Di Balik Terkikisnya Garis Pantai Utara Sumenep serta Rusaknya Ekosistem Lingkungan: Masifnya Pembangunan Tambak Udang

Terlepas dari itu, semua aktivitas dan nasib lahan pesisir berada pada tangan pemerintah yang tak kunjung memberikan tindakan tegas. Warga sekitar hanya mengandalkan kata-kata “nanti.. dan nanti..”. Meskipun sudah bekali di desak oleh LSM.

Potret Tambak Udang di Sekitar Pantai Sumenep

Sumenep, Justisia.com, 10 Februari 2021 – Berjalan di sepanjang garis pantai Sumenep, rasanya tak seindah seperti sedia kala lagi. Yang mana saat ini ketika kita lihat dan kita sadari berhektar-hektar lahan sedang dieksploitasi secara masif oleh aktifitas tambak udang yang mengkhawatirkan. Sebab akan menimbulkan kerusakan ekosistem hingga terancamnya sumber mata air bawah tanah di sekitar tempat aktifitas tambak.

Pada mulanya aktifitas pertambakan ini berawal sekitar 6-7 tahun yang lalu yang tersebar di beberapa titik berbeda di sepanjang garis pantai Sumenep, salah satunya adalah di Desa Lapataman, Kecamaan Dungkek, Sumenep. Sejak 3 tahun terakhir aktifitas pembangunan sarana-sarana tambak udang kian masif terjadi hingga apa yang penulis lihat saat ini tak seperti apa yang dilihat 4-5 tahun yang lalu, di mana saat itu keasrian suasana pedesaan dan pesisir masih sangat kental, kini harus berubah menjadi kebisingan dengan suara deru mesin yang saling bertabu.

Inisiatif pembangunan tambak ini bermula dari keirian sosial antar masyarakat yang mana atas dasar rasa keirian inilah membuat mereka saling berlomba untuk memiliki dan mengembangkan tambak udang karena penghasilan yang cukup menjanjikan. Ada satu perusahaan asing di antara ratusan tambak udang yang berdiri di desa ini. Yang mana pada awalnya masyarakat sangat resah atas kehadiran perusahaan asing yang melakukan aktifitas pertambakan di desa itu.

Alasan masyarakat menolak kehadiran tambak sebanarnya sangat sederhana, yakni akibat dari pembangunan tambak berskala besar tersebut membuat listrik di desa ini sering mati saat menjelang matahari tenggelam karena kekurangan ketersediaan daya pada gardu induk desa. Alasan lain mengapa mereka menolak karena dalam radius 200 meter dari tambak itu air menjadi payau serta beraroma amis dan memiliki warna yang sedikit keruh.

Namun seiring berjalannya waktu, rupanya perusahaan asing tersebut menggunakan strategi pagar sosial dengan menjadikan masyarakat sekitar sebagai tameng alami, dengan iming-iming dan imbalan yang cukup menggiurkan, serta juga mengiming-imingi agar masyarakat sekitar juga ikut dalam membudidayakan udang dengan alasan penghasilan yang menggiurkan yakni sekitar 30-50 Juta per 3 bulan (setiap panen) hingga iming-iming perizinan akan dibantu oleh pihak perusahaan tersebut.

Berdiri di atas lahan milik masyarakat dan tanah desa dengan total lahan yang telah digarap hampir mencapai 4,5 hektar, diperkirakan dalam kurun waktu 1 tahun ke depan akan terus bertambah hingga 6 hektar. Pertumbuhan tambak ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kerusakan ekosistem dan pencemaran lingkungan. Bagaimana tidak, mereka (pembudidaya] menguras air sisa tambak setelah panen dan membuangnya ke lahan kosong yang masih produktif, dan tak jarang pula ditemui beberapa tambak milik perusahaan asing mengarahkan pipa-pipa pembuangannya ke arah laut.

Limbah ini sudah sempat dikaji dan diteliti oleh Dinas Lingkungan Hidup, namun hingga saat ini belum ada kejelasan mnegenai hasil dari kandungan limbah yang dibuang ke laut itu. Menurut sumber yang penulis dapat secara terbatas dari perbincangan singkat dengan salah seorang pemilik lahan, air yang digunakan untuk budidaya ini telah dicampur dengan vitamin seminggu sekali yang terbuat dari tetes tebu dan berfungsi sebagai sumber nutrisi tambahan oleh udang yang dibudidayakan.

Selain itu selama 3 kali sehari tentunya air tambak ini selalu bersinggungan dengan pakan udang yang merupakan pakan hasil produksi pabrik yang tentu sudah tercampur beberapa zat kimia di dalamnya. Belum lagi obat-obatan mengandung bahan kimia yang sering digunakan oleh pembudidaya agar udangnya cepat tumbuh besar, dan lain sebagainya.

Dari situ beberapa kesimpulan yang didapat bahwa hasil limbah ini tentunya sedikit banyak telah tercampur zat-zat berbahaya yang jika dibuang tidak pada tempatnya akan mengakibatkan kerusakan bahkan pencemaran terhadap lingkungan kalau terus-terusan dibiarkan. Tidak adanya tempat pembuangan juga menjadi masalah krusial yang semakin menyelimuti dilema tambak udang ini. Bagaimana tidak, mereka (pembudidaya] membuang limbah sisa tambak ke sebuah lahan kosong yang masih bisa dibilang sebagai lahan produktif yang letaknya juga masih berada di pinggir jalan desa sehingga hampir setiap hari air limbah ini selalu menggenangi beberapa titik jalan hampir menyerupai sungai.

Satu lagi fakta yang cukup mengejutkan dari aktivitas tambak udang ini yaitu aktivitas ini adalah aktivitas ilegal karena tak mengantongi izin dari Pemda dan Dinas Lingkungan Hidup setempat. Bebarapa fakta baru ini penulis dapat dari perbincangan santai dengan menyembunyikan identitas pers, yang kemudian penulis temukan fakta bahwa semua izin pembangunan dan izin aktifitas ada pada otoritas desa, yang bahkan salah satu aparatur desa tersebut juga memiliki lahan tambak yang masih beroperasi hingga saat ini. Ada beberapa pelanggaran berlapis yang dilakukan oleh aktivitas ini selain menabrak perizinan operasional juga menabrak aturan mengenai pencemaran lingkungan.

Terlepas dari itu, semua aktivitas dan nasib lahan pesisir berada pada tangan pemerintah yang tak kunjung memberikan tindakan tegas. Warga sekitar hanya mengandalkan kata-kata “nanti.. dan nanti..”. Meskipun sudah bekali di desak oleh LSM. Dengan demikian, sangat perlu adanya tindakan tegas dari pemerintah terhadap segala hal yang mengancam kelestarian lingkungan. Jika lingkungan hidup terancam kelestariannya kemudian diabaikan begitu saja, penulis rasa tidak ada gunanya Dinas Lingkungan Hidup berdiri selain untuk menghabiskan anggaran negara. [Red. Musyaffa’]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *