Orang-orang Itu Sibuk Mencari Cintanya
sumber foto: today.line.me

Oleh : Kala Rahaditya
Orang-orang pada berhamburan ke sana ke mari. Saat itu tengah terjadi hujan yang begitu hebatnya. Pohon-pohon bertumbangan, tiang listrik pada roboh, atap-atap terlepas dan terbang tidak karuan arahnya, anak-anak kecil menangis, orang-orang dewasa berteriak-teriak menyebut nama-nama, nama-nama keluarga, nama-nama Tuhan, dan ada yang menyebut nama-nama binatang.
Seorang muda berlarian sembari berteriak-teriak, “Sari! Sari! Di mana kau?”. Wajahnya menyimpan kekhawatiran yang begitu besar, wajahnya pucat dengan linangan air mata.
Pemuda itu masih berlari-lari dengan gugupnya, menyusuri lorong-lorong perkampungan, dari tempat satu ke tempat yang lain dan kembali lagi ke tempat yang tadi telah ia jejaki.
Kali ini ia menangis, bersimpuh, memukul-mukul tanah, menengadahkan wajahnya seolah mendemo Tuhannya, “Kau ke manakan kekasihku? Hingga aku tak menemukannya di sini?”.
Lelaki itu kembali bangkit, belum sempat ia berdiri selembar seng menyambar lehernya. Ia tumbang dengan darah bercucuran di leher dan tubuhnya.
Orang-orang masih berhamburan, mencari-cari apa yang mereka cari. Anak, pacar, suami, isteri, kawan, dan semua-mua yang mereka cari. Ada juga yang mencuri kesempatan dalam kesempitan, masuk ke rumah-rumah yang ditinggal penghuninya dan menjarah apa-apa yang bisa mereka jarah.
Di atas jembatan, Sari begitu ketakutan, datang seorang lelaki muda padanya, memeluknya dan tiba-tiba menciumnya. Begitu gembiranya Sari didatangi seorang yang ia kira bisa melindunginya dari maut itu.
Ia terbenam dalam pelukan si lelaki. Tak berselang lama mereka berlari entah ke mana. Melewati jembatan dan menjauh dari perkampungan.
Suara petir begitu keras menggelegar, namun orang-orang masih berhamburan. Aku sendiri juga merasakan takut seperti yang mereka alami. Aku berlari, mendekati seseorang yang sedang begitu paniknya, “Apa atau siapa yang kau cari?”, tanyaku.
“Aku mencari cintaku, kau lihat? Tadi dia terbang lewat sini, tapi sekarang tak kelihatan lagi.” Aku menggeleng kepala dengan kebingungan dan orang itu kembali berlari mengejar cintanya yang terbang.
Perlahan-lahan beberapa rumah amblas, sebagian perkampungan perlahan mulai amblas dibarengi teriakan-teriakan, ada yang menyebut nama Tuhannya, ada yang menyebut nama ibunya, anaknya, suami, isteri dan orang-orang yang mereka cintai.
Sayup-sayup juga kudengar ada yang menyebut nama hewan, “Asuu!”, “Babii!”, dan masih banyak lagi teriakan-teriakan yang tak bisa kusebutkan satu demi satu.
Aku kebingungan hendak ke mana, sama seperti orang-orang, aku juga berlarian ke sana ke mari, dari tempat satu ke tempat yang lain lalu kembali ke tempat yang sudah kujejaki. Aku bertemu dengan anak kecil, “apa yang kau cari?” tanyaku padanya.
“Aku mencari cintaku, tadi dia melesat begitu cepat lewat sini, sekarang aku tidak melihatnya lagi. Sudah minggir kau, menghalang-halangi saja!.”
Anak itu kembali berlari, juga melesat begitu cepatnya seperti kelajuan motor saat kecepatan tinggi. Aku kembali terheran-heran dengan kejadian ini.
Di atap-atap aku melihat Sari terbang bersama lelaki yang lain lagi dengan yang tadi kulihat di jembatan itu. Lelaki ini berkumis dan berjenggot tebal, mengenakan baju berwarna merah, rambutnya panjang dan bergelombang.
Ia membawa Sari terbang seperti Superman menyelamatkan seseorang dari serangan monster. Saat terbang ia berteriak-teriak, “Revolusi! revolusi! Turunkan cukai rokok! Sejahterakan petani tembakau! Hidup rakyat!.” Ia masih beterbangan memutari kampung dengan meneriakkan kata-kata yang sama.
Seseorang kembali aku jumpai, “Mau ke mana? Apa yang kau cari?” Ia menjawab, “aku mencari cintaku. Minggir kau, jangan menghalangi jalanku!” Ia berlari ke rumah warga dengan membawa karung goni yang begitu besar.
Aku tunggu ia keluar, agak lama namun ia keluar juga dengan karung goni yang sudah penuh dengan barang-barang yang ia jarah hingga menyulitkan ia berjalan.
Aku pergi lagi, berlari dan terus berlari tak tahu ke mana aku hendak pergi. Di sebuah jalan, tiba-tiba aku melihat sebuah istana yang begitu megah. Ada perkumpulan orang-orang gemuk di sana.
Aku menengok-nengok melalui gerbang, mereka sedang bermain judi, minum-minuman, dan dengan ditemani wanita-wanita penghibur–ah, ya, aku melihat Sari di sana!, ada juga yang tengah asyik mengumbar syahwat dengan sesama lelaki.
Seorang satpam melihatku! Ia acungkan kepal dan senjata laras panjang–baru kali ini aku melihat seorang satpam menggunakan senjata laras panjang. Aku lari karena ketakutan.
Aku kembali lagi di kampung yang tadi kupijak, padahal kalau kulihat-lihat di televisi, kampung tersebut dan istana tadi sangat jauh. Ah, sudahlah, tak perlu aku memikirkan sesuatu yang aneh.
Tapi banyak sekali keanehan-keanehan yang aku saksikan hari ini. Oh, sebentar. Hari ini? Tidak-tidak, aku sudah mengalami hal ini lebih dari satu hari, ini terlalu lama untuk satu hari saja. Ah, masa bodoh!
Di kampung itu lagi. Hujan telah reda, namun orang-orang masih berlarian tak ketentuan arahnya. Kembali aku bertemu seorang muda, ia begitu tampan, putih, dan bertubuh tinggi.
Ia sedang menggali tanah dengan tangannya yang kurasa itu aneh, bagaimana tidak aneh, tangannya tangan besi, dan sangat mirip dengan belalai buldoser, hanya saja berukuran sama dengan tangan orang dewasa. Sambil ia menggali, aku bertanya,
“Hai, apa yang kau cari?”
“Aku mencari cintaku, ia tadi menyusup ke dalam tanah.”
“Kau yakin ia ada di sini?”
“Ya, sangat yakin, tadi aku melihatnya sendiri, ia berputar-putar seperti mata bor dan masuk ke dalam tanah. Namun tanah ini kembali tertutup, sehingga aku harus terus menggali sampai kutemukan dia.”
“Kalau boleh tahu, siapa yang kau cari?”
“Kau budeg? Tadi kan sudah kubilang, aku mencari cintaku!”
“Orang?”
“Ya lah, masa setan!”
“Nama?”
“Sari! Sudah, pergi sana! Dasar pengganggu!”
Ya Tuhan, ada berapa Sari di dunia ini? Ada yang berlari, ada yang terbang, ada yang menyusup ke tanah. Sari macam apa lagi yang hendak kau tunjukkan padaku?
Oh, Sari, begitu banyak kau di dunia ini, bermacam-macam pula jenismu.
***
Di antara puing-puing bangunan, seng-seng yang berserakan, dan pohon-pohon yang telah tumbang, aku duduk seorang diri. Tiba-tiba seorang wanita dengan baju ketat dan rok mini berwarna merah-merah mendekat tanpa kusadari.
Ia duduk di sampingku, menawari rokok dan kuambil tanpa menoleh. Aku sulut rokok itu dan kuisap dalam-dalam. Lalu,
“Apa yang kau cari?” tanya wanita disampingku itu. Seperti aku pernah mengenal suara ini, namun aku masih belum menoleh karena masih memandang kosong pada perkampungan di depanku.
“Orang-orang yang kutanya pada sibuk mencari cintanya, tapi aku tidak sibuk mencari apa-apa.”
Aku menoleh kepada wanita itu, pertama yang kuperhatikan adalah matanya yang tajam dan kebiru-biruan, lalu hidungnya yang runcing, dan terakhir bibirnya yang merah sedikit terbuka. Wanita itu tersenyum-senyum, lalu berkata,
“Aku Sari, kau tidak mencariku?”
Wonosobo, 21 Januari 2020, 16.24