisme (sebuah gerakan di lingkungan Lutheranisme, yang berlangsung dari akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18).

Pada usia delapan tahun, Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Pietisme. Kant dididik dengan disiplin. Kant diajarkan untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya, juga di sekolah ini pula, Kant mendalami bahasa Latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk mengungkapkan pemikirannya.

Kant merupakan sosok yang tidak memiliki banyak keistimewaan di lingkungannya. Pribadinya yang pendiam, cenderung menyukai ketenangan, tidak suka berihlah membuatnya kurang pengalaman berbeda dengan Sokrates, Bruno, Spinoza, dan para tokoh filsafat besar lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila seluruh hidup Kant lebih banyak dihabiskan seperti duduk-duduk sembari membaca buku-buku, menelaah pelajaran yang telah ia dapatkan, serta melakukan hal-hal yang dapat merefleksi otaknya, tentunya di kota kelahiranya, Prussia Timur.

Akhir karir intelektualnya, Kant menamakan filsafatnya sebagai “kritisisme”, sebab ia memperbaharui filsafat-filsafat sebelumnya yang bersifat dogmatis. Oleh karena itu, perjalanan Kant sebagai filsuf dibagi menjadi dua periode. Pertama, adalah periode pra-kritis, suatu masa dimana ia masih menganut dogmatisme Leibniz dan Wolff. Kedua adalah periode kritis, suatu masa dimana ia membangun sintesis yang menghasilkan sebuah cara berfilsafat baru yang menjadi pijakan dalam sejarah filsafat modern. Tapi belum jelas kapan Kant beralih dari periode dogmatis ke periode kritis ini.

Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun dan dimakamkan di Konigsberg (sekarang bernama Kaliningrad), Prusia Timur.

Pemikiran Immanuel Kant

Immanuel Kant hidup di masa Newton atau seorang tokoh ilmuan sains yang terkenal pada masanya dengan pengetahuan tentang ilmu alamnya. Di sisi lain, terdapat juga dua aliran filsafat yang saat itu berkembang, yaitu rasionalisme yang dikembangkan oleh Leibniz-Wolff dan empirisme ala David Hume. Sedangkan masalah antara kedua filsafat ini adalah objektifitas pengetahuan. Apakah pengetahuan yang objektif itu berasal dari suatu pengalaman atau dari rasio? Hal inilah yang masih menjadi pertentangan di waktu itu.

Kemudian Kant berusaha memilah-milah bagian sistem manusia yang berasal dari rasio dan berasal dari pengalaman. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan pengalaman. Sedangkan Hume mengajarkan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu.

Bagi Kant, Pendapat kedua filsuf di atas berat sebelah. Meskipun Hume telah membangunkan Kant dari tidur dogmatiknya, namun Kant belum bisa menerima pemikiran dari Hume sepenuhnya. Terutama tentang pemikiranya yaitu “dalam ilmu pengetahuan, tidak bisa diperoleh suatu kepastian”.

Kant tidak bisa mempercayai pemikiran dan paham mereka berdua. Menurut Kant, keduanya sama-sama salah. Kesalahan rasionalisme mereka hanya memikirkan rasio saja dan aspek-aspek yang bersifat statis dan mengabaikan adanya pengalaman. Begitu juga empirisme yang lebih memilih aspek-aspek dinamis, tidak memiliki konsep untuk menggambarkan pengalaman.

Setelah itu, Kant mulai menelisik dan meneliti tentang keduanya, yaitu empirisme dan rasionalisme, baik mulai dari mensintesiskan antar keduanya kemudian direkonstruksi menjadi suatu pemikiran yang masif. Hingga akhirnya Kant menjadikannya dalam satu kesatuan dan mensintesiskannya bahwa pengetahuan dapat dicapai melalui sebuah pengalaman dan konsep.

Kemudian Kant membedakan tiga tingkat pengenalan, yaitu pengenalan tingkat inderawi, pengenalan tingkat rasio, dan pengenalan tingkat akal-budi. Tingkat pertama dan terendah adalah pencerapan inderawi (sinneswahrnemung). Tingkat berikutnya atau kedua adalah tingkat rasio (verstand). Terakhir atau ketiga adalah tingkat tertinggi dalam proses pengetahuan, yaitu adalah tingkat akal-budi atau intelek (vernunft).

Menurut Kant, unsur a priori ada dua, ruang dan waktu. Berbeda dengan pendapat Newton yang menempatkan ruang dan waktu di luar manusia. Kant mengatakan bahwa keduanya adalah a priori sensibilitas. Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek dan sudah terletak di dalam suatu penginderaan.

Kemudian bersamaan dengan inderawi, bekerjalah rasio (verstand) secara spontan. Tugas rasio adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan.

Menurut Kant, pengetahuan rasio dapat diperoleh jikalau ada sintesis antara data-data inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang dinamai Kant dengan istilah “kategori”. Menurut Kant, ada dua belas kategori dalam rasio. Kategori-kategori yang bersifat asasi adalah kategori-kategori yang menunjukkan kuantitas (kesatuan, kejamakan, keutuhan), kualitas (realitas, negasi, pembatasan), relasi (substansi dan aksiden, sebab dan akibat, interaksi), modalitas (mungkin/mustahil, ada/tiada, keperluan/kebutuhan).

Dalam konteks ini, rasio harus disandingkan dengan data-data yang telah diketahui dengan indera. Kemudian rasio membuat pernyataan tentang hal tersebut.

Yang terakhir adalah tingkatan Akal-Budi atau intelek. Tingkatan ini merupakan tingkatan tertinggi dan merupakan tingkatan akhir yang bertugas menarik kesimpulan dari tingkatan di bawahnya yaitu rasio dan penginderaan. Menurut Kant, rasio dan penginderaan tidak dapat menyimpulkan sebuah pengetahuan. Idea-idea tersebut hanya bersifat samar atau merupakan petunjuk pembuat paradigma.

Demikianlah kritik Kant mengenai dualisme di atas yang bertujuan ingin menunjukan kesalahan dari keduanya. Kemudian akhirnya Kant menjadikan sintesis atau membuat keterpaduan antara rasio dan indera. Pada akhirnya pemikiran Kant diteruskan oleh tokoh-tokoh selanjutnya karena kekritsian dan paradigma Kant yang jenius.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *