KH. Ishomuddin Hadziq, Pewaris Keilmuan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari
Di usia beliau yang masih belia, Gus Ishom memiliki kegemaran membaca koran dan buku-buku bacaan lain, sehingga wawasan keilmuan yang diperoleh tidak hanya beliau dapatkan dari bangku sekolah, melainkan dari buku-buku yang beliau baca.

Semarang, Justisia.com – KH. Ishomuddin Hadziq adalah salah satu cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, seorang pahlawan Nasional sekaligus pendiri pesantren Tebuireng dan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Lahir dari pasangan Kiai Muhammad Hadzik Mahbub dan Khadijah binti Hasyim Asy’ari di Kediri pada tanggal 18 Juli 1965.
Gus Ishom, sapaan akrab KH. Ishomuddin Hadziq, sejak kecil telah hidup di lingkungan pesantren, yakni pesantren Tebuireng. Suasana kehidupan di pesantren telah membentuknya menjadi pribadi yang rajin, sopan santun, dan mempunyai minat yang kuat terhadap keilmuan. Di usia beliau yang masih belia, Gus Ishom memiliki kegemaran membaca koran dan buku-buku bacaan lain, sehingga wawasan keilmuan yang diperoleh tidak hanya beliau dapatkan dari bangku sekolah, melainkan dari buku-buku yang beliau baca.
Riwayat Pendidikan
Jejak intelektual Gus Ishom dimulai dari SDN I Cukir, Jombang, Jawa Timur selama 6 tahun. Tamat SD/MI, Gus Ishom melanjutkan pendidikan di dua lembaga. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di pagi hari dan Madrasah Tsanawiyah di sore harinya. Kegemaran membaca tetap beliau pelihara hingga masa remaja. Sampai akhirnya Gus Ishom memutuskan untuk melanjutkan perjalanan intelektualannya di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri usai menempuh pendidikan SMP dan MTs di Tebuireng.
Sepuluh tahun lamanya Gus Ishom menjalani pendidikan di Lirboyo, tepatnya sejak tahun 1981 hingga 1991. Lirboyo yang masyhur dengan literatur klasiknya, sangat mendukung perkembangan belajar Gus Ishom dalam mengkaji kitab kuning. Selama di Lirboyo, Gus Ishom mendapatkan perhatian khusus dari Kiai Mahrus Ali perihal pendidikannya. Hal itu terwujud dengan adanya jadwal ngaji sorogan antara Gus Ishom dengan Kiai Mahrus Ali. Usaha tersebut dilakukan agar putra mahkota Tebuireng melanjutkan estafet kepemimpinan pondok pesantren Tebuireng di kemudian hari. (Abdillah Afabih, 2019)
Gus Ishom juga berkesempatan menjadi mustahiq ketika di Lirboyo. Mustahiq adalah jabatan yang mengharuskan seseorang untuk bertanggung jawab penuh atas kondisi satu kelas, sehingga harus menguasai semua mata pelajaran yang diajarkan di kelas tersebut.
Usai menempuh pendidikan di Lirboyo, Gus Ishom melanjutkan studi di Universitas Islam Kediri (UNIK) yang kini menjadi UNIKA. Beliau juga sempat mendaftarkan diri di Universitas Tribakti (Perguruan Tinggi yang berada dalam naungan Pondok Pesantren Lirboyo) dan IKAHA (Institut Keislaman Hasyim Asy’ari) Tebuireng. Namun, Gus Ishom hanya mampu menyelesaikan studi di UNIK.
Pewaris Keilmuan Sang Kakek
Salah satu prestasi penting yang dihasilkan Gus Ishom, adalah keberhasilannya menemukan karya-karya orisinil kakeknya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Bahkan sejak di Lirboyo menurut Gus Umar Shohib, Gus Ishom sudah rajin mencari, mengumpulkan, dan menyusun karya-karya Hadratussyaikh untuk dijadikan dokumen yang bisa disebarluaskan. Tetapi, ketika di Lirboyo, Gus Ishom belum sempat menerbitkannya. Baru ketika kembali ke Tebuireng, karya-karya Hadratussyaikh yang sangat berharga bagi komunitas NU khususnya dan umat Islam umumnya baru diterbitkan dan disebarluaskan secara umum.
Gus Ishom mendapatkan karya Hadratussyaikh dengan perjuangan berat. Ada kalanya beliau mencari kepada murid-murid Hadratussyaikh atau diberi naskah seseorang. Gus Ishom tidak menerima begitu naskah yang ada. Terlebih dahulu beliau memohon kepada ulama yang alim dan mempunyai kedekatan dengan kakeknya itu, untuk men-tashih dan men-tahqiq (meneliti secara mendalam). Setelah itu, baru kitab tersebut beliau diterbitkan. (Abdillah Afabih, 2019)
Banyak karya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dikumpulkan oleh Gus Ishom. Antara lain; Pertama, Adab al Alim wa al Muta’allim. Menjelaskan apa yang dibutuhkan pelajar di tengah proses studinya dan hal-hal yang behubungan dengan pengajar dalam proses pengajarannya. Kedua, Ziyadah al Ta’liqat. Buku untuk mematahkan argumentasi Syaikh Abdullah bin Yasin al-Fasuruwani dalam kitab nadhomnya yang tidak sepakat dengan pengikut organisasi Nahdlatul Ulama’. Ketiga, al Tanbihat wa al Wajibat li man Yashna al Maulida bi al Munkarat dan masih banyak lainnya yang menunjukkan keluasaan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.
Secara global, semua karya Hadratussyaikh sudah dikodifikasi dan disempurnakan menjadi satu kitab himpunan dengan nama “Irsyad as Syari” oleh adik Gus Ishom, almarhum almaghfurlah KH. Agus Zakki Hadziq. Selain mengumpulkan kitab karya kakeknya, Gus Ishom juga menulis dan menghasilkan banyak karya. (Tebuireng Online, 2019) Di antaranya;
Pertama, Miftah al Falah fi Ahadits al Nikah adalah berisi hadist-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou’ al Misbah fi Bayani Ahkam al Nikah, ditulis oleh almarhum Gus Ishom. Kitab tersebut banyak menampilkan hadist-hadist yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah keluarga yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.
Kedua, Audhoh al Bayan fi ma Yata’allaq bi Wadhoif al Ramadhan, adalah sebuah kumpulan kitab karya Gus Ishom yang berisi hadist-hadist tentang keutamaan, kemuliaan, dan amalan di bulan Ramadhan yang mulia. Ketiga, Irsyad al Mu’minin, merupakan karya terakhir dari almarhum Gus Ishom. Karya tentang akhlak serta tasawuf ini memberikan kita pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan etika tasawuf.
Usaha dan dedikasi beliau dalam mengupayakan kodifikasi karya Hadratussyaikh adalah bentuk pewarisan ilmu serta pelestarian peninggalan dari Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Namun sangat disayangkan, Gus Ishom wafat di usia muda. Beliau wafat pada hari Sabtu, 26 Juli 2003. Kepergiannya menjadi duka yang mendalam bagi umat Islam dan keluarga besar Pesantren Tebuireng. Lahu al Fatihah… [Red. M2]
Konten ini dihasilkan dari kolaborasi Justisia.com X NU Jateng selama Ramadhan 1442 H.