Kritik Sastra Perspektif Hermeneutika Kritis Habermas

sumber foto: britannica.com
Semarang, Justisia.com – Sastra dipandang sebelah mata. Tidak terbatas pada pemilihan diksi dan bahasa yang asing didengar, juga sulitnya menyambungkan implikasi makna tulisan yang ditulis oleh penulis. Pembaca dihadapkan pada ‘persoalan tendensi dan substansi penulis’. Hal ini lumrah dijumpai bagi setiap pembaca sastra, tidak terkecuali saya.
Kendati demikian, sastra dinilai sebagai pembebasan. Karya yang terbuka terhadap berbagai interpretasi (penafsiran); penyampaian pesan baik secara eksplisit atau implisit. Pesan yang tidak begitu saja langsung diterima dan dipahami oleh pembaca, karena bahasa yang digunakan dalam karya sastra adalah bahasa konotatif.
Berpijak pada pembacaan di atas, karena sastra adalah permainan olah bahasa, maka mengindikasikan perlunya alat untuk menjelaskan dan menafsirkan. Sastra sangat erat kaitannya dengan ‘apa yang diucapkan atau ditulis oleh penulis mempunyai makna lebih dari satu jika dihubungkan dengan konteks yang berbeda’.
Karena cirinya yang demikian, berbekal pemahaman dan pembacaan pendek saya, model hermeneutika ala Habermas, didukung hermeneutik tokoh lain, mempunyai kemungkinan sebagai medium interpreter sastra; teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks (Berthin Simega, 2013).
Hermeneutika dan Hermeneutika Kritis Habermas
Hermeneutika identik dengan ‘seni memahami’. Istilah ini dipopulerkan oleh Schleiermacher. Adalah tokoh filsuf pertama mengusung konsep pemahaman yang menjembatani kesenjangan ruang dan waktu antara teks, penulis dan pembaca untuk menemukan maksud asli penulis teks itu tanpa prasangka pembacanya.
Definisi Hermeneutika (Budi Hardiman, 2015), merujuk gambaran umum Richard E. Palmer, adalah sebagai metodologi filologis; mencoba menafsirkan berbagai teks dan sebagai sistem interpretasi; pemulihan dan penggalian kembali makna. Adalah sebuah kegiatan yang sangat khusus, yaitu menafsir teks-teks sakral.
Beberapa tokoh filsuf, seperti Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer, Derrida hingga Habermas memiliki corak dan pola berbeda dalam mendefinisikan konsep hermeneutik dan mengimplementasikannya sebagai medium interpretasi. Saling meneruskan juga mengkritik, membenahi dan menambahi untuk melanggengkan tradisi dialektika intelektual, supaya relevan dan adaptif merespons zaman.
Pemikiran Habermas dapat ditelusuri melalui kritiknya terhadap pemikiran Gadamer (termasuk Dilthey dan Schleiermacher). Habermas mengembangkannya dengan konsep ‘Hermeneutika Kritis’, karena ada beberapa persoalan yang luput dari pembahasan tiga tokoh filsuf sebelumnya.
Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey adalah kegiatan interpretasi yang dimaksudkan untuk menemukan ‘makna asli’ teks, sedangkan Hermeneutika Gadamer adalah kegiatan interpretasi untuk menemukan perspektif dan susunan makna berbeda dalam horizon baru. Membaca dari definisi dan konsep tersebut, Habermas mengembangkan konsep Hermeneutika versinya sendiri.
Karena, kegiatan interpretasi di atas, dapat disebut sebagai Hermeneutik normal, karena memang hermeneutik tersebut termasuk hermeneutik kritis atau hermeneutik radikal Derrida yang bertujuan untuk memahami susunan makna teks, entah untuk merehabilitas makna asli atau merekonstruksi makna baru. ‘Kritis’, sebagai antitesis, menemukan sejumlah diferensiasi yang belum disinggung dan dibahas sebelumnya.
Hermeneutika Kritis Habermas mencirikan adanya kesesuaian pemahaman antara pembaca dengan penulis. Pemahaman bagi penafsir juga sesuai dengan pemahaman penulis. Karena obyek memahami, dalam konsep hermeneutik, tidak lain adalah bahasa dan teks, yang tidak bisa dilepaskan dari pikiran penuturnya.
Diperlukan jembatan yang mencocokkan kesesuaian antara pembaca dan penulis. Proses penuh susah payah untuk menyambungkan dan menarik garis lurus pemahaman ini merupakan proses pemahaman, maka ‘memahami arti’ berarti juga emansipasi. Latar belakang yang digunakan oleh Habermas mengembangkan kritik hermeneutiknya ini adalah pengaruh dari Kritik Ideologi Marx dan Psikoanalisis Freud.
Tokoh periode kedua mazhab Frankfurt ini juga menampik hermeneutika universal milik Gadamer, yang menyatakan bahwa hermeneutik dapat diterapkan di semua pengetahuan, termasuk sastra. Hal ini sulit dipenuhi, karena dalam sastra, meminjam bahasa Habermas, terdapat beberapa kata ‘abnormal’, atau sulit dipahami (Ahmad Atabik, 2013).
Kasus ini membulat ketika setiap individu dengan persepsi sendirinya berhadapan dengan persepsi berbeda dari individu yang lain, sehingga memunculkan tumpang tindih asumsi, juga tuntutan untuk sekurang-kurangnya dapat diterjemahkan ke dalam pengertian bersama. Hal ini, oleh Habermas, disebut dengan komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.
Hermeneutika dan Interpretasi Sastra
Ketika seseorang membaca suatu karya sastra, secara tidak langsung memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak bisa terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebut bahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak memungkinkan terciptanya dunia sejak awal. Bahasa mempunyai tendensi sendiri yang di dalamnya manusia turut berpartisipasi.
Pengertian teks dapat dipahami sebagai objek-objek dan struktur-struktur simbolis. Teks karya fiksi yang mengandung teks sosial di dalamnya memiliki fenomena sosio-kultural. Terdapat tiga unsur hakiki yang terkandung dalam teks sosial, yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman dari pengarang teks sosial atau pelaku sosial (Berthin Simega, 2013).
Tugas hermeneutik, sebagai interpreter sastra, adalah menafsirkan makna dan pesan sesubjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks. Teks itu sendiri tidak terbatas, dalam artian hanya terbatas pada otonom fakta yang ditengarai secara tertulis, tetapi juga mempertimbangkan kaitan-kaitan yang berkaitan dengan konteks.
Adalah sebuah analisis yang harus bergerak keluar dari teks, bukan sebaliknya. Hal terpenting dari semua itu adalah bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir. Analisis hermeneutik melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga memungkingkan penafsiran menjadi lebih luas dan dalam.
Menggunakan pemahaman Habermas untuk menyelidiki kasus sastra yang memuat sejumlah bahasa yang terkadang sulit dipahami tidaklah cukup, memerlukan variabel lain, yaitu mengacu pada konsep hermeneutik ontologis Dilthey. Karena dalam perkembangan teori-teori kontemporer juga terlihat bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca dalam menginterpretasi makna teks.
Tidak ada kemungkinan menyamakan pemahaman penulis dengan pembaca, setidaknya secara ketat, melalui konvergensi teks dan penulis, pembaca berusaha menemukan benang merah kesesuaian dengan kaitannya dipadukan faktor-faktor kontekstual di luar teks. Fokusnya, sesubjektif mungkin menerjemahkan substansi dan tendensi di balik makna teks.
Jika demikian, Habermas tidak jauh dari Gadamer dalam konsepnya tentang memahami, yaitu sebagai kesepahaman atau persetujuan. Boleh dikatakan bahwa Habermas belajar banyak dari Dilthey dan Gadamer untuk mengambil hermeneutik sebagai pendekatan sentral teori kritisnya yang jejaknya masih dapat ditemui dalam pemikirannya, termasuk implementasi konsepnya untuk kritis sastra (Budi Hardiman, 2015).
Hermeneutik haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutik juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. [Red. Pepi]