LBH Semarang Gelar Studium Generale Pembukaan Kalabahu ke-23

Alumni UIN Walisongo itu juga menceritakan bahwa Kalabahu ke-23 ini adalah kali pertama diadakan secara online karena halangan pandemi Covid-19. Namun, respon dan semangat dari teman-teman untuk tetap menegakkan HAM serta demokrasi masih tinggi.

Credit of Justisia

Semarang, Justisia.com – Dalam rangka pembukaan Karya Latihan Bantuhan Hukum (Kalabahu) ke-23, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang adakan studium generale pada Senin (26/07) dengan “Connecting Souls, Reclaiming Democracy”.

Acara yang diadakan secara daring melalui Platform Zoom dan Streaming Facebook LBH Semarang diawali dengan sambutan oleh ketua panitia Kalabahu, Fajar Maulana Andhika, yang dilanjutkan penyampaian laporan singkat oleh direktur LBH Semarang, Etik Okta

“Tema tersebut diangkat karena melihat keresahan bersama. Pandemi banyak mengakibatkan ketimpangan dari kebijakan pemerintah, seperti PPKM yang dinilai hanya menjerat orang-orang, padahal banyak faktor lain yang tidak dihiraukan oleh pemerintah. Dan juga karena keterbatasan peserta bisa berkumpul karena pandemi,” ujar ketua panitia Kalabahu yang kerap disapa Dhika.

Alumni UIN Walisongo itu juga menceritakan bahwa Kalabahu ke-23 ini adalah kali pertama diadakan secara online karena halangan pandemi Covid-19. Namun, respon dan semangat dari teman-teman untuk tetap menegakkan HAM serta demokrasi masih tinggi.

“Kalabahu kali ini diikuti oleh 30 peserta. Dengan 20 peserta dari reguler (kawan mahasiswa) dan 10 lainnya berasal dari peserta jaringan,” imbuhnya.

Studium Generale tersebut menghadirkan dua narasumber yakni Guru Besar Universitas Padjajaran, Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D dan Hendro Sengkoyo (School of Democratic Economics ) yang dimoderatori oleh Adetya Pramandira, mahasiswa UIN Walisongo.

Dalam penyampaiannya, Susi memberikan beberapa materi yang kaitannya dengan demokrasi sosial. Diawali dengan pembahasan paham kesejahteraan secara tradisional yang merupakan suatu keyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat adalah tanggung jawab masyarakat, dan tanggung jawab tersebut dapat terpenuhi melalui pemerintah.

“Pemenuhan direalisasikan dalam bentuk penyelenggaraan negara atau pemerintahan yang popular disebut sebagai negara kesejahteraan,” jelasnya yang bertindak sebagai pemateri pertama.

“Ada beberapa cara untuk menyelamatkan demokrasi, yakni dengan penguatan civil society untuk meneguhkan nilai-nilai mutual toleransi, mencegah terjadinya kelumpuhan intelektualitas, dan memperluas orientasi sosial,” tambahnya.

Sementara itu, Hendro sebagai pembicara kedua menjelaskan mengenai krisis lingkungan yang dikaitkan dengan dinamika krisis sosial ekologis.

“Krisis sosial ekologis dapat dipulihkan dengan adanya kecukupan tindak mitigasi atas kerusakan, kecukupan ruang-waktu pemulihan kerusakan ekologis, dan status keutuhan fisiologis biosfera,” ucap Hendro.

Harapannya dalam forum Kalabahu ini dijadikan ruang untuk belajar dan tumbuh mengawal dan menegakkan demokrasi yang ideal. Mengingat indeks demokrasi di Indonesia masih berada di tingkat bawah dengan catatan merah. [Red. Musyaffa]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *