KH. Afifuddin Muhadjir: Ulama Faqih Ushuli yang Progresif
KH. Afifuddin Muhajir adalah salah satu kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama yang sangat alim dan dapat diistilahkan kaum intelektual papan atas dari Situbondo Jawa Timur

sumber: mahadaly-situbondo.ac.id
justisia.com – KH. Afifuddin Muhajir adalah salah satu kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama yang sangat alim dan dapat diistilahkan kaum intelektual papan atas dari Situbondo Jawa Timur.
Dedikasinya terhadap masyarakat sangat besar terutama dalam hal keagamaan dan kebangsaan. Sebagai ulama yang religius-nasionalis ia aktif diberbagai forum diskusi keagamaan misalnya di Nahdlatul Ulama ada Bahtsul Masail.
Melalui Bahstul Masail ia aktif memberikan pandangan dan putusan kasus yang terbaru. Selain itu dalam forum kebangsaan ia refleksikan dalam bebrapa bentuk karya tulis soal relasi antara agama dan negara.
Pada bulan Januari lalu ia mendapatkan gelar kehormatan (Dr.HC) dalam bidang fiqh-ushul fiqh di UIN Walisongo Semarang. Penghargaan ini merupakan bentuk penghormatan kepada kiai pesantren yang jarang dilirik oleh khalayak umum.
Sebagai kiai tentunya ia menguasai beberapa fan ilmu namun fiqh-ushul fiqh adalah bidang yang ditekuni. Beberapa tokoh intelektual seperti Ulil Abshar Abdalla menganggap Kiai Afif adalah kiai yang maqoshidiyyun (progresif) karena dalam putusan-putusanya selalu dibarengi dengan kajian ushul yang mendalam, misal pemikiranya soal kebangsaan dan kenegaraan tidak luput menjelaskan analisis kaidah ushulnya.
Menengok argumentasi Rene Descartes melalui teori rasionalitasnya ia menuturkan bahwa rasio atau pemikiran itu tidak bisa berdiri sendiri, juga butuh dunia nyata.
Sehingga proses perolehan pengetahuan ini tidak hanya dihasilkan dari rasio saja melainkan bersentuhan dengan kejadian yang nyata dalam beberapa pengalaman empirisnya. Pemikiran Kiai Afif berproses dari rasio yang bersentuhan dengan realitas sekitar oleh karena itu pemikiran semacam ini adalah upaya penyampurnaan ijtihad.
Karl Mannheim juga menekankan melalui teori rasionalnya bahwa pemikiran dan konteks sosial sangat berhubungan erat. Sebuah pemikiran dapat dikatakan keberhasilanya setelah melewati proses penggabungan dua hal tersebut. Teorinya secara garis besar mengatakan setiap pemikiran selalu berkaitan dengan struktur sosial.
Dialogisasi Agama dan Negara
Kendati demikian, pemikiran Kiai afif tidak lepas dari konteks sosial yang berjalan. Ada beberapa pemikiran yang menarik soal kebangsaan melalui bukunya “Fiqih Tata Negara” dalam buku ini ia mencoba mendialogisasikan antara agama dan negara dengan bahasa yang sedehana dan mudah dicerna.
Hubungan agama dan negara menurutnya secara garis besar (dalil kulli) menyiratkan pesan penting tentang kelenturan Islam dalam mengapresiasi perkembangan masyarakat pada umumnya yang terus bergeser sepanjang sejarah. Oleh karena itu penggunaan nalar manusia menjadi sangat sentral dalam menerjemahkan teks-teks normatif dengan realitas kondisi masyarakat yang cenderung mengalami perubahan.
Kenyataan seperti ini menunjukan diskursus mengenai relasi agama dan negara menjadi sangat kaya dan akan lebih menarik diperbincangkan oleh banyak kalangan. Pergeseran budaya, tempat dan waktu menjadi rukun penting dalam skema pembahasan sistem ketatanegaraan.
Terlebih pada era sekarang ini ilmu ketatanegaraan Islam perlu ada penyesuaian kembali. Mengingat Al-Quran hanya menerangkan sistem negara dengan garis besarnya saja (dalil kulli) maka penalaran kita menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menyaring kandunganya menjadi ramuan yang dapat disesuaikan dengan masyarakat sekarang.
Problemnya adalah menghubungkan agama dan negara yang dapat menghadirkan nilai-nilai keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan yang terakhir sesuai dengan tujuan utama diturunkanya agama yakni menebar kemaslahatan untuk penduduk bumi dan mencegah segala kerusakan.
Tujuan akhir ini kerap kali kita kaitkan dengan yurispudensi Islam yang disebut Maqoshidu Syari’ah. Patut kita ketahui bahwa urusan politik dalam Islam masuk katogori fiqih muamalah atau persoalan hukum sosial.
Kebijakan Negara Memihak Kemaslahatan Rakyat
Meskipun secara garis besar Islam tidak menyebutkan secara detail sistem kenegaraan yang ideal namun secara tidak langsung mengusung nilai-nilai demokratis. Misalnya pemikiran Kiai Afif tentang kemaslahatan rakyat harus menjadi acuan kebijakan negara.
Artinya pemerintah harus lebih serius dalam membuat kebijakan, idealnya bergantung dengan implementasi terhadap rakyat. Apabila pemangku jabatan sudah sesuai dengan kaidah ini maka sudah dianggap benar oleh syariat.
Pemikiran ini tentunya bermuara pada sebuah kaidah yang sangat populer di kalangan umat Islam. Dalam perkembanganya Kiai Afif memadukan pendapat Al-Mawardi soal pemimpin tidak boleh mengangkat imam sholat yang fasiq dengan kasus yang relevan sekarang ini.
Misalnya pemimpin atau presiden tidak boleh mengangkat menteri, staf, hakim dan pejabat lainya yang diketahui selalu berbuat fasiq.
Tidak kalah penting dengan kasus di atas, dalam penetapan kebijakan harus mempertimbangkan rakyatnya misalnya kebijakan pemberian subsidi buat rakyat miskin. Kita tahu bahwa hak asasi paling tinggi adalah hak untuk hidup, oleh karena itu kiranya penting bagi negara untuk hadir dalam mensejahterakan rakyatnya melalui kebijakanya.
Pancasila Bukan Syariah tapi Silanya Bernilai Syariah
Pada masa pemerintahan Al-Khulafa’ Al-Rasyidin Islam sangat menjunjung tinggi Syuro atau permusyawaratan, artinya sejak dahulu keempat khalifah menerapkan konsep demokrasi. Namun semuanya terabaikan setelah para pemimpin Islam membentuk dinasti dan mamlakah (kerajaan).
Pasca jatuhnya kerajaan Islam terakhir di Turki. Para ulama dan ahli mulai merumuskan kembali sistem tatanegara dalam Islam. Dinamika seperti ini menuntut para negarawan yang berada di negara yang mayoritas Islam kembali menyuarakan semangat perubahan.
Misalnya di Indonesia, setelah sekian lama dijajah oleh negara asing pada akhirnya bisa merumuskan sistem pemerintahan yang ideal untuk masyarakat yang plural. Dalam bukunya Kiai Afif menyebutkan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang moderat.
Meskipun banyak yang menentang Pancasila dengan alibi non-islami atau tidak syar’i. Beliau berargumen bahwa Pancasila memang bukan syari’at akan tetapi sila demi sila didalamnya tidak bertentangan dengan syari’at.
Penyusunan pancasila adalah sebaik-baiknya racikan dari ide dan pemikiran yang menjunjung demokrasi dan memberikan solusi untuk rakyat yang majemuk. Hal ini sejalan dengan konsep garis besar pemerintahan dalam Islam. Tentunya ramuan pancasila ini sangat kreatif mengambil jalan tengah dari dua pilihan ekstime yaitu sistem sekuler dan negara agama.
Berislam Ya Berdemorasi
Pasca Nabi saw wafat para sahabat merumuskan siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam masa itu. Sebagian sahabat dari kaum ansor mengajukan beberapa nama delegasinya begitupun dari pihak kaum muhajirin.
Pengangkatan Abu Bakar melewati proses panjang permusyawarahan yang pelik. Kemudian pada era Umar pun demikian, sebelum Abu Bakar wafat beliau sempat menyebutkan beberapa nama untuk menggantikan posisinya.
Sepintas praktik pengangkatan pemimpin masa pembesar sahabat terkesan sangat demokratis karena didahului dengan pencalonan dan dilanjutkan dengan pemilihan. Kenyataan ini tentunya sangat jauh dari prinsip politik dinasti.
Di samping itu para ulama kontemporer mengatakan prosesi pengangkatan era khulafa’ rosyidin sangat dinamis, karena secara praktis para calon sebelum dikenalkan kepada umat terlebih dahulu dimatangkan oleh sahabat-sahabat tertentu atau ahlul halli wal aqdi yakni para ulama, ahli, dan tokoh masyarakat.
Apabila pristiwa istikhlaf atau penunjukan Abu Bakar dinilai sebagai pengangkatan maka akan menyalahi konsep syuro yang telah ditetapkan dalam Al-Quran. Meskipun Islam secara umum tidak menentukan sistem pemerintahan demokrasi. Namun secara tidak langsung nilai-nilai demokrasi mencerminkan prinsip Islam.
Pada intinya yang paling penting adalah negara dan pemerintahan didirikan dengan nafas ketuhanan. Sebab kehadiran negara dalam pandangan Islam bukanlah tujuan atau ghoyah melainkan sarana untuk mencapai tujuan atau akrab disebut dengan washilah.
Posisi negara menjadi instumen untuk suksesi mengamalkan syariat secara perinci, maka dapat diterima oleh akal apabila teks wahyu disampaikan secara tersurat.[Red. sI]
Konten ini dihasilkan dari kolaborasi justisia.com X NU Jateng selama Ramadhan 1442 H.