AJI Launching Catatan Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2021: Naik Peringkat dengan Kondisi Buruk
Walaupun naik enam tingkat dibanding tahun 2020, RSF masih menempatkan kebebasan pers di Indonesia masih dalam kondisi buruk (warna merah).

Foto launching catatan kebebasan pers 2021 oleh AJI
Semarang, justisia.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) gelar peluncuran Catatan Situasi Kebebasan Pers di Indonesia pada Senin (03/05) melalui virtual zoom dan streaming youtube dengan menghadirkan beberapa narasumber dan penanggap.
Laporan Lembaga Pemantau RSF (Reporters Without Borders) menetapkan kebebasan pers Indonesia di 2021 naik dari rangking 119 menjadi 113 dari 180 negara. Namun demikian, walaupun naik enam tingkat dibanding tahun 2020, RSF masih menempatkan kebebasan pers di Indonesia masih dalam kondisi buruk (warna merah).
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen, Sasmito menjelaskan, fenomena ini bisa dicontohkan seperti pemerintah memanfaatkan krisis Covid-19 untuk memperkuat represif terhadap jurnalis. Dari sisi regulasi, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan mengenai larangan menerbitkan pernyataan yang sifatnya menghina presiden atau pemerintah.
“Pandemi ini memang dampakya sangat dirasakan oleh teman-teman jurnalis dan perusahaan media. Hasil riset AJI bersama IFJ pada tahun lalu tergambar berbagai persoalan yang dialami oleh teman-teman jurnalis di berbagai media,” jelas ketua AJI periode 2021-2024.
Catatan AJI dalam setahun terakhir melaporkan, terdapat 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang Mei 2020 hingga Mei 2021 meningkat jauh dibanding periode sebelumnya sejumlah 57 kasus. Termasuk kekerasan jurnalis antara lain: Nurhadi, jurnalis Tempo menjadi korban penganiayaan saat melakukan reportase dan Pemimpin Umum Tabloid Jubi, Victor Mambor mengalami teror. Kejadian tersebut diduga karena pemberitaan.
“Memang akhir ini, situasi kebebasan pers kita tidak banyak mengalami perubahan, justru cenderung memburuk. Kalau kita lihat dari jumlah kasus kekerasan yang semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan regulasi yang tidak bersahabat, ada Undang-undang ITE, KUHP, peraturan Mahkamah Agung dan terakhir surat telegram dari Kapolri yang kita anggap membatasi kerja teman-teman jurnalis, walaupun sehari setelahnya dicabut,” tegas Sasmito.
Ia juga menyebutkan beberapa kasus serangan pada jurnalis Papua membuat kondisi kebebasan pers di Papua makin mengkhawatirkan. Ini akan berdampak langsung pada menurunnya kualitas dan kuantitas informasi yang bisa diakses oleh publik. Terlebih lagi pemerintah masih membatasi akses jurnalis asing ke Papua.
Secara umum, Sasmito memaparkan beberapa situasi kondisi pers di Indonesia 2021 dan menegaskan betapa pentingnya pers tidak hanya bagi jurnalis tetapi juga untuk publik.
“Kebebasan pers ini memang tidak hanya penting bagi jurnalis tetapi juga untuk publik. Tanpa kebebasan pers ini tentu akan sulit bagi publik untuk mendapatkan informasi yang ber-nash dari pers dan teman-teman jurnalis,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bagaimana pentingnya peran pers dalam mengawal pemerintah mengontrol terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, anggaran dan sebagainya. Oleh karena itu, pers harusnya bebas karena tidak hanya penting bagi jurnalis, tetapi juga untuk publik, pemerintah dan negara. (Red/Khasanah)