Polemik Permendikbudristek No. 20 Tahun 2021, DEMA-U UIN Walisongo Adakan Diskusi Panel

Semarang, Justisia.com – Kementerian Sosial dan Politik DEMA-U Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang bersama seluruh organisasi mahasiswa ekstra gelar diskusi panel secara daring (dibaca; dalam jaringan) dengan membahas Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, Sabtu (13/11).

Acara ini digelar sebagai bentuk respon mengenai polemik pro dan kontra terhadap Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang hari ini sedang beredar di kalangan masyarakat khususnya lingkungan pendidikan. Hal ini berdasarkan keterangan dari Munif selaku penyelenggara acara.

Munif menjelaskan, jika isu kekerasan seksual seharusnya sudah clear ataupun menjadi afirmasi bersama, tetapi masih ada pro dan kontra di kalangan masyarakat khususnya Parpol (Partai Politik) maupun lingkungan akademisi.

“Dalam diskusi panel tersebut sudah terklarifikasi bersama, bahwa semua (yang menjadi pembicara/ perwakilan dari organisasi ekstra) sepakat bahwa kekerasan seksual adalah musuh bersama, hanya ada perbedaan dalam menafsirkan dan menganalisis pasal demi pasal Permendikbudristek khususnya dalam konsepnya,” tegas Munif.

Tujuan diadakannya diskusi panel ini guna membuka khasanah wacana untuk mahasiswa khususnya di lingkungan UIN Walisongo Semarang. Lebih spesifiknya adalah dalam isu kekerasan seksual yang sekarang semakin marak terjadi.

Burhanuddin Rabbany salah satu narasumber dari organisasi IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) menyampaikan pendapatnya terhadap isu ini. Ia menegaskan bahwa ada beberapa pasal yang menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, adanya oknum tidak jelas yang menyebarkan berita di sosial media juga mempengaruhi terjadinya pro dan kontra terhadap Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tersebut.

“Terdapat pengartian dalam pasal pertama yang menghina ketimpangan gender serta adanya relasi kuasa yang melatar belakangi terjadinya pelecehan seksual, padahal kan pelecehan seksual itu bisa terjadi kapan saja dan dimana saja,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Indah Nur Fadilah selaku perwakilan dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, dengan adanya Permendikbudristek ini akan berdampak baik bagi kampus sehingga menjadi payung hukum yang jelas dalam kasus tersebut. Harapannya ketika Permendikbudristek ini resmi, dapat mengurangi serta menanggulangi adanya pelecehan seksual.

“Dengan pasal apalagi yang harus di terapkan dalam kampus? Peraturan Permendikbudristek ini juga berdampak baik bagi kampus, serta sebagai payung hukum dalam hal pelecehan seksual,” ujar Indah.

Adetya Pramandira selaku Kader PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) yang dalam kesempatannya juga menyampaikan pendapatnya, ia menjelaskan jika sanksi yang disebutkan dalam kasus tersebut menjadi kewenangan kampus. Pihak kampus juga mengedukasikan kekerasan seksual yang lebih masif kepada mahasiswa, sehingga kampus memiliki kewenangan sendiri terhadap kasus itu.

Dari berbagai macam perbedaan pendapat pada acara diskusi ini, menurut munif merupakan suatu hal yang wajar. Perdebatan dan perbedaan pikiran dalam diskusi menjadi sehat untuk keperluan dialektis.

“Perdebatannya seputar konsep consent dalam kandungan Permendikbud. Pihak yang kontra menghawatirkan adanya ambiguisitas atau multitafsir dalam diksi ‘persetujuan’ berkenaannya dengan nilai-nilai agama. Dipihak yang lain atau yang pro, menyatakan bahwa diksi ‘persetujuan’ adalah dalam keperluan barometer daripada terjadinya kekerasan seksual, atau delik, dan permendikbud ini harus tetap dipertahankan mengingat KS (kekerasan seksual) yang semakin marak dan megkhawatirkan dengan bertambahnya waktu,” ungkap Munif.

Untuk kedepannya, Munif belum bisa memastikan langkah apa yang akan diambil oleh seluruh organisasi ekstra di wilayah kampus, karena hal itu diluar porsi kewenangannya. Tetapi yang jelas semua sepakat dan kompak jika kekerasan seksual menjadi musuh bersama yang harus dilawan. [Red/M2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *