Angka Perkawinan Anak di Indonesia Di Masa Pandemi Mencapai Tahap Mengkhawatirkan

ilustrasi gambar sumber: kebonjambu.org
Semarang, Justisia.com – Perkawinan anak pada khususnya di Indonesia sudah menjadi hal lumrah di jumpai pada masyarakat di negara tersebut. Tetapi perkawinan anak ini bisa di cegah dengan upaya-upaya pemerintah maupun organisasi lain untuk mendorong akses pendidikan maupun hal lain sebagai upaya preventif. Akan tetapi upaya pencegahan, tampaknya terhalang oleh wabah covid-19 sehingga banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan para orang tua yang terdampak wabah ini putus asa untuk menafkahi anak-anaknya.
Pada masa pandemi covid-19 ini dilansir catahu Komnas Perempuan 2021, perkawinan anak mengalami lonjakan hingga 300 persen saat pandemi. Situasi ini dianggap pada tahap mengkawatirkan. Di sana juga dijelaskan bahwa dispensasi pernikahan yang dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama pada tahun 2020 jika dibandingkan pada tahun sebelumnya meningkat sejumlah 300 persen. Dari data lain, Komnas Perempuan menghimpun data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, dalam lima tahun terakhir. Angka dispensasi pernikahan terus naik terutama dalam dua tahun terakhir. Pada 2016 ada 6.488 dispensasi yang dikabulkan, 2017 ada 11.819, 2018 berjumlah 12.504, pada 2019 terdapat 23.126, dan pada 2020 sebanya 64.211.
Dilansir dari tirto.id, Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati menjelaskan faktor penyebab adanya tingginya angka dispensasi pernikahan ini disebabkan oleh Pertama karena adanya peraturan yang menjadi celah, setelah adanya perubahan Undang-Undang tetang Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 yang mulai berlaku 15 Oktober 2019. UU ini memuat soal dispensasi pernikahan atau hak untuk menikah meskipun belum berusia 19 tahun. Dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 16 Tahun 2019 menyebutkan, dispensasi pernikahan diberikan atas alasan yang mendesak, terpaksa, dan harus dikuatkan dengan bukti-bukti yang mendukung. Pengecualian pernikahan di bawah umur dengan syarat “kondisi yang mendesak” inilah celah hukum pernikahan di bawah 19 tahun. Celah tersebut menurut penulis, bisa dalam hal hamil dijadikan modus utntuk melakukan dispensasi nikah, misal nikah siri hamil baru nikah atau anaknya nakal akhirnya hakim mendesak untuk melakukan terkabulnya dispensasi.
Jika dilihat kasus-kasus perkawinan anak yang mana banyak menimbulkan dampak-dampak negative bagi kehidupan setelahnya sudah sering terjadi. Kita bisa melihat untuk merambah ke media sosial maupun internet, banyak sekali kasus serupa tentang dampak negative dari praktik perkawinan anak ini. Salah satu contoh kasus pernikahan anak di bawah umur yang menjadi sorotan yang viral di media adalah pernikahan Syekh Puji dengan anak usia 7 tahun terjadi tahun 2016 dan baru dilaporkan ke Polda Jateng pada tahun 2020. Ada juga kasus pada awal tahun 2021, Indonesia dihebohkan dengan kehadiran Aishah wedding yang menawarkan promosi pernikahan di bawah umur.
Dari sisi penelitian juga, praktik perkawinan anak menyebabkan dampak-dampak dari sisi sosial, psikologi dan kesehatan. Dari sisi-sisi tersebut menjelaskan bawa dampak dari praktik perkawinan anak ini adalah hilangnya akses anak ke pendidikan, kemungkinan yang lebih besar akan resiko kematian ketika melahirkan, hilangnya kesempatan anak untuk bermain, anak yang dilahirkan memiliki resiko untuk stunting atau kekurangan asupan gizi, hingga kemungkinan adanya bentuk kekerasan dalam rumah tangga sebab kondisi psikologis yang belum matang.
Jika dilihat dari dampak negative yang ditimbulkan, pemerintah mengesampingkan hak-hak anak, yang mana Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) yang menjamin 10 hak yang wajib diberikan kepada anak mulai dari hak bermain, hak mendapatkan pendidikan hingga hak berperan dalam pembangunan.
Pada Tahap Mengkhawatirkan
Mengacu pada data dari Direktori Putusan Mahkamah Agung khususnya Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Agama, tercatat ada 36.000 permohonan dispensasi kawin sepanjang bulan Januari hingga Oktober 2021. Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun. Jumlah permohonan dispensasi kawin tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan sepanjang tahun lalu yang sebanyak 23.700. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan anak naik drastis pada masa pandemi. Darurat perkawinan anak di Indonesia sendiri ditunjukkan dengan laporan penelitian mengenai perkawinan anak yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama UNICEF, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Laporan yang dikeluarkan pada 2020 itu menyebut bahwa berdasarkan populasi penduduk, Indonesia menempati peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia.
Naiknya pernikahan anak ini menjadi tahap yang mengkhawatirkan, pemerintah harusada fasilitas yang memadai baik pendidikan, ekonomi hingga meningkatkan pendidikan publik mengenai bahaya perkawinan anak, pemerintah juga harus membangun sosial budaya menciptakan bangsa maju dan bermatabat.
Kondisi Masyarakat Pada Masa Pandemi Covid-19
Di Masa pandemi covid-19 memang banyak menghadirkan fenomena baru dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya dunia pendidikan yang kegiatan belajar-mengajarnya berupa pemberlakukan pembelajaran secara dalam jaringan (daring). Tetapi pembelajaran daring tidak sesuai realita, anak tidak ada kegiatan sekolah, kegiatan belajar-mengajar online juga tidak dilakukan oleh pihak sekolah. Selain tidak sesuai realita, sistem pembelajaran daring juga mempunyai masalah, seperti kesulitan mengakses internet, ketidakmampuan wali untuk membiayai biaya sekolah anak, mengingat kondisi keuangan yang mencekik di tengah pandemi. Para orangtuapun akan menawarkan anak-anak mereka untuk menikah dengan harapan mengurangi kebutuhan keuangan keluarga, berharap bahwa dengan asumsi anak perempuan mereka menikah, beban hidup akan ditanggung oleh setengahnya yang lebih baik.
Perlu Upaya dari Semua Kalangan
Banyaknya tantangan yang dihadapi dalam ptaktik perkawinan anak di masa pandemu menunjukkan bahwa perlu ada langkah yang harus dilakukan sejak dini. Perlu di ingat, perkawinan anak merupakan problem struktural yang pencegahannya tidak bisa hanya diserahkan kepada lembaga pengadilan atau lembaga peradilan yang lain, melainkan seluruh stake holders yaitu Pemerintah, Legislatif, dan Masyarakat umum khususnya lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingga perguruan tinggi. Bisa diambil kesimpulan bahwa upaya pencegahan ini merupakan tanggung jawab bersama.
Pembahasan masalah pernikahan anak menurut penulis untuk membela hak-hak anak, Melihat banyaknya dampak negatif terkandung dalam perkawinan anak, maka penting untuk menjadikan masalah ini sebagai prioritas, apalagi melihat konteks Indonesia yang memiliki tingkat perkawinan anak cukup tinggi. Semuanya perlu membuka diri untuk bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk mewujudkan perlindungan anak yang lebih baik. [Red. IrchamM]
Di tulis oleh Kodriyah (anggota kelompok 16 KKN RDR 77 UIN Walisongo Semarang)