Tradisi Bari’an Malam Satu Suro, Penderitaan Pergilah!

Oleh: M. Ali Masruri
Petang tanggal 19 Agustus 2020 yang bertepatan pada awal tahun baru Hijriyah, malam satu Suro biasa orang Jawa menyebutnya. Sore itu menjelang Maghrib, jalan pantura arah Semarang-Kendal memang selalu menyuguhkan lebatnya kendaran bermotor. Karyawan pabrik adalah raja pantura kala sore, berebut kecepatan menuju desa tempatnya berebah melepas lelah.
Desa memang istimewa, terlepas dari segepok permasalahan khas orang desa. Namun tradisi dan budayanya selalu menuaikan senyum penghuninya, memaksa untuk rindu bagi warganya yang memilih untuk manjadi manusia urban atau memaksa kagum bagi pribadi yang memosisikan diri sebagai pemerhati atau pengamat kebudayaan.
Seusai sholat maghrib, warga desa Kebonagung, Kecamatan Ngampel, Kabupaten Kendal khususnya RT 2 RW 4 terdengar riuh bersaut-sautan dari halaman rumahnya masing-masing.
“Lek! Iki meh jam piro bari’ane?,” tanya salah seorang ibu yang sudah siap dengan sego kendilnya.
“Bar Maghrib wae, nek bar Isya’ selak males soale kesel sedino neng sawah,” jawab seorang bapak samping rumahnya.
“Bari’an” adalah semacam selametan yang diisi dengan doa bersama, dilakukan di tengah jalan perkampungan dengan membuat nasi liwet menggunakan kendil (periuk) yang sudah berisi lauk di dalamnya. Biasanya lauk itu berisi sayuran yang berupa kacang-kacangan, nangka muda (gori) atau keluwih yang dibumbui bercampur dengan tempe atau tahu yang diiris kecil-kecil mengotak, yang disebut Begono atau Sego Kendil, nama yang mirip dengan Megono makanan khas Pekalongan namun beda.
Kemudian Begono itu dibawa keluar bersama dengan kendilnya, masyarakat berkumpul mengitari Begono yang telah dituangkan di atas daun pisang yang berjejer. Khusyuk mengamini Kiai yang tengah memanjatkan doa awal tahun dan doa keselamatan lainnya.
“Monggo sedoyo sareng-sareng mangsuli kulo maos dongo awal tahun, lajeng diterasaken kaleh ngamini dongo selamet,” ajak seorang Kiai di RT tersebut.
Dalam Bari’an sebenarnya tidak ada jam khususnya, bisa jam berapa saja asalkan malam satu Suro. Tradisi ini sudah dilakukan bertahun-tahun lamanya hingga masyarakat tidak mengetahui sejak kapan tradisi ini mulai dilaksanakan.
Dari kendil yang berisi nasi sekaligus lauk tersebut adalah simbol paket kesejahteraan, orang tidak perlu lagi repot, harus mengambil nasi dulu, kemudian baru lauknya atau memilihnya jika lebih dari satu macam lauknya. Akan tetapi untuk mencapai itu, memerlukan kerepotan terlebih dahulu dalam memasaknya, dua kali kerja.
Pertama memasak nasi dulu sampai matang, sekaligus mempersiapkan lauknya, kemudian nasi diambil tengahnya sehingga menjadi legokan kemudian lauk tersebut baru dimasukan ke dalam legokan itu lalu ditutup dengan nasi yang keluarkan tadi. Barang siapa ingin sejahtera maka harus bersusah-payah terlebih dahulu, bekerja keras.
“Wes pokoke mangan seng paling nyenengke yo mangan sego Begono, tinggal ngemplok wes ono lawuhe,” celoteh seorang warga yang tengah menyantap Begono.
Masyarakat meyakini banyaknya keberkahan dalam tradisi Bari’an tersebut, bisa menolak bala’, mendatangkan keberuntungan dan kebaikan-kebaikan lainya dalam setahun kedepan.
Kata Bari’an sendiri diambil dari bahasa Arab Bara’a yang artinya bebas. Bebas dari penderitaan, kesialan, dan keburukan-keburukan lainnya.
Tradisi tutur memang sangat melekat di pedesaan, cerita turun-temurun dari generasi ke generasi terus menyambung tanpa tahu pangkalnya.
Seperti kekeramatan bulan Suro, sampai hari ini masyarakat Jawa sangat menghindari melaksanakan hajat pernikahan pada bulan Suro atau Muharram ini. Banyak mitos yang tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian melahirkan tradisi, termasuk Bari’an.
Tradisi ini dilakukan pada awal masuknya bulan Suro sebab bagi masyarakat Jawa bulan Suro merupakan bulan suci dan keramat. Oleh sebab itu masyarakat di bulan ini sering mengadakan puasa atau tapa brata yang lain serta menghindari untuk melakukan hajatan, (Wiranto; 2018).
Berdasar keyakinan ini, ada masyarakat membawa barang yang digunakan sebagai alat mencari rizki, bisa alat pancing supaya mendapat hasil ikan yang banyak, membawa air yang dibuka tutupnya agar terkena berkah Bari’an dan ketika diminum mendatangkan kebaikan dalam tubuh dan lain sebagainya.
Sehingga pergantian tahun Hijriah akan terasa ada yang kurang dan menjadi suatu bentuk kesalahan jika tidak melaksakan Bari’an. Melekat dalam jiwa dan keyakinan masyarakat, bahwa Bari’an adalah kegiatan wajib, jelek untuk ditinggalkan seperti halnya Ruwahan dan lain sebagainya.
Bari’an adalah satu dari sekian banyak budaya dan tradisi yang akan kita temukan di desa, yang akan membuat rindu bagi masyarakat urban. Sebuah tradisi yang dijalankan bukan sekedar seremonial belaka, namun mengandung makna filosofi dan tujuan. Kalau pun kita temui di perkotaan sebuah tradisi serupa yang ada di desa, kemungkinan besarnya yang dibawa hanyalah raganya saja meninggalkan penjiwaan makna filosofinya.