UKT (Uang Kuliah Trending)?: Kritik dari Nurani Bukan Asal Emosi

†Semenjak diberlakukannya kuliah online oleh rektor dan kemudian diperpanjang oleh menteri pendidikan dan kementerian agama, segunung kegelisahan, keresahan, dan kebimbangan mulai dirasakan para mahasiswa.

Yah mulai kuliah online yang jamnya tidak menentu karena bergantung ke dosen, penambahan biaya untuk membeli kuota, hingga biaya UKT yang masih dibebankan kepada mahasiswa. Covid-19 ini memang tidak hanya dirasakan mahasiswa semata, semua pihak mesti merasakan dampaknya.

Begitupun pihak kampus, saya yakin kampus juga bingung membuat keputusan untuk melayani mahasiswa. Namun dari berbagai kewajiban kampus melayani mahasiswa UKT masih menjadi polemik khusus tiap tahunnya, apalagi disaat pandemi seperti ini.

Masih ingat bagaimana gencarnya seluruh mahasiswa PTKIN merespon pencabutan diskon UKT melalui surat yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Nomor B-802/DJ.I/PP.00.9/04/2020.?

Berbondong-bondong mahasiswa PTKIN menaikkan tagar #kemenagPHP cerita uang kuliah kembali berlanjut. Layaknya sinetron, Kementerian Agama kemudian merespon aksi online mahasiswa di Twitter dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 515 Tahun 2020 pada 16 Juni 2020. Cerita UKT inipun mulai riuh dan semakin mengerucut ke kampus-kampus Islam salah satunya UIN Walisongo Semarang.

Selang dua hari setelah keluarnya Keputusan Menteri Agama RI No. 515 Tahun 2020 Dema-U, Sema-U bersama aliansi mahasiswa UIN Walisongo melakukan aksi di depan rektorat di tengah pandemi seperti ini. Aksi ini bisa dibilang respon kritis dari mahasiswa atas kebijakan kemenag dan kampus No. 2640/Un.10.0/R/PP.06/06/2020 Tentang keringanan uang Kuliah Tunggal atas dampak bencana Covid-19.

Berbarengan dengan aksi masa yang turun ke medan perang alias rektorat. Sosial media juga tak luput dari lirikan mahasiswa untuk melakukan campaign melawan ketidakadilan. Ya bagaimana, kuliah saja daring masak menyampaikan kritik gak memanfaatkan media sosial. Jadi mari bersatu dengan #uinwalisongomelawan.

Persatuan mahasiswa walisongo di Twitter membuahkan hasil dengan trendingnya #uinwalisongomelawan. Sungguh perjuangan yang mengharukan. Mahasiswa dengan kesadarannya bergerak menuju trending 1 ((bukan untuk UIN 1)).  Perjuangan via online itu justru ditepis oleh bapak rektor dengan pernyataan bahwa yang ada di Twitter adalah akun buzzer.

Lho eh, lho pak eh, gimana ya. Biar tidak menguras halaman, mungkin bapak rektor perlu lebih sering berselancar di Twitter agar lebih dekat dengan mahasiswanya dan kita bisa bersilaturahmi di sana.  Karena Bagi saya nih pak, jarak kampus 2 dengan kampus 1 sudah lumayan jauh, apalagi dari kampus 3. Jadi kita cuma mengenal bapak rektor lewat banner yang terpampang di depan kampus.

Mahasiswa Tidak Sadis, Hanya Kritis

Di tengah musim kemarau dan teriknya matahari yang menyengat. Ditambah lagi memanasnya hubungan kami (birokrasi dan mahasiswa) di saat pandemi wabah covid-19. Tidakkah sebaiknya kita menyalakan kipas angin sambil menikmati segelas es campur (misal). Lebih tepatnya mendinginkan pikiran dan hati. Lebih tepat dan khusus lagi kita coba urai mengapa mahasiswa menjadi seperti ini? Apa mahasiswa UIN sedang merayakan patah hati berjamaah?

Sebagai Negara hukum tentu kita tidak melupakan landasan hukum yang ada yaitu UUD 1945. Sebagai hierarki pertama dalam tataran UU di Indonesia, UUD 1945 merupakan dasar acuan dari undang-undang berikutnya.  Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.

Dengan jelas pasal tersebut menyampaikan bahwa pendidikan sudah sepantasnya dinikmati oleh semua orang, dan bagi pemerintah sudah semestinya bertanggung jawab atas hak memperoleh pendidikan warga negaranya.

Berangkat dari tataran hukum tersebut, mahasiswa UIN yang juga sudah mengenal filsafat apalagi filsafat pendidikan ala Paulo Freire, tentu mulai tergerak hatinya untuk menunjukkan rasa kemanusiannya sebagai orang yang cukup terdidik.

Yah Freire dalam teorinya menggagaskan sebuah pendidikan yang didasari oleh kesadaran terhadap kelemahan dan kesalahan, yang olehnya disebut konsientisasi (conscietization).

Pengertian konsientisasi dalam filsafat pendidikan Freire yaitu keadaan sadar oleh manusia untuk merubah realitas sosial. Kebebasan yang ditawarkan oleh Freire bermula atas kesadaran yang harus dimiliki oleh kaum tertindas untuk mengambil kembali hak-haknya.

Bisa jadi yang dilakukan mahasiswa UIN saat ini adalah bentuk pengamalan dari apa yang telah didapat dibangku kuliah kemudian diamalkan dalam realitas sosial. Realitas sosial sebagai mahasiswa di kampus jelas sesama mahasiswalah yang lebih mengetahui.

Bukannya hendak menafikan bapak ibu dosen dan civitas akademika lainnya. Namun  bisa jadi masih ada yang luput dari pantauan ibu bapak dosen tentang kehidupan mahasiswanya.

Tidakkah kita mencoba ingat kembali saat kuliah masih normal ada teman-teman mahasiswa yang berjualan makanan di teras gedung-gedung perkuliahan? Misal saja di gedung M dan gedung G. Belum lagi di depan kantor dekanat Fakultas Syari’ah dan Hukum.

Belum lagi cerita mahasiswa lain yang merantau jauh ke Semarang dan jarang sekali pulang atau bahkan tidak pernah pulang agar tidak menghabiskan banyak biaya saat kuliah. Masih ada cerita lain seperti mahasiswa yang kuliah sambil kerja di sela waktu luangnya entah bekerja menjadi pelayan toko, kedai, rumah makan, dsb.

Saya pikir cerita menjadi mahasiswa UIN tidak sekedar menimba ilmu dengan ikhlas, berkompetisi agar berprestasi, tapi lebih daripada itu. Benyak cerita tentang perjuangan untuk mendapatkan hak pendidikan. Ya bagaimana lagi hidup menjadi mahasiswa tidak sebatas kelas, perpustakaan dan dekanat.

Terlebih lagi di tengah pandemi kali ini, siklus perekonomian wali mahasiswa tentu tidak seperti biasanya dan cenderung menurun. Mahasiswa saja harus pulang untuk hemat biaya hidup. Tapi dengan beban membayar kuliah seperti biasa padahal kuliahnya online pake kuota. Duuuhhhhh cidro, mending milih dalan liyane.

Kekritisan mahasiswa UIN yang beberapa hari ini menyita perhatian publik dan civitas akademika kampus sekiranya tidak dimaknai sekedar emosi tak berarah, bahkan degredasi moral oleh mahasiswa. Bukan, bukan begitu.

Mahasiswa hanya ingin menunjukkan sikap solidaritas dengan sesama dan tentu ini merupakan anjuran dari beberapa ayat al-Qur’an untuk membela kaum yang lemah (mustadl’afin). Seperti halnya dan Q.S. An-Nisa:75.

Kami sebagai mahasiswa yang belum lengkap mencicipi asam, pahit, manis, asin (rame rasanya) dunia. Barangkali belum bijak melampiaskan kegelisan kami. Namun, niat mahasiswa seperti kami tiada lain adalah membela yang lemah dan memperjuangkan hak pendidikan kami.

Karena bagaimanapun jika tidak ada ikhtiyar aksi dari mahasiswa, ratusan mahasiswa UIN terancam cuti. Tapi inget lho ya tetep jaga kesehatan dan social distancing, jangan berkerumun sembaranagan apalagi berkerumun di restoran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *