Ilmu Bebas Nilai dan Kritik Agama Bertrand Russel

Selama lebih dari lima puluh artikel, melalui lebih dari seratus buku dan artikel, Bertrand Russel menyerang otoritas dogma agama sebagai sudut pandangnya terhadap kemajuan manusia dengan segala kecemerlangan, kecerdasan dan pencerahannya. Berkat itu, dia telah meraih kesuksesan dan kemasyhuran di seantero dunia sebagai ilmuwan, filsuf dan kritikus sosial.

Betrand Russel

Betrand Russel | Sumber foto: goodreads.com

Semarang, Justisia.com – Selama lebih dari lima puluh artikel, melalui lebih dari seratus buku dan artikel, Bertrand Russel menyerang otoritas dogma agama sebagai sudut pandangnya terhadap kemajuan manusia dengan segala kecemerlangan, kecerdasan dan pencerahannya. Berkat itu, dia telah meraih kesuksesan dan kemasyhuran di seantero dunia sebagai ilmuwan, filsuf dan kritikus sosial.

Tidak hanya itu, opini-opininya yang kerap menantang itu telah berkembang menjadi badai kontroversial. Dia telah ikut menyumbangkan kemajuan matematika, yang menopang perkembangan sains dan teknologi modern. Russel adalah sosok yang sulit didapatkan, di negeri kita yang miskin ilmuwan, yang para intelektualnya emoh menjalankan fungsi mereka sebagai intelektual.

Ia adalah filsuf positivistis -meskipun dia sendiri menolak julukan ini kemudian hari- awal abad ke-20 yang merasakan perih amat dalam atas tragedi kemanusiaan pada abad itu: imperialisme Eropa, fasisme di Jerman dan Italia, lantas Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang banyak memakan korban manusia. Dari alur hidup Russel yang sedemikian itu, ia sudah dihadapkan pada persoalan-persoalan politik, moral dan kebudayaan.

Perang Dunia I dan Perang Dunia II memberikan pelajaran yang amat berharga, yang menyeretnya untuk bicara tentang isu-isu peradaban, kemanusiaan dan perdamaian. Tetapi bagi Russel, di era kebiadaban manusia itu, agama tidak hadir sebagai penyelemat, malah melalui dogma-dogma kolotnya ikut menyokong para penguasa yang hipokrit dan serakah. Dia mengritik peradaban Barat dan agama karena ikut andil dalam tragedi tersebut.

Bermula dari peristiwa tersebut, peradaban barat yang penuh dengan kebiadaban hingga menyebabkan meletusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II tidak hanya karena ulah agama, tetapi juga perkembangan sains dan teknologi, yang dimanfaatkan oleh para penguasa dan kapitalisme Barat, yang menganut Demokrasi Liberal, yang telah melakukan tindak jahat kemanusiaan (imperialisme dan kolonialisme) terhadap negara-negara Asia Afrika.

Positivistis; secara moral tidak intelektual

Sebagai seorang yang melihat dan menilai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realitas, ia banyak mengeluarkan kritik terhadap agama, politik, budaya yang sebagiannya melalui konsep matematika dan logika. Sesuatu yang sangat brilian, apabila ia “mengisap” konsep-konsep matematika dan logika, lantas ia luapkan dalam wilayah pemikiran lebih luas dan kontekstual.

Melihat dunia matematika dan logika yang selalu menilai realitas apa adanya. Maka tidak heran kalau pijakan Russel dalam aliran positivisme selalu distandarkan pada common sense. Karena orang yang memiliki akal sehat berhubungan dengan ide-ide akal sehat, yang muncul dari pengalaman hidup orang-orang yang cukup masuk akal untuk memahaminya.

Pada tahun 1900, ia menyerang kaum Hegelian dan neo-Idealisme, melalui bukunya: A Critical Exposition of the Philosophy of Leibniz. Sebagai orang yang percaya pada kebenaran logis, data-data dan fakta indrawi-empiris, ia mengambil peran di wilayah Filsafat Analitik (sebuah wacana filsafat di awal abad ke-20), lantas mencetuskan gagasan “Atomisme Logis” (serta memperbarui konsep common sense George Edward Moorse) sebagai logika dan metode berpikir analitis terhadap bahasa dan fakta-realitas untuk mencapai kebenaran.

Positivisme tercirikan dengan karakter ilmu bebas nilai. Hanya mencari dan mengolah fakta-fakta sebagaimana adanya bukan mengubah fakta-fakta bagaimana seharusnya ada. Menegasikan kemungkinan-kemungkinan di sekelilingnya, seperti aspek religius, sosial dan kultural.

Hanya saja, setelah melihat dan mengalami kebiadaban Barat beserta sejarahnya. Biang keladi dari semua itu adalah perkembangan sains dan teknologi, karena dengan perkembangan sains pula kehidupan manusia dapat hancur sekejap. Sains dapat disalahgunakan, semisal penggunaan bom atom dan nuklir dalam perang.

Padahal sebelumnya, Russel bersama gurunya, Whitehead, ikut sumbangsih bagi kemajuan matematika dan logika modern. Bagi para penentang positivisme, kerakusan dan keserakahan sains teknologi dalam mengeksploitasi alam harus dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual oleh para pendukung positivisme.

Russel tampaknya tidak memberikan usulan jawaban atas fenomena tersebut, bahkan tidak merasa harus ikut bertanggungjawab secara intelektual-filosofis mengubah pandangan filsafatnya. Lantas, Russel malah terjun dan fokus dalam pergumulan moral, budaya dan agama. Russel tidak merumuskan suatu filsafat Matematika-Logika sebagai jalan tengah dari hegemoni dan eksploitasi sains terhadap hidup manusia, yang sebagian besar warga dunia.

Sang positivis Russel, hanya bertanggungjawab secara moral: menyerukan keadilan dan perdamaian dunia.

Kritik Agama Russel

Melalui karya-karyanya pada tahun 1903, Bertrand Russel sering mengulangi esai, “A Free Man’s Worship”, sebagai pandangannya terhadap agama yang juga dikutip banyak penulis dengan tema yang sama.

Russel tidak pernah menentang mereka yang menganggap mitologi sebagai karakteristik kultural, tetapi sejarah agama yang terorganisasi di barat telah melahirkan sejumlah lembaga keagamaan yang menentang humanisme dan laju ilmu pengetahuan. Jelasnya, filsafat barat memiliki kemunduran salah satu sebabnya karena menanggalkan agama dari sains dan teknologi, atau sebaliknya.

Bersamaan dengan itu, muncul filsafat Timur sejak zaman Nabi sampai periode dauliyyah yang mengkostumisasi peradaban dan perkembangan agama dengan ilmu pengetahuan. Puncaknya ketika banyak ulama (cendekiawan muslim) lahir, menerjemahkan literatur-literatur Eropa ke berbagai bahasa serta mentelurkan beragam karya. Dalam bidang apa saja. Bait al-Hikmah salah satu buah hasil zaman keemasan filsafat Timur.

Ungkapan Marx bahwa agama adalah produk alienasi atau agama sebagai sumber alienasi yang dipaparkan oleh Hegel, tidak berarti bahwa mereka menolak keberadaan Tuhan dan agama. Bertand Russel sebagai filosof yang memiliki figur pemikir bebas, dengan jelas dan tegas mengkritik agama, akar-akar fundamentalisme dan dogmatisme irasionalisme yang ada dalam agama.

Dalam kritiknya ia meyakini dua hal yang utama, yaitu kecenderungan besar agama-agama untuk lebih mengedepankan dogma yang seringkali menjadi penghalang seperti akal budi, dan kedua, kecenderungan praksis sosial agama yang lebih banyak menimbulkan pertentangan, perpecahan, perang dan penderitaan manusia sebagai akibat dari upaya mempertahankan dogma beserta klaim-klaim akan satu-satunya kebenaran yang mengungguli serta menidakan kebenaran yang lain.

Penganut paham ‘agnostik’ misalnya, tidak bebas dalam menampakkan keyakinan mereka di atas permukaan tanpa menderita akibat dan dampak-dampak lainnya sebagai konsekuensi akibatnya. Dalam beberapa kasus, bisa diartikan sebagai diskriminasi dalam mendapatkan kesejahteraan bersama, dalam mencari pekerjaan misalnya, atau tidak bisa tergabung dengan kalangan luas karena dianggap tidak seiman, kafir.

Bagi Russel, mereka yang menggaungkan bahwa kebebasan beragama adalah hal yang mendesak bagi kepentingan bersama di era demokrasi terkadang melalaikan bahwa toleransi itu lebih dari sebuah perdamaian antar pemeluk kepercayaan agama lainnya. Agama, jika memang bukan untuk menyakiti, berarti harus bersih dari anasir yang membahayakan, seperti kecurigaan, ketakutan, dan kebencian yang berujung pada tindak kriminalitas yang direncanakan.

Russel sangat concern menunjukkan bagaimana otoritas ajaran agama menjelma menjadi beragam bentuk dan rupa dengan dinamika berbeda-beda atau tetap seperti sebelumnya. Dalam hal sains, hal itu diistilahkan dengan dua sisi ‘pasang’ dan ‘surut’ rasa keprihatinan manusia. Russel pemikir jitu, memiliki kearifan filosofis yang jarang dimiliki kritikus sosial lainnya; selalu membangun, meskipun beberapa orang menilainya sebagai kritik dekontruktif. [Red. Fajri]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *