Gus Dur dan Pembaharuan Pemikiran Islam
Nahdlatul Ulama yang dikenal sebagai organisasi tradisionalis bukan berarti sepenuhnya menolak setiap pembaharuan yang pada waktu itu digelorakan oleh kaum modernis, melainkan mencoba memfilter setiap pembaharuan dengan dalil-dalil dan fakta historis zaman dahulu.

Foto Gus Dur. Sumber: tirto.id
Semarang, Justisia.com – Sebelum Nahdlatul Ulama berdiri pada tahun 1926 oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Sudah ada beberapa organisasi masyarakat yang memiliki corak sosial kemasyarakatan dengan menggunakan kata nahdlah atau orang pesantren mengartikan dengan kebangkitan. Misalnya ditahun 1916 ada Nahdlatul Wathan dan Nahdlatul Tujjar berdiri pada 1918 kemudian di tahun 1919 Kiai Wahab bersama Mas Mansur mendirikan Taswirul Afkar sebagai ruang untuk mengumpulkan para kiai dan cendekiawan untuk berdiskusi terkait kasus-kasus sosial keagamaan yang baru.
Apabila ditelusuri latar belakang berdirinya organisasi-organisasi tersebut akan kembali pada sosok organisatoris sejati Kiai Wahab Hasbullah. Ia adalah salah satu ulama tradisional yang memiliki ghiroh atau semangat sosial yang tinggi. Berdirinya Taswirul Afkar di Subaraya adalah bentuk kepedulian Kiai Wahab Hasbullah terhadap para sarjana dan pemikir di lingkungan umat Islam khususnya kalangan tradisional. Forum tersebut disediakan sebagai wadah untuk menyikapi persoalan terbaru baik soal agama atau sosial politik, tujuanya agar memberikan solusi terhadap masyarakat luas.
Ide Pembaharuan Islam
Berdirinya Taswirul Afkar adalah bentuk kesadaran para ulama untuk merumuskan beberapa pandangan keagamaan yang baru datang. Namun perkembangan berfikir itu sempat terhenti oleh kelompok tradisional yang konservatif menolak pembaharuan. Nahdlatul Ulama yang dikenal sebagai organisasi tradisionalis bukan berarti sepenuhnya menolak setiap pembaharuan yang pada waktu itu digelorakan oleh kaum modernis, melainkan mencoba memfilter setiap pembaharuan dengan dalil-dalil dan fakta historis zaman dahulu. Dalam hal ini muncul kaidah Al-Mukhafadhoh Ala Qadimi Sholih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah sebuah manhaj yang digunakan oleh kebanyakan kelompok tradisional. Forum-forum diskusi dikalangan Nahdlatul Ulama kembali menguat pada era kepemimpinan Gus Dur di PBNU. Kepedulian Gus Dur tehadap perkembangan intelektual para santri, sarjana dan kaum muda sangat kuat. Hal ini terjadi setelah NU menarik diri dari partai politik dan akhirnya membentuk kelompok-kelompok diskusi halaqah.
Kepemimpinan Gus Dur sangat menginspirasi kaum muda karena memberikan ruang terbuka untuk mengkaji dan berdiskusi. Berangkat dari forum tersebut muncul beberapa tokoh yang kritis dan progresif. Perjuangan ini adalah upaya untuk membuka pemikiran umat muslim khususnya kalangan Nahdliyyin untuk terbuka dengan pembaharuan yang ada. Gus Dur bukanlah sosok pemikir tradisionalis pertama yang mendukung tajdid atau pembaharuan pemikiran Islam. Para ulama Nahdaltu Ulama periode pertama juga sudah mengonsep kebangkitan pemikiran Islam, misalnya Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Mahfudz Shiddiq. Kedua ulama ini adalah pelopor berdirinya ruang-ruang berfikir era itu.
