Rahim dan Vagina dalam Kacamata Psikologi: Benarkah Anatomi itu sebagai Takdir ?

Pertanyaan yang kemudian muncul lagi, perempuan yang memiliki anatomi (rahim dan vagina yang berfungsi di lingkungan domestik) apakah bisa aktif melakukan kegiatan di luar sebagaimana yang biasa dilakukan oleh laki-laki ?

Semarang, Justisia.com – Dalam praktik kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai berbagai stigma, citra, dan label ketidaksempurnaan yang alami dari perempuan. Perempuan yang harus berdandan agar putih dan cantik, perempuan yang dengan vagina dan rahimnya ditakdirkan untuk pasif berada di inner space hanya untuk melahirkan, merawat dan mengasuh di lingkungan domestik, bahkan keberhasilan perempuan yang dihitung dan ditentukan dari sejauh mana ia berhasil menjadi seorang istri dan ibu.

Hal-hal demikian bukan lagi sesuatu yang baru, bahkan memang sejarah mencatat stigma buruk terhadap semua bentuk perempuan, baik dari segi fisik, kodrat, kebiasaan sampai psikisnya. Salah satunya yakni seorang psikolog asal Austria sekitar tahun 1900-an Masehi, yang dikenal dengan nama Erickson meneliti perbedaan perkembangan laki-laki dan perempuan dimulai sejak lahir hingga dewasa. Erickson memang meneliti laki-laki dan perempuan dengan didasarkan kondisi social budaya yang ada di sana pada zamnnya. Akan tetapi, anehnya didalam beberapa penelitian yang kemudian ia tuliskan dalam bukunya cenderung menganggap perempuan tidak ada dalam kacamata dunia aktif.

Dalam tulisannya yang lain, ia menyebutkan bahwa identitas perempuan tidak akan tercapai jika perempuan belum mengembangkan keintiman (berhubungan dengan lawan jenis, menjadi istri, dan ibu). Sedangkan Erickson mengatakan bahwa pencapaian identitas laki-laki dapat ditentukan oleh apapun. Ia tentunya mendasarkan hal ini dengan kondisi social yang ada di Austria kala itu yang memang cenderung patriarkis.

Lebih jauh lagi, Erickson juga menganalisa cara membentuk permainan antara laki-laki dan perempuan. laki-laki dinilai aktif karena menampilkan permainan yang dinamis, seperti mobil-mobilan, bangunan pagar yang kokoh dan sebagainya. Sementara perempuan dinilai pasif atau statis karena menampilkan permainan dengan tipe interior yang damai dan tenang. Karena hal tersebut, Erickson kemudian menyimpulkan bahwa bahwa perempuan cenderung bersifat menuju dalam diri yang bukan keluar dan aktif akan tetapi lebih disesuaikan dengan anatominya yakni rahim dan vagina. Inilah yang mendasari pemikirannya bahwa perempuan sesuai dengan anatominya terikat secara biologis dan psikis untuk secara pasif hanya merawat anak dan melayani suami.

Tak hanya Erickson, psikolog lain seperti Carl Jung dan Freud pun juga tak beda jauh dengannya. Teori-teori ini yang memperkuat perilaku subordinasi terhadap perempuan. Jika saja teori Erickson yang seperti ini diterapkan, maka berapa banyak perempuan yang akan menderita ketika kebahagiaannya sendiri ditentukan oleh perkawinan dan keberhasilan nya melahirkan dan mengasuh anak ?

Pertanyaan yang kemudian muncul lagi, perempuan yang memiliki anatomi (rahim dan vagina yang berfungsi di lingkungan domestik) apakah bisa aktif melakukan kegiatan di luar sebagaimana yang biasa dilakukan oleh laki-laki ?

Jika menilik penelitian dari Dr. Nur Rofi’ah, Bil. Uzm yang kaitannya dengan Q.S Adz-Dzariyat : 56 “Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya merekan beribadah kepada-Ku”, beliau mengatakan bahwa manusia baik itu laki-laki ataupun perempuan bahkan jin sekalipun diciptakan bukan untuk menghamba satu dengan yang lain, akan tetapi hanya dan hanya sebagai hamba Allah semata. Maka dari itu, Tuhan menciptakan manusia setara tanpa membedakan laki-laki dan perempuan untuk kemudian seluas-luasnya memberikan manfaat satu dengan yang lain.

Maka dari itu, pertanyaan bisakah perempuan aktif di luar domestik dapat dijawab bisa. Bu Nyai Nur Rofi’ah dalam ngaji KGI nya pernah menyebutkan bahwa dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, maka bukan berarti perempuan harus dibatasi ruang publiknya hanya karena ia menjadi perempuan dengan pengalaman biologisnya, melainkan manusia, publik dan sistemnya harus mendukung bagaimana supaya pengalaman biologis dari perempuan bisa terasa nyaman berada diruang publik.

Atau jika melihat psikolog lain yang juga hidup sezaman dengan Erickson, yakni Sabina Spielrein menyebut bahwa perempuan memiliki pola psike yang khas, tak lain adalah sifat empatinya yang tinggi. Perempuan mampu mengalami dan memahami serta merasakan pengalaman serta pemikiran orang lain. Sabina juga mengatakan nilai perempuan yang paling utama ialah kemampuannya masuk dan menembus serta berada dalam penghayatan orang lain. Hal ini menunjukkan psike perempuan yang aktif dan dinamis dengan cara perempuan itu sendiri. Sehingga dengan empatinya, ia mampu menghidupkan pengalaman-pengalamannya.

Singkatnya, baik itu dari perkembangan psikologi, sosial budaya, atau dari agama sekalipun tidak ada pembedaan peran publik atau domestik, aktif atau pasif, statis atau dinamis, dan pembedaan sosial lainnya. Yang membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya bukanlah anatomi atau juga jenis kelamin, akan tetapi bagaimana manusia itu sendiri baik laki-laki dan perempuan mengimplementasikan dirinya sebagai makhluk berakal yang bisa bermafaat bagi manusia lain, negara, dan alam semesta. [Red. Musyaffa’]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *