Jihan Fauziah: Melawan Tapi Tidak Balas Dendam

Toleransi Semu: Jalan Panjang Menuju Inklusifitas Keberagaman

Semarang, Justisia.com – Salah satu penulis buku ‘Asa yang Takkan Padam’, Jihan Fauziah, bercerita dalam Diskusi Publik dan Peluncuran buku ‘Asa Yang Takkan Pernah Padam’ via zoom meeting pada Rabu, (20/10/2021). Bagaimana tulisannya dalam buku itu menjadi medium perlawanan tanpa membalas dendam.

“Setelah menulis ini, kita bisa lebih mampu merekonsiliasi keadaan, memaafkan tetapi tidak melupakan, mengikhlaskan tapi tidak membiarkan, melawan tetapi tidak balas dendam,” tegas Jihan.

Dalam acara itu, perempuan asal Tasikmalaya tersebut menuturkan bagaimana menulis bisa membuatnya berdamai dengan diri sendiri dan ikut membantu meluruskan opini dan pandangan masyarakat yang salah mengenai kelompoknya.

“Bagaimana orang lain bisa menganggap saya sama jika saya sendirilah yang justru membiarkan mereka memandang saya dari kacamata yang berbeda,” ujarnya.

Selain dua narasumber; M. Masrofiqi dan Fia Maulidia, turut hadir tiga penanggap diskusi; Azriana Rambe Manalu dari RPUK Aceh (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan), Gustika Jusuf Hatta dari IMPARSIAL, dan Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani.

Diskusi ditanggapi pertama kali oleh Mbak Nana, Panggilan akrab Azriana. Ia menyampaikan bagaimana Negara seharusnya punya peran utama dalam peran pemulihan korban dan penyintas diskriminasi KBB.

“Dalam pasal 28I (4) UUD 1945, pasal 71 UU HAM, pasal 36 ayat (1) UU penanganan Konflik, sudah mengatur bagaimana peran negara dalam pemulihan diri korban dan penyintas KBB. Konstitusi kita menjamin itu tetapi pemerintah khususnya pemerintah daerah sangat minim menjadikan UU ini sebagai landasan.” Ujar wanita berpakaian oranye itu.

Penanggap diskusi yang lain, Gustika Jusuf Hatta dari IMPARSIAL juga mengingatkan untuk selalu berefleksi dan mengevaluasi diri.

“Jangan pernah merasa paling toleran, merasa lebih dari yang lain. Sebab pasti ada sisi dimana kita harus terus belajar. Toleransi tidak tumbuh dan muncul begitu saja dengan sendirinya. Sebab itu perlu dirawat dan dijaga,” tegasnya.

Di akhir sesi, Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, memberikan apresiasi kepada para penulis dan pendukung serta teman-teman jejaring yang sudah menyelesaikan buku ini.

Ia juga turut menyayangkan para pejabat negara yang hanya memanfaatkan isu keberagaman untuk mendapat ‘proyekan’. “Negara hari ini memungut narasi-narasi toleransi tapi bukan untuk kepentingan penyintas, melainkan untuk melegitimasi tindakan politik mereka”, tukasnya. [Red/M2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *