Peluncuran Buku Ini Tanganku Ini Sayapku: Kisah Pendampingan Korban Kekerasan
Dengan diawali pembacaan syair oleh Wahyu Dwi Nova yang berjudul sama dengan judul buku yang akan diterbitkan, beberapa penulis kemudian menceritakan pengalaman pendampingan mereka terhadap korban kekerasan baik fisik, mental, maupun secara seksual.

Pamflet acara peluncuran buku "Ini Tanganku. Ini Sayapku"
LBH APIK jakarta merilis buku yang berjudul “Ini Tanganku, Ini Sayapku”. Kegiatan peluncuran buku ini berlangsung pada kamis (11/03) dan dihadiri sekitar 55 peserta via zoom meeting.
Kegiatan peluncuran buku yang cukup istimewa dari LBH APIK ini membuat sebagian besar peserta meneteskan air mata. Dengan diawali pembacaan syair oleh Wahyu Dwi Nova yang berjudul sama dengan judul buku yang akan diterbitkan, beberapa penulis kemudian menceritakan pengalaman pendampingan mereka terhadap korban kekerasan baik fisik, mental, maupun secara seksual.
“Setelah mendampingi korban dengan jangka waktu yang cukup lama, saya kembali mempertanyakan ulang nilai-nilai yang sudah saya yakini, apakah saya sudah benar-benar bekerja keras memperjuangkan kasus ini?” Ujar Kalis Mardiasih, salah satu penulis dalam buku itu.
Tak jauh beda dengan Kalis yang menceritakan betapa lelah dirinya baik fisik maupun mental untuk mendampingi korban tanpa kenal jam kerja, penulis lainnya seperti Grazia Asri Ningsih juga sangat mengapresiasi para pendamping korban kekerasan karena mampu bertahan hingga saat ini.
“Saya kagum, karena pendamping mampu melewati 3 level survival dalam pendampingan nya kepada korban, yakni fisik, pikiran, dan hati,” ungkapnya.
Tak hanya 2 penulis itu, Fransiska R Susanti juga menceritakan bagaimana pengalaman beberapa pendamping yang mengalami gangguan psikologis karena mendampingi korban terlalu lama.
“Terkadang, pendamping juga perlu untuk menonton film yang sedih, supaya pendamping menangis. Karena selama ia mendampingi korban, ia cenderung merasa dirinya harus kuat. Sehingga perlu sesekali ia mengekspresikan dirinya bahwa dia sedih, sangat sedih,” kata Susanti.
Karena berbagai macam pengalaman kesedihan yang dialami oleh pendamping, buku ini kemudian diluncurkan, supaya mendapatkan dukungan juga dari masyarakat.
“Saya berharap, buku ini bisa dibaca publik, supaya publik melihat baik dari kacamata korban, sekaligus dari kacamata pendamping,” ujar Gemma Holliani Cahya, salah satu penulis yang kerap disapa Uli.
Uli juga menambahkan, bahwa pendamping di satu sisi adalah seorang yang kuat, akan tetapi sisi lain they are human, ia juga anak dari seseorang yang mempunyai anak juga dan memiliki kekhawatiran tentang bagaimana jika keluarganya, anaknya mendapatkan kasus serupa.
Tak hanya para penulis, buku ini juga mendapatkan banyak apresiasi baik dari penulis epilog, Kristi Poerwandari, penulis prolog Sri Wiyanti, Ketua Umum Suluk Perempuan Siti Rubaidah, bahkan sampai dengan Pokja Perempuan dan anak Mahkamah Agung Dewi.
Bahkan, Dewi mengungkapkan perasaanya setelah sekilas membaca dan mendengarkan cerita dibaliknya yang menyentuh hatinya. Dewi berharap, buku ini bisa dibaca oleh semua kalangan terutama aparat penegak hukum agar mereka bisa belajar dari kasus yang ada dalam buku ini.
“Teruslah lanjutkan perjuangan para pendamping,” Tegasnya. (Red/Khasanah)