Para pemikir Nahdliyyin yang loyal, menyikapi pembaharuan (tajdid) sebagai penyeimbang dengan pengetahuan kultur Islam klasik. Namun sebagaian juga ada yang menolak konsep pembaharuan yang dikembangkan oleh kelompok modernisasi Islam tentunya dengan alasan tertentu. Gus Dur menyikapi perbedaan ini sebagai persoalan yang sudah lumrah di tubuh NU. Sekelas Kiai Hasyim Asy’ari saja pernah mengalami perdebatan serius dengan Kiai Faqih Gresik. Kiai Wahab Hasbullah yang ahli di bidang ushul fiqih juga pernah mengalami berbeda pendapat dengan ulama ahli fiqih Kiai Bishri Syansuri.
Kebangkitan Pemikiran Islam
Pada tahun 1980-an selama Gus Dur menjadi ketua umum PBNU pembaharuan pemikiran Islam menjadi topik yang sering dibicarakan. Gus Dur adalah ulama tradisional yang juga mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan meskipun tidak pernah menyandang gelar kelulusan. Secara pemikiran cenderung lebih terbuka dan menilai semua ajaran agama dapat dirumuskan sesuai kebutuhan manusia. Oleh karena itu Gus Dur mengikuti mentornya yakni Kiai Mahfudz Shiddiq yang tak lain kakak dari Kiai Ahmad Shidiq mendukung pembaharuan pemikiran Islam dengan jalan ijtihadiyyah.
Perjalanan Gus Dur dan Kiai Ahmad Shidiq ini ditentang oleh sebagain ulama NU yang cenderung konservatif. Kaum tradisionalis memahami pembaharuan ini dengan pembebasan ijtihad dan menafsirkan ulang terhadap Al-Quran. Tentunya perilaku ini menyalahi perinsip mereka yang masih mengamini pendapat Al-Ghozali tentang penutupan pintu ijtihad. Namun ini hanya sebagian, maka tidaklah benar apabila semua kaum tradisional dianggap konservatif dan menolak ijtihad.
Hingga pada tahun berikutnya Gus Dur bersama Kiai Ahmad Shiddiq meurmuskan pendekatan ijtihad kolektif. Misi awalnya dari konsep ijtihad kolektif ini adalah berkumpul untuk membahas masalah-masalah yang penting di kalangan umat kemudian dapat dicapai konsensus pada tahap berikutnya. Pendekatan ini dirasa sangat relevan karena apabila dilihat secara umum akan berguna dan dapat diterapkan apabila dihubungkan dengan fenomena sosial dan keagamaan yang belum dibahas oleh sarjana dan ulama terdahulu. Kumpulan diskusi seperti ini dikalangan pesantren dikenal sebagai forum Bahtsul Masail, ruang yang digunakan untuk membahas hukum.
Berlanjut pada tahun 1987 Gus Dur bersama Masdar Farid Mas’udi dan teman-teman pemikir progresif lainya mengadakan simposium di salah-satu pesantren di Probolinggo Jawa Timur. Simposium ini dimaksudkan untuk membuat ruang diskusi para ulama dan pemikir yang sepaham agar terlibat dalam ijtihad kolektif. Selang setahun kemudian simposium ini menjadi agenda tahunan yang digelar oleh ulama Nahdliyyin. Selain agenda tahunan ini ada juga halaqah lain yang digelar oleh ulama Jawa Timur saja. Pendekatan yang digunakan dalam halaqah ini adalah penafsiran ulang teks-teks kitab klasik dan memaknai Al-Quran secara moderat.
Sampai pada tahun 1990-an pertemuan-pertemuan halaqah ini masih berlangsung dengan efektif. Artinya perhatian Gus Dur terhadap para sarjana dan ulama menimbulkan tradisi baru yang positif di lingkup NU. Menggerakkan kelompok untuk berkumpul berdiskusi secara kritis bukanlah hal yang mudah namun semua ini tidak bisa diukur dengan pengaruh langsung dari Gus Dur. Kepemimpinan PBNU era Gus Dur dinilai sangat loyal dan memberikan izin bagi diskusi yang terbuka dan bersifat meneliti, efeknya sangat dirasakan oleh kaum muda, pada khususnya generasi muda NU. Melaui simposium halaqah ini telah membuka cakrawala keilmuan dengan membicarakan dan mendiskusikan ide-ide kritis dan kreatif. [Red.M2]
Konten ini dihasilkan dari kolaborasi justisia.com X NU Jateng selama Ramadhan 1442 H